webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · Lịch sử
Không đủ số lượng người đọc
17 Chs

Bagian 10 | Terusik [Flashback] |

Selamat membaca! 😊

________________________

Pagi ini cukup cerah. Dengan aktivitas yang sama seperti hari hari sebelumnya. Bangun pagi, kerja, pulang, tidur. Begitulah kegiatan sehari hari seorang Muhammad Ali Arifansyah. Tidak ada yang menarik. Keluar rumah hanya untuk pekerjaan. Sekalipun keluar diluar pekerjaan, itu untuk menjadi sopir mamanya. Ada pula kegiatan lain di hari minggu, yaitu lari pagi keliling komplek. Dan jika dia tidak malas sekaligus di ajak Reza—sahabatnya, dia akan pergi ke tempat fitnes di waktu senggang.

Kalau kata adiknya, kehidupan pria itu 'Monoton'. Begitu begitu saja tiap hari. Karena kebanyakan dia habiskan untuk bekerja. Terkadang Lena—adik tercintanya berpikir kakaknya itu tidak suka perempuan alias penyuka sesama jenis. Lantaran pria itu dari dulu tidak pernah sekalipun tertarik atau dekat dengan perempuan manapun.

Lena sendiri sebenarnya bingung dengan karakter kakaknya sendiri. Jika sedang di rumah itu selalu menyebalkan. Tapi jika sudah diluar rumah, pria itu sama seperti kulkas berjalan. Dingin, cuek, irit bicara. Tapi meskipun begitu pria itu tidak pernah lupa yang namanya sopan santun kepada orang yang lebih tua.

Dan saat ini, pria itu sedang duduk manis di kursi indentitasnya. Indentitas yang tidak pernah dia inginkan—sekarang. Duduk di kursi ini serasa duduk di sebuah persidangan dan memakan waktu lama serta menguras otak. Rasanya ingin sekali dia lari dari kenyataan bahwasanya dia putra dari keluarga Arifansyah. Tapi apa boleh buat, itu kenyataan yang harus dia terima. Andaikan kepahitan itu tidak ada, mungkin dia akan begitu bangga terlahir dari keluarga itu seperti dulu.

Sayangnya itu hanya andaikan dan hanya sebatas khayalan.

Hari ini pun sama seperti sebelumnya. Semenjak dari rumah Bude Ambar, dia terusik akan sesuatu. Dia tidak mengerti kenapa, tapi ini sangat menggangunya.

Tak lama kemudian lamunannya terhenti saat ketukan pintu terdengar.

"Masuk!" Instruksinya.

Tampaklah seorang wanita cantik berpakaian rapi dengan blouse putih serta rok navy yang lumayan ketat di atas lutut. Juga rambut yang terurai sampai bahu. Tidak lupa high heels beserta make up yang menghiasi wajahnya.

Wanita itu kemudian berdiri di hadapan Ali dengan map di tangannya. "Saya mau mengantar dokumen yang bapak minta." Ucapnya sambil menunjukkan map itu ke Ali.

"Taruh saja." Jawab pria itu tanpa mengalihkan tatapannya pada laptop.

Wanita itupun langsung menaruh di sisi kosong meja Ali. "Kalau begitu saya permisi pak." Ucapnya begitu selesai.

"Ya. Terima kasih." Jawab Ali singkat.

Wanita itu kemudian berbalik dan melangkah pergi. Tapi sebelum meraih ganggang pintu, langkahnya terhenti karena bosnya memanggil. Diapun kembali menghadap sang bos.

"Ada apa pak?" Tanyanya bingung.

"Saya tidak mau melihat pakaian kamu itu lagi atau kamu mau jadi model saja dan tidak perlu repot repot bekerja di sini." Sarkas Ali tanpa jeda. Tentunya dengan tatapan mata yang tajam memandang karyawannya itu.

Wanaita itu tersentak, kemudian mengangguk patuh dengan keringat dingin yang sudah membasahi kedua tangannya. "Ba—ik pak. Saya tidak akan pakai ini lagi."

