Aman. Untung saja kami datang tepat waktu dan latihan juga belum dimulai. Tapi perwakilan dari UKM jurnalis tampaknya sudah sampai dari tadi. Mereka terlihat asyik mengobrol dengan kak Adam, ketua Rumah Sastra. Ada dua perwakilan dari UKM jurnalis. Lelaki gondrong tadi dan temannya yang berambut cepak rapi. Lelaki yang sempat mencuri perhatianku itu, tampak akrab berbincang dengan kak Adam. Sepertinya ini bukan pertemuan pertama mereka. Tak jarang juga anak-anak Rumah Sastra lainnya menyapa atau ikut bergabung dengan obrolan mereka. Nampaknya kehadirannya sudah tidak asing di komunitas ini. Pikiranku tak henti-hentinya menerka tentang sosok lelaki yang baru kutahu namanya saja. Akar. Nama yang unik dan penuh kesan.
"Duh, dipandangin kayak gitu terus, gua khawatir tuh batok kepala bakal bolong kena laser dari tatapan lu", Kata-kata Siren berhasil membuyarkan lamunanku tentang lelaki itu.
"Apa sih." Aku pura-pura tidak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Sok polos lagi lu. Nih ya, gua kasih informasi penting. Namanya Akar. Dia anak DKV semester tiga yang gabung di UKM jurnalis. Masih jomlo tapi banyak yang naksir. Kalo nggak mau keduluan, gas langsung." Siren seperti paparazzi yang berhasil mengumpulkan data-data beritanya.
"Gila. Paparazzi lu ya?" Aku dibuat heran dengan kemampuan Siren yang baru saja kuketahui itu.
"Anak-anak pada ngomongin dia, ya gua nggak sengaja denger."
Saat kuperhatikan, lelaki itu memang dari awal menarik perhatian karena langkahnya yang tak menetap. Kadang di sela obrolannya, ia membidik suatu objek dengan kamera yang sedari awal ia kalungkan di lehernya. Atau kadang ia keluar dari percakapan, menghampiri objek yang menarik perhatiannya kemudian seperti menemukan harta karun yang ia cari, matanya berbinar dan 'cekrek'. Satu lagi potret yang ia dapat. Sepertinya sudah banyak sekali harta karun yang ia dapatkan. Ia terlihat puas dengan hasil yang ia raih. Tiba-tiba saja imaji dalam otakku mulai bermain. Membayangkan ia ada dalam tokoh cerita yang kutulis. Menggambar suatu adegan yang melibatkan suatu perasaan. Sosoknya sempurna menjadi tokoh laki-laki yang mempunyai karakter kuat untuk mendukung impian tokoh perempuan. Namun, ia juga bisa menjadi sosok yang paling menghancurkan dunia tokoh perempuan dalam cerita. Ironi sekali memang. Tapi bukankah orang yang paling dekat adalah orang yang sangat memungkinkan untuk menjadi penghancur paling handal? Karena itu, aku selalu membatasi jarakku dengan kemungkinan menyebalkan semacam itu. Apalagi hal merepotkan yang bercampur aduk dengan perasaan.
Karena tanpa sadar aku terlalu lama memandangi lelaki itu, pandangan kami tak sengaja bertatapan. Aku tersenyum canggung dan segera mengalihkan pandangan sembari berpura-pura mencari sesuatu. Tanpa bisa kukendalikan, bagian dari dalam tubuhku, berdebar dengan hebat. Aku mencoba untuk meredamnya dengan memenuhi paru-paruku dengan oksigen kemudian membuangnya secara perlahan. Sebisa mungkin aku tak ingin terlibat dengan hal merepotkan yang membuat jantungku berdetak tak karuan. Masih banyak hal yang harus menjadi fokus tujuku. Jangan sampai ada penghalang yang dapat membelokkan arah pelayaranku.
