webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · Lịch sử
Không đủ số lượng người đọc
17 Chs

Bagian 8 | Kebetulan? [Flashback]

Selamat membaca! 😊

________________________

Semenjak pembicaraan di hari itu, Adhwa jadi kepikiran terus. Membuatnya juga tidak konsen dalam beberapa kali saat mengerjakan sesuatu. Dan itu tak lepas dari perhatian bundanya. Akhirnya Adibah mengajak dia untuk pergi ke rumah—yang saat ini sudah ditempati Myra, sahabatnya. Mumpung hari ini Minggu. Jadi Myra pasti ada di rumah.

Sesampainya di sana, Myra menyambut dengan sangat gembira. Terlebih saat Adibah mengusulkan akan masak masak bareng. Membuat Myra juga jadi semangat. Baginya, bersama Adhwa dan juga keluarganya terasa begitu nyaman. Dia selalu diperlakukan seperti layaknya sebuah keluarga. Dia sangat terharu, merasa tidak kesepian berada di sini. Karena setelah dia lulus SMA, ibunya pulang ke desanya. Membuatnya merasa sedikit kesepian. Tapi untungnya dia memiliki sahabat sahabat yang begitu menyayanginya.

"Bener, Wa. Kata bunda. Kamu tuh coba untuk buka hati gitu. Yang udah terjadi ya, biarin berlalu. Nggak baik juga disimpen terus. Ayah pun pasti akan sedih lihat kamu yang kayak ini." Tutur Myra. Setelah dia tahu pembahasan waktu itu.

Adibah cerita semua ke Myra. Dia juga meminta Myra untuk memberi tahu putrinya agar tidak larut dalam kesedihan itu. Dia takut itu akan berdampak tidak baik bagi Adhwa.

Adhwa pun hanya bisa duduk terdiam, tidak bisa berkata apapun. Yang dikatakan Myra, ataupun yang lain memang benar. Tapi hatinya masih belum siap untuk menerima itu. Masih ada beberapa hal yang belum dia terima. Yaitu kepergian dari laki laki itu. Yang seharusnya dia datang, kenapa laki laki itu justru tidak datang dan membuat dirinya tersudut.

"Yaudah. Sekarang kita makan hasil masakan kita tadi." Kata Adibah mengalihkan pembicaraan.

Selepas makan makan, dan mengobrol banyak hal lagi, Adibah bersama Adhwa pamit untuk pulang. Keduanya pulang naik angkot. Karena hari sudah sore. Tapi ternyata angkotnya tidak kunjung lewat, akhirnya mereka jalan kaki sambil menunggu angkot lewat.

Kemudian ditengah perjalanan cukup lama dan melelahkan, karena angkot belum juga muncul. Adhwa mampir ke Indomart untuk beli air minum sekaligus istirahat sejenak.

Lantas Adibah menunggu di kursi pengunjung yang berada di sisi samping Indomart. Saat sedang menunggu putrinya, ada sebuah mobil parkir tepat di depan samping kanannya. Ketika pintunya terbuka, dia dikejutkan oleh seorang wanita seumuran dirinya yang memanggil dan menghampiri.

Sontak Adibah langsung menoleh dan tak percaya. "Kamu apa kabar?" Tanya wanita itu sambil memegang kedua tangan Adibah.

"Alhamdulillah baik." Jawab Adibah dengan begitu bahagianya. Sementara wanita itu duduk di kursi sisi kanan Adibah yang dibatasi meja.

"Kamu sendiri bagaimana?" Tanya balik Adibah.

"Alhamdulillah sangat baik." Terlihat jelas rasa rindu di mata wanita itu. Tak hentinya dia tersenyum bahagia melihat Adibah. "Aku seneng banget ketemu kamu." Ucap wanita itu dengan tulus. Dengan kedua tangan yang masih menggenggam.

Adibahpun terenyuh mendengarnya. Dia membalas pegangan itu dengan erat. "Aku juga."

Dan tak lama kemudian, seorang pria datang menghampiri. Usianya terlihat tak jauh dari Arya—keponakannya.

Pria itu mendekati keduanya lalu mencium tangan Adibah tanpa disuruh. Adibahpun terenyuh akan hal itu. "Ini anakku. Namanya Ali." Tutur sahabatnya.