"Yasudah. Kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu." Titahnya dengan tegas. Kemudian kembali fokus ke pekerjaannya.

Sedangkan wanita itu sudah menggilang dari ruangan dengan jantung yang berdegup kencang. Apalagi saat bertatap langsung dengan mata bosnya yang tajam itu. Membuat bulu kuduknya merinding seketika.

Tak lama kemudian, masuklah seorang pria dengan pakaian formal sama seperti Ali. Pria itu berjalan menghampiri tanpa dosa. Seolah masuk tanpa ketuk pintu itu hal yang wajar.

"Hai, pak bos." Sapanya seraya duduk di kursi seberang Ali.

"Bisa nggak. Lo tuh, masuk ketuk pintu dulu gitu." Protes Ali.

"Yaelah bos. Biasanya kan, juga gitu."

"Justru itu jangan dibiasain, buaya jantan." Balas Ali dengan kesal.

Sedangkan yang pria di sebrang Ali mendengus kesal karena di sebut buaya jantan. "Kampret lo. Gue bukan buaya ya." Balasnya tak terima.

"Lah terus lo mau di sebut apa, Bapak Reza Surya Dewantara?"

Reza menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sambil memutar kursi menghadap ke pemandangan kota melalui dinding kaca.

"Gue itu bukan buaya. Gue itu cuma baik aja sama semua orang. Yang terkadang disalah artikan sama para wanita. Padahal mah, gue dasarannya emang baik." Ucapnya dengan pandangan lurus.

"Buk!" Sebuah map mendarat tepat di jidatnya. Siapa lagi kalau bukan Ali yang melakukan itu.

"Sial! Sakit bego!" Umpat Reza seraya mengusap usap jidatnya.

"Gue nggak bego." Sahut sahabatnya sambil membaca isi map yang digunakan untuk memukul Reza. "Buaya, buaya aja. Nggak usah pakai alasan belibet begitu."

Reza kembali memutar kembali kursinya menghadap Ali. "Lo tuh, sahabat gue bukan, sih? Sama sahabat sendiri begitu." Katanya meraih cangkir di kanan Ali. Kemudian meminum isinya begitu saja.

"Itu minuman gue Reza!" Bentak Ali dengan kesal. "Kebiasaan lo emang!" Sambungnya. Kemudian meletakkan map tadi ke tempat semula.

"Eh, gue mau minta penjelasan dari lo." Cerca Reza tiba tiba.

Lantas kening Ali berkerut. Tapi tak lama dia menghembuskan nafas pelan seolah mengerti apa yang akan ditanyakan sahabatnya itu. "Lo jelasin, gimana ceritanya lo dapet calon istri tapi nggak ada niatan cerita ke gue?" Cerca Reza lagi.

"Lo tau berita itu darimana?" Balas Ali kembali fokus ke laptopnya.

"Dari oma. Dan sekarang lo harus jelasin ke gue. Tega banget lo emang. Sama gue main rahasia rahasiaan. Lo anggap gue apa Al?" Gerutu pria berjas navy itu.

"Lo nggak usah lebay ya. Mana ada calon istri. Gue nggak punya calon istri." Jelas Ali tanpa merubah posisi.

"Lah, nyokap lo sendiri yang cerita ke oma gue."

"Tapi nggak ada yang namanya calon istri. Nyokap aja yang melebih lebihkan." Ucapnya seraya mengetik sesuatu pada laptopnya. "Lo tau sendiri nyokap gimana. 11 12 sama Bude Gendis."

"Ya iya sih. Tapi kan, pasti ada alasan kuat kenapa akhirnya nyokap lo mengatakan pernyataan itu." Kata Reza dengan gigih untuk mendapatkan jawaban lebih jelas dari sahabatnya itu.