"Yuk semuanya kumpul. Mulai latihan dasar bareng-bareng, abis itu baru latihan sama masing-masing kelompoknya ya." Kak Adam mulai mengambil alih komando dan kami sebagai pasukan Rumah Sastra angkatan barupun berkumpul dan menjalani latihan dasar bersama-sama sebelum latihan inti dari kelompok masing-masing.
* * *
Entah beruntung atau buntung. Peranku sungguh mengenaskan dalam drama yang akan aku mainkan. Perempuan yang teraniaya dan dilecehkan oleh majikan di tempat ia bekerja. Karena merasa harga dirinya terinjak, tanpa pikir panjang ia melakukan suatu hal keji setelahnya. Tubuhnya berlumur darah dan tangannya gemetar hebat menghadapi situasi yang ada di depannya. Darah itu bukan miliknya, melainkan milik majikannya. Pisau telah tertancap di tubuh majikan biadab itu dan nyawanya sudah menghilang entah menuju surga atau neraka. Bagiku, ini bukan kejahatan tapi pembelaan diri. Aku merasa bangga dengan keberanian yang dimiliki perempuan itu, namun juga sedih ketika membayangkan masa depan yang akan dihadapinya. Tokoh utama yang bergelut dengan perang batin dalam dirinya. Sejauh ini, penghayatanku dalam memerankan tokoh utama yang malang itu, masih terlalu mentah. Ada beberapa bagian yang masih harus aku perhatikan.
Aku pikir, memerankan suatu tokoh hanya perlu mengerti bagaimana perasaan tokoh itu dan menerapkannya dalam suatu adegan. Tapi ternyata lebih dari itu. Ada suatu pendalaman yang harus aku cari. Tentang perasaan perempuan yang harga dirinya telah tercabik-cabik dan ketakutan akan masa depan yang dihadapinya nanti. Bahkan aku juga harus menciptakan karakterku sendiri. Tentang siapa aku, bagaimana latar belakang kehidupanku di masa lalu. Identitas diriku, dan apakah aku memiliki keluarga di luar sana. Semua itu harus aku ciptakan dalam pikiranku. Bukan sekadar yang tertulis di naskah dan menjadi tokoh itu tapi aku memang benar-benar si tokoh itu. Saat tubuhku sedang beralih peran menjadi dia, aku bukanlah Gianira. Aku adalah seorang pembantu yang bekerja di bawah majikan hidung belang yang telah memaksaku menjadi seorang pembunuh. Setidaknya, itulah yang ditekankan sutradara kepadaku agar lebih menghayati tokoh yang kuperankan. Sungguh ajaib dunia peran yang aku pelajari disini. Banyak orang-orang hebat yang membuka pemikiranku dan menambah pengalamanku menjadi luar biasa.
Sesi latihan sudah selesai dan kami diizinkan untuk beristirahat. Aku membawa langkahku menuju bangku yang tak jauh dari tempat latihan. Mengucilkan diri dalam remang langit yang mulai meredup. Aku butuh kesunyian untuk mempelajari sedikit lebih lama tentang karakterku dan menghafal naskah yang tak sedikit ini. Untuk urusan menghafal, ingatanku memang selalu payah.
"Sedang apa sendirian disini?" Suara itu membuyarkan konsentrasiku. Saat aku mendongakkan kepala, aku tak menyangka apa yang ditangkap oleh penglihatanku. Ia tersenyum kemudian duduk di bangku yang sama denganku sembari menaruh kameranya dengan hati-hati disampingnya. "Akting lu keren tadi." Ucapnya tanpa basa-basi kepadaku yang masih terheran dengan kedatangannya.
Aku berdeham untuk mengatur emosiku. "Biasa aja. Masih banyak PR buat gua."
Ia tertawa. Entah apa yang ia tertawakan. "Gua motret bagian lu lumayan banyak tadi. Mau lihat?"
"Boleh." Ucapku.