"Masya Allah." Ucap Adibah.

"Bun.." Panggil Adhwa dari belakang. Dengan kresek kecil di tangannya.

Adibah menoleh. "Sini sayang." Ujarnya sambil mengulurkan tangan ke putrinya.

Adhwa menurut. Dia berjalan mendekati bundanya. Sedangkan Ali mundur ke mamanya.

"Ini temennya bunda. Namanya Tante Arini. Beliau ini temen bunda dari SD sampe SMP. Kita itu deket banget kayak kamu sama Myra." Jelas bundanya dengan antusias.

Sementara Adhwa tersenyum ramah kepada Arini. Kemudian mencium tangan wanita itu.

"Dan ini anaknya Tante Arini. Namanya Ali." Adhwa menatap pria itu dengan kening berkerut.

"Kamu yang waktu itu di pasar kan?" Kata Ali tepat sasaran.

"Iya." Adhwa ingat betul pria itu. Dia hanya sedikit terkejut ternyata pria itu anak dari teman bundanya.

"Kalian saling kenal?" Tanya Arini.

"Iya, ma. Dia yang waktu itu aku tolongin." Sahut sang putra.

"Oh ya?" Adibah menatap Ali sedetik kemudian beralih ke putrinya. "Berarti dia yang katanya cakep itu?" Kata Adibah secara spontan.

Sontak Adhwa membulatkan mata kemudian menggeleng cepat. "Bunda apa sih. Aku nggak bilang gitu. Kan, bude yang bilang gitu."

"Emang bunda nyebut nama kamu?" Skakmat. Adhwa seketika diam. Rasanya malu sekali. Dia memejamkan mata lalu memandang pintu Indomart. Tak berani untuk menunjukkan wajahnya sendiri.

Adibah tertawa renyah melihat putrinya begitupun dengan Arini. Sementara Ali tersenyum manis. Entah kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitiki perutnya.

***

Setelah pertemuan dan perbincangan yang tak terduga tadi. Arini dan putranya memutuskan untuk mengantar Adibah dan Adhwa pulang.

"Jadi sekarang, kamu tinggal sama orang tuamu?" Tanya Adibah kepada Arini yang duduk bersebalahan dengannya.

"Iya." Arini mengangguk dengan tersenyum yang seperti dipaksakan.

"Suamimu?"

"Suamiku—"

"Maaf tante, kalau Ali menyela." Sela Ali lalu berhenti sejenak. "Sebenarnya papa cukup sibuk sama kerjaannya. Jadi papa tinggal terpisah sama kita. Sekarang papa tinggal di luar negeri." Jelasnya dengan tenang.

Namun Adhwa tak sengaja melihat hal mengganjal dari pria itu. Entah kenapa, pria itu terlihat tegang ketika bundanya menanyakan tentang papanya. Terutama cengkraman pria itu pada setir yang begitu kuat. Hawanya juga terasa berbeda.

"Ooh, gitu. Tapi tetep bisa ketemu sesekali kan?"

"Iya. Kita masih bisa telpon juga. Video call juga sering." Sahut cepat Arini.

"Alhamdulillah."

"Kalau suamimu?" Tanya Arini balik.

"Dia sudah sama Allah." Jawab Adibah dengan tenang tanpa raut sedih.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Arini cukup terkejut.

Sementara Adibah justru tersenyum tenang. "Allah jauh lebih menyayanginya."

"Dibah.." Arini menggenggam erat tangan Adibah.

"Ndak pa pa." Kata Adibah saat mendapat tatapan bersalah dari Arini.

"Oh ya, Adhwa sekarang umurnya berapa nak?" Tanya Arini mengalihkan pembicaraan.

"24 tante." Sahut Adhwa menoleh ke belakang.

"Udah ada yang deketin belum?"

"Eemm. Nggak ada tante."

"Mama... Pertanyaannya yang lain aja." Kata Ali. Dia merasa tak enak dengan Adhwa. Karena dia tahu kemana arah tujuan pertanyaan mamanya itu.

"Apa sih, mama cuma nanya aja." Kilah Arini. "Ndak pa pa kan, Wa."

Adhwa tersenyum. "Ndak pa pa tante."