Ali yang mendengar itu langsung menghentikan kegiatannya lalu menegakkan tubuhnya. "Jadi, seminggu lalu gue ketemu sama perempuan karena nggak sengaja. Kemudian ketemu lagi beberapa hari lalu. Yang kebetulan tuh perempuan sama bundanya. Sementara gue lagi nganterin nyokap ke temennya, dan rencananya mau ke oma lo juga. Akhirnya, terjadilah perbincangan di titik itu lalu mengetahui bahwa bundanya tuh perempuan temennya nyokap. Setelah itu, mereka mau pulang, sekalianlah kita anterin. Tapi tanpa di duga duga, kita jadi ikut masuk rumahnya. Yang ternyata rumah itu punya budenya. Mereka tinggal satu atap. Yaudah, ketemulah kita sama keluarga tuh perempuan. Otomatis perbincangan makin lama dong. Si nyokap juga memanfaatkan momen, bilang A–Z. Nah, posisi gue kagak bisa membantah satu kata pun. Paling paling juga cuma bisa memplesetkan kata. Yaudah, dari pada gue tegang di situasi itu, akhirnya gue ikutin alurnya aja." Jelas Ali dengan pelan.

Sementara Reza yang menyimaknya saksama terdiam cukup lama. Sambil mengamati wajah sahabatnya itu. "Gue mencium aroma aroma lain." Ucapnya seraya mengusap usap dagunya.

"Lo nggak usah sok sok an jadi detektif deh." Ucap Ali dengan datar.

"Kayaknya bukan cuma itu deh. Gue mengendus ada hal lain di sini. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan." Ucap Reza berlagak seperti anggota detektif.

"Nggak usah mengadakan sesuatu yang nggak ada deh." Jawab Ali sedikit kesal. Pasalnya yang dikatakan Reza ada benarnya juga.

Semenjak pertemuan dengan keluarga gadis itu membuatnya merasa gelisah. Dan sepertinya Reza merasakan itu, pria itu memang benar sahabatnya. Tau saja jika Ali sedang gelisah.

Reza pun berdecak kesal. "Halah, nggak usah ngeles lo. Kita itu kembar beda ibu beda bapak. Jadi mau lo sembunyiin apapun itu gue tetep tau."

Ali mendengus kesal. "Najis gue kembar sama lo."

"Udah ya, sekarang lo cerita sama gue. Ngomong sejujur jujurnya, ada apa gerangan dengan hatimu. Karena gue bisa mencium aura yang berbeda dari lo."

Ali yang merasa terpojokkan menghembuskan nafas pelan. Lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Gue nggak ngerti Ree. Gue bingung mau ceritanya."

"Yaudah deh, ceritain aja, detailnya ketemuan kemarin di rumah itu. Ntar gue analisi sendiri deh." Putus Reza.

"Lagak lo." Ali kemudian menceritakan detailnya ke Reza.

[FLASHBACK ON]

Ali dan mamanya sedang duduk bersebelahan di sofa dengan ditemani oleh seorang wanita berjilbab. Mamanya Ali begitu asyik bercengkrama dengan Ali yang sesekali menyahut. Sampai tak lama kemudian, datang dua orang dengan nampan di tangan masing masing. Ambar duduk bersebrangan dengan Adhwa seusai menaruh dua gelas berisi minuman juga piring berisi brownis coklat ke atas meja. Ambar duduk di sisi Adibah, sedangkan Adhwa di sisi Ali.

"Silahkan di minum, maaf hanya seadanya. Cuma ada brownis aja." Ujar Ambar dengan senyum ramah.

"Ndak pa pa mbak. Ini aja udah ngerepotin." Balas Arini tak enak.

"Ndak ngerepotin. Justru seneng, karena kedatangan tamu." Kata Ambar dengan sumringah.

Sementara Arini membalasnya dengan senyuman hangat.

"Diminum Al." Kata Ambar menatap ke pria itu.

"Iya bude." Ali tersenyum seraya meraih gelas di depannya lalu meneguknya pelan. Setelah selesai dia menaruhnya kembali ke meja.

Lantas Ambar berpaling ke Adhwa. "Mbok ya, Mas Ali ditawarin brownisnya. Jangan diem diem aja." Tegur Ambar membuat gadis itu kikuk.