Kemudian ia memperlihatkan hasil jepretannya. Sebagai anak DKV, hasil potretannya tidak mengecewakan. Malah terbilang keren dan hidup. Tapi, apa ekspresiku memang seperti itu ketika melakukan peran tadi? 'Gak banget' celetukku dalam hati. "Komuk gua jelek banget." Komentarku.
"Nggak juga kok. Malah kelihatan banget kalo lu menyatu ama peran lu."
"Peran pembantu?"
"Yah," Ia menaikkan kedua bahunya tanda membenarkan perkataanku.
"Tapi gua suka peran ini kok." Ucapku.
"Karena dia tokoh utama?"
"Selain itu, gua suka dengan keberanian dia yang bisa membela dirinya ketika kehormatannya diinjak-injak."
"Dengan membunuh?"
"Lelaki itu memang pantas mendapatkannya. Yah, walaupun endingnya perempuan itu memilih hal bodoh dengan membunuh dirinya sendiri."
"Karena dia sudah tak ada kesempatan untuk menikmati hidupnya selain di penjara."
"Kesempatan." Kata itu membuatku tergelitik. "Kesempatan datang ketika diciptakan. Dimanapun akhirnya perempuan itu akan menetap, jika dia mempunyai akal yang waras dan penglihatan yang luas, ia akan tetap hidup dengan berjuta kesempatan yang ia ciptakan sendiri. Meski dengan ruang yang terbatas. Yang lebih bodoh justru kekasih perempuan itu. Kenapa dia rela mati hanya karena kekasihnya telah pergi? Toh, di kehidupan setelahnya, mereka belum tentu akan bersama-sama kembali." Protesku terhadap tokoh laki-laki dalam naskah yang memilih bunuh diri karena kekasihnya, yaitu tokoh yang aku perankan, mati.
"Terkadang, kita terlalu dalam bermain-main dengan rasa sehingga tanpa sadar tenggelam dan rela mati di pelukannya."
"Menggelikan." Aku terkekeh mendengar ucapan yang keluar dari mulut lelaki di sampingku.
"Kalo lu sendiri gimana?"
"Gimana apanya?"
"Ya, lu bakal rela ngelakuin apapun demi orang yang lu sayang?"
Aku diam sejenak, memikirkan jawaban yang pas untuk pertanyaannya yang konyol. "Iya. Gua bakal ngelakuin apapun demi orang yang gua sayang. Dan orang yang paling gua sayang adalah diri gua sendiri. Jadi gua bakal ngelakuin apapun agar diri gua bahagia."
Lagi-lagi ia tertawa. Kemudian tawanya perlahan menghilang dan digantikan oleh keheningan yang menyeruak. Bibir kita terkatup menjadi gerbang untuk suara-suara agar tak keluar dari kerongkongan. Sayup maghrib mulai terdengar, namun kita masih saja berdiam di tempat kita terduduk. Menikmati tiap alunan yang memenuhi pendengaran. Sampai satu suara memanggil kami berdua untuk memasuki ruang basecamp. Kitapun menuntun langkah kita menuju ruangan, dengan aku yang berjalan dulu sedang ia mengikuti langkahku dari belakang.
"Hei." Lelaki itu memanggil. Sontak akupun menoleh ke arahnya. "Gua Akar." Ia mengenalkan namanya padaku. Lucu ketika sadar bahwa sedari tadi kita berbincang, kita belum menyebut nama satu sama lain.
"Gua Gia." Setelah mengenalkan nama, aku kembali melangkahkan kakiku. Begitupun dia. Tapi langkahnya kini sejajar dengan langkahku.
* * *
Capt, sepertinya akan ada sedikit kendala dalam pelayaran. Tapi tenang saja. Kemudi masih aman terkendali dalam genggamanku dan aku akan memastikan arah kompasku tak akan berbelok pada tujuan yang lain. Ombak kecil sudah mulai mengundang kawannya untuk mulai bersatu. Menciptakan gulungan-gulungan air laut yang lebih bertenaga. Lihat saja, aku tak akan goyah.