Arini kemudian mengalihkan pandangan ke samping kiri. Dia melihat Adibah memijat pelipisnya sambil memejamkan mata. "Dibah, kenapa?" Tanyanya.

"Ndak pa pa. Cuma pusing sedikit." Sahutnya sambil tersenyum.

"Oh." Balasnya dengan tatapan masih ke Adibah. Dia mengamati wajah sahabatnya itu. Keningnya berkerut saat menyadari sesuatu. "Bener ndak pa pa? Wajahmu pucet loh."

Mendengar hal itu, Adhwa langsung menoleh ke belakang. "Bun.. pusing sebelah mana?" Tanyanya sambil menyentuh lutut Adibah.

"Bunda ndak pa pa, nduk. Cuma agak cape aja tadi." Ujarnya dengan tenang.

"Tau gitu, tadi aku pesen online." Kata Adhwa dengan nada menyesal dan khawatir.

Adibah menegakkan tubuhnya. Lalu menggenggam tangan putrinya di lutut. "Udah. Ndak usah lebay. Bunda cuma sedikit cape nya." Adhwa hanya berusaha tersenyum sebagai respon. Posisi duduknya sudah kembali seperti semula.

Ali yang memperhatikannya ikut khawatir, terlebih memang Bundanya Adhwa terlihat sangat lelah.

Setelah beberapa menit, tibalah mereka di sebuah rumah yang berada di kawasan perumahan. Mobilnya terparkir di depan rumah.

"Assalamualaikum." Adibah membuka pintu. Kemudian Adhwa mengajak Arini dan juga Ali masuk ke dalam. Karena sebelumnya Adibah memaksa untuk mereka mampir sebentar.

"Waalaikumsalam." Suara seseorang dari dalam. Tampak seorang wanita dengan jilbab instan berwarna cream. Lalu gamis polos berwarna coklat. "Eh, ada tamu toh."

"Mbak, ini Arini." Ujar Adibah. Kemudian Ambar dan Arini berjabat tangan. "Temen lama aku." Lanjutnya.

Sesaat setelahnya, Ambar beralih pandang ke pria di sebelah Arini. "Kamu? Bukannya yang waktu itu kan?" Tanya dengan nada terkejut.

Ali yang langsung memahaminya menganggukkan kepala. "Iya tante." Balasnya seraya mencium tangan wanita itu.

"Waah, dunia memang sempit ya. Sungguh kebetulan yang sangat diharapkan." Katanya tanpa sadar.

Sontak Adhwa membulatkan mata. "Bude.." Protesnya lirih.

Namun protesan Adhwa tak mempan, Ambar justru menanyakan nama pria itu. "Namanya siapa?"

"Ali tante." Jawabnya dengan tersenyum sopan.

"Jangan manggil 'Tante', manggil 'Bude' aja. Biar lebih akrab." Putusnya.

Sontak Adhwa geleng gelang kepala melihat budenya itu. Sedangkan Adibah terkekeh geli mendengar ucapan iparnya.

"Yaudah yuk, duduk." Ajak Ambar yang berjalan ke kiri.

Arini dan Ali pun duduk bersebelahan di sofa panjang. Sedangkan Adibah berniat untuk membuatkan minum, tapi sudah dicegah duluan oleh Ambar.

"Kamu di sini aja. Temenin mereka. Biar mbak yang bikinin minuman." Adibah pun menurut dan duduk di samping kanan Arini.

"Kalau gitu, Adhwa permisi ke kamar bentar ya?" Pamit gadis itu ke Adibah.

"Eh, mau ngapain?" Tanya Ambar cepat.

"Mau... anu." Sebenarnya dia juga tidak tahu ingin melakukan apa. Tapi dia hanya ingin menghindari obrolan obrolan yang tak diinginkan.

"Apa?" Tuntut Ambar. Namun Adhwa masih belum menjawab. "Udah. Kamu bantuin bude bikin minuman aja." Putusnya lalu menarik lengannya dan berjalan ke koridor di belakang Ambar.

***

Saat tengah membuat minuman, Ambar bertanya banyak hal pada keponakannya. Dari yang biasa sampai yang emosional.