Sementara Ali menatap gadis itu datar. Namun keningnya berkerut saat ada sesuatu yang mengganggu penglihatannya. Mata gadis itu sedikit sembab. Ali yakin, gadis itu habis menangis. Tapi karena apa?

"Coba cicipi brownisnya Rin, menurut kamu rasanya gimana? Kan, kamu dulu suka banget ikut bikin kue sama jajanan tradisional." Celetuk Adibah sambil mengambil piring itu lalu menyodorkannya pada Arini.

"Oh ya? Wah, cocok dong. Adibah juga sering banget bikin kue kue gitu." Sahut Ambar saat Arini mengambil satu potong brownis. Kemudian Adibah kembali meletakkan piring itu ke meja.

"Wah, enak banget." Ucap Arini setelah satu gigitan brownis. "Lembut brownisnya, rasa coklatnya juga pas. Kenapa nggak coba bisnis aja?"

Adibah tersenyum senang. "Sebenernya selama 2 tahun ini aku sering coba bikin kue kue gitu. Brownis, bolu, nastar, cup cake juga. Mbak Ambar sama menantunya juga Adhwa sering bantuin. Dan ternyata beberapa tetangga suka, pas datang ke sini. Akhirnya diantara mereka ada yang pesen. Yaudah, kita bikinin. Tapi kalau untuk jualan beneran nggak dulu. Adhwa masih belum setuju. Katanya, kesehatanku lebih penting sekarang." Jelasnya dengan sekilas melirik Adhwa.

"Yang dibilang Adhwa bener juga. Kesehatan jauh lebih penting." Balas Arini dengan sebelah tangannya menggenggam tangan Adibah. "Oh ya, Adhwa sekarang lagi sibuk apa?" Tatapannya beralih pada gadis itu.

"Eumm, sekarang Adhwa fokus sama bunda dulu tante." Jawabnya dengan sopan.

"Dia sebelumnya kerja di tempat sahabatnya. Terus, semenjak almarhum ayahnya nggak ada, dia jadi nempel terus sama aku. Sama pakdenya di suruh berhenti kerja aja, suruh jagain aku. Akhirnya kita tinggal di sini." Sela Adibah.

Arini tersenyum. Hatinya terenyuh, karena keluarga ini saling rangkul. "Senengnya punya keluarga kayak gini."

"Namanya juga keluarga, harus saling bantu, saling jaga." Sahut Ambar.

"Terus, Adhwa udah jago bikin kue dong. Kan, katanya suka bantu bantu bunda bikin kue." Tanya antusias.

Gadis itu tersenyum malu. "Belum tante, masih jago bunda sama bude."

"Ndak ah, Adhwa tuh sekarang paling pinter bikinnya. Apalagi kalau soal bikin ide ide baru soal rasanya." Jawab Ambar tak kalah antusias. Wanita itu memanfaatkan momen dengan baik. "Sekarang tuh, Adhwa lagi seneng senengnya bikin kue rasa, apa tuh namanya?" Katanya sambil berpikir.

"Matcha." Sahut Adibah.

"Iya itu. Adhwa seneng banget bikin itu." Tatapannya beraloh ke Adhwa. "Ya kan, nduk?"

"I—ya." Gadis itu mengiyakan karena memang benar dia suka bikin kue rasa itu. Tapi kalau untuk jagonya, enggak juga.

"Wah, boleh nih. Kalau Adhwa main ke rumah tante. Kita bikin kue bareng. Ali juga lagi suka makan cheesecake. Selalu minta tante untuk buatin." Kata Arini.

Sementara sang anak menatapnya tak percaya. Bisa bisanya kalimat itu terucap. Padahal mamanya sendiri yang ingin.

"Mau kan, kapan kapan main ke rumah tante?" Tanya Arini penuh harap.

Adhwa yang ditatap seperti itu jadi tak enak untuk menolak. "Boleh, kalau bunda ngizinin."

"Ya jelas bolehlah. Masa enggak." Sahut Ambar cepat. Membuat suasana tambah heboh. "Boleh kan, Dibah?" Tanyanya memastikan.

Sementara Adibah tersenyum manis serta menganggukkan kepala. "Boleh."

Bertepatan dengan itu suara salam terdengar dari sudut pintu. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab dari dalam rumah.

Kemudian tampaklah dua pria dan satu wanita masuk ke dalam rumah.

"Loh, ada tamu toh." Seorang pria yang sudah berumur menghampiri mereka diikuti dua orang dibelakangnya.

Ambar pun berdiri diikuti yang lain. Wanita itu mencium tangan suaminya dengan takzim. Kemudian diikuti oleh Adhwa. Lalu dua orang di belakang pria itu mencium tangan Ambar dan juga Adibah.

"Ini Mbak Arini. Temennya Adibah pak." Tutur Ambar pada suaminya.

Pria itu kemudian menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Saya Haidar. Iparnya Adibah." Ucapnya memperkenalkan diri.

Arini pun tersenyum ramah sebagai balasan.

Lalu tatapan Ambar beralih ke Ali. "Itu putranya, namanya Ali."

Yang disebutpun langsung mencium tangan Haidar dengan takzim.

"Oh ini, calonnya Adhwa?" Celetuk pria di sebelah Haidar. Pria itu juga dapat pukulan pelan dari wanita berjilbab navy di sampingnya. "Kan, aku nanya sayang."

"Ya nggak gitu, mas." Bisik wanita itu yang bernama Safiya—istrinya.

"Ya pertanyaan Mas Arya meresahkan. Pulang pulang bikin rusuh." Ketus Adhwa.

"Ngegas banget sih, dek."

"Udah udah. Jangan berantem. Malu sama tamu." Lerai Ambar.

"Kalau gitu, ngobrolnya dilanjutin aja. Saya mau ke dalem sebentar." Pamit Haidar sembari berlalu ke dalam.

Lantas Ambar, Adibah, Arini, Ali dan juga Adhwa kembali duduk, begitu juga dengan Arya yang ikut bergabung bersama sang istri.

"Ini Arya, anaknya Mbak Ambar." Jelas Adibah pada Arini. Kemudian pria itu mencium tangan Arini dengan takzim.

"Terus ini istrinya." Ucap Adibah saat Safiya juga mencium tangan Arini.

Arini tersenyum hangat sebagai tanggapan. "Rumah jadi ndak sepi kalau banyak personilnya gini."

"Iya sebenernya. Apalagi di masa masa tua gini, paling enak bareng keluarga." Sahut Ambar.

"Jadi, ini bukan calonnya Adhwa." Celetuk Arya membuat Adhwa kembali kesal. Dia dapat lemparan bantal dari gadis itu. "Aduh."

"Adhwa.." Tegur sang bunda.

Sedangkan gadis itu memberengut. "Rusuh kamu dek." Kata Arya.

"Lagian kamu juga, ngapain nanya begitu?" Sahut sang ibu.

"Ya kan, pengen mastiin aja. Jarang jarang ada seorang pria datang ke rumah dengan ditemani seorang Adhwa sebagai penerima tamu." Ujarnya menimbulkan kekehan dari Adibah.

Tapi lain hal untuk Adhwa, kekesalannya menambah saat mendengar pernyataan itu. Meluncurlah sebuah bantal lagi. Yang letaknya ada di dekatnya—samping Ali.

"Aduh." Bantal itu tepat mengenai kepala Arya. "Tega kamu dek. Ntar kalau gantengnya mas hilang gimana?"

"Ganteng dari hongkong." Cibir gadis itu.

"Ya nggak papa sih, dari hongkong. Di sana juga ada yang ganteng ganteng." Selorohnya seraya memungut 2 bantal yang tergeletak di lantai.

Ingin sekali Adhwa memukul pria itu sepuasnya, tapi situasi tidak memungkinkan. Akhirnya dia mengambil 1 bantal lagi. Tapi sebelum terlempar, sebuah tangan mencekal bantal itu.