"Pas kamu tau, ternyata dia anak dari temen lamanya bundamu gimana?" Tanyanya seraya menyiapkan dua gelas berukuran sedang ke atas meja bar.

"Kaget sih, tapi habis itu biasa aja." Balasnya dengan santai. Padahal hatinya sedang bergemuruh ramai. Entah mengapa, tiba tiba saja dia merasa gelisah. Dia benar benar tidak tahu apa yang terjadi padanya.

"Masa sih?" Tanya Ambar tak percaya. Wanita itu sedang menuangkan sirup ke dua gelas itu.

Adhwa hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu menaruh brownis yang telah dia potong ke piring saji.

"Nggak ada rasa debar debar gitu?" Tanya budenya lagi.

"Enggak budeku sayang." Balas gadis itu berlalu ke wastafel untuk mencuci pisau yang sebelumnya dibuat memotong roti. Kemudian mengembalikannya ke tempatnya. Selepas itu dia mencuci tangannya sendiri.

Mendengar jawaban Adhwa, membuat Ambar sedikit kecewa. Tapi itu hanya bertahan seperkian detik.

"Ya nggak pa pa. Lama lama pasti nanti ada rasa debar debar itu." Gumam wanita itu dengan optimis.

Seraya mengaduk sirup dengan air dan es batu yang sudah ditambahkannya tadi, Ambar kembali bergumam. "Cinta kan, datang karena terbiasa."

Adhwa cukup tertegun mendengar penuturan budenya, terutama kegigihkan budenya tentang dirinya. Kepalanya menoleh ke kiri. Menatap diam Ambar yang sedang mengaduk minuman. "Bude.." Panggilnya lirih.

"Ya?" Jawab Ambar tanpa menoleh.

"Adhwa nggak mau buat bude kecewa." Ucapnya pelan. Dengan memainkan kedua tanganya. "Cukup 2 tahun lalu Adhwa menghancurkan harapan kalian."

Tangan Ambar berhenti mengaduk. Dia menghela nafas berat. Kemudian membalas tatapan sang keponakan dan menghampiri gadis itu. "Ndak ada yang dihancurkan." Ucap Ambar seraya menggenggam kedua tangan gadis itu. "Setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Karena itu, kita memperbaiki kesalahan itu dengan menjalani kehidupan dengan lebih baik lagi. Dan mulai sekarang, berhenti menyalahkan diri sendiri." Sambungnya dengan menatap lekat pada Adhwa.

Sedangkan gadis itu menunduk dengan perasaan tak menentu. "Berhenti juga menyimpan rasa benci. Ikhlas memang sulit, tapi hanya itu satu satunya cara untuk melepas semuanya." Kata Ambar dengan penuh pengertian.

"Susah bude.." Gumam Adhwa.

"Memang. Tapi apa kamu mau, seumur hidup menyimpan semua itu?"

"Adhwa belum siap bude, belum siap untuk membuka kembali." Ucapnya yang masih menunduk.

"Karena kamu masih membencinya. Hatimu masih belum ikhlas dengan menghilangnya dia. Kamu masih berharap dia kembali. Hatimu masih mencarinya. Itu, yang membuat kamu belum siap." Ucap Ambar tepat sasaran.

Lantaran Adhwa juga tidak menampik hal itu. Diamnya gadis itu seolah mengiyakan semua yang dikatakan Ambar. Perlahan tapi pasti, bulir bening mengalir membasahi pipi Adhwa. Gadis itu tidak bisa mencegah air matanya keluar. Dengan tubuh bergetar, Adhwa memeluk Ambar erat. Seolah mencari sandaran untuk meluapkan emosi.

Isaknya pun mulai terdengar. Rasanya begitu sesak di dada. Bahkan dia harus menggigit bibirnya agar tidak terdengar sampai di ruang tamu.

Sementara Ambar memeluk keponakannya seraya mengusap pelan punggung Adhwa. "Lepaskan, nduk. Nggak baik disimpan terlalu lama."

Dalam tangis Adhwa teringat semua peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Dari yang menyenangkan, sampai memyedihkan. Semua memori itu seperti kaset yang diputar mundur.

Lalu dia berpikir kembali, apakah memang ini sudah saatnya dia melepas datangnya harapan tak pasti itu?