"Udah. Nggak usah di lempar lagi. Yang ada nanti Mas Arya makin ledekin kamu." Ucapnya sambil menaruh bantal itu di sampingnya.

Semua yang melihat adegan itu tersenyum manis. Terutama Ambar, Adibah dan juga Arini. Tak lupa Safiya yang juga tersenyum sambil menatap gadis itu. Apalagi Arya yang semakin gencar ingin menggoda adik sepupunya itu.

Sadar akan posisinya, Ali menegakkan tubuh kemudian mengambil gelasnya tadi untuk diminum agar kegugupannya berkurang.

"Cocok udah. Yang satu emosian, yang satu nenangin." Celetuk Arya.

"Arya udah. Jangan di godain terus Adhwanya." Tegur Adibah.

"Iya, udah. Kamu tuh, seneng banget ngejaili Adhwa." Imbuh Ambar sambil menepuk lengan putranya.

Arya selaku tersangka menyengir. "Iya iya. Maaf deh." Pria itu menatap Adhwa. "Maaf ya, dek."

Alih alih menjawab, Adhwa justru membuang muka. Gadis itu sudah terlanjur kesal pada Arya.

"Jangan judes judes, ntar si Ali nggak jadi naksir loh." Ucap Arya dengan santainya.

Sementara Adhwa yang emosinya sudah dipuncak, menatap bengis pria itu. "Terserah!" Gadis itu beranjak begitu saja tanpa peduli yang lain.

"Adhwa..." Panggil sang bunda saat gadis itu berjalan ke koridor.

"Arya.. Kebiasaan kamu ya." Geram Ambar.

Sedangkan sang pelaku hanya menyengir. "Kan cuma bercanda bu."

"Sama aja. Bujuk sana!" Titah Ambar.

Pria berjaket hitam itupun beranjak dari sofa lalu menyusul adik tercintanya. Sementara yang lain melanjutkan obrolan, Safiya juga ikut menyahut sesekali.

Tak lama kemudian, kedua adik kakak sepupu itu kembali bersama Haidar. Adhwa kembali ke tempat duduknya. Sementara Arya dan ayahnya duduk bersebelahan.

"Jadi, Mbak Arini ini temenan sama Adibah udah lama? Kok dari auranya kayak udah lama banget kenal." Kata Haidar.

"Arini ini temen aku dari SD sampe SMP. Kita itu deket banget. Aku dulu juga sering banget ke rumahnya. Sering juga bikin kue, jajanan tradisional sama Mbah Ayu. Neneknya Arini. Jarak rumah kita juga nggak jauh. Jadi habis pulang sekolah, kalau nggak ke rumah Arini ya kadang ke rumahku." Jelasnya.

"Oh gitu." Haidar manggut manggut. "Terus pas SMA, Mbak Arini pindah ke Surabaya?" Tebaknya.

"Iya, mas. Saya pindah ke Surabaya tinggal sama orang tua saya. Jadi, saya di Blitar itu tinggal sama mbah saya. Sedangkan orang tua saya ada di sini."

"Cocok dah, desanya sama." Celetuk Arya langsung dapat tatapan dari sang ayah.

"Kamu tuh, cocak cocok aja. Baru juga baikan sama Adhwa." Omel sang ayah.

Arya nyengir. "Ya ndak pa pa toh pak. Kali aja, mereka mau kenal lebih jauh." Katanya dengan hati hati. Takut jika Adhwa marah lagi. Dan ternyata gadis itu sudah memberikannya tatapan membunuh. "Ndak pa pa kan, tante." Ujarnya pada Arini. Berniat mencari sekutu.

Arinipun mengangguk pelan. "Boleh. Kalau kata anak jaman sekarang sih, PDKT. Ali juga single kok." Ucap Arini membuat Ali memijat pelipisnya. Kemudian pria itu mengambil ponsel di saku celana. Lantas membuka whatsapp dan mengetik pesan pada Rafka.

"Nah, kan. Tante Arini aja setuju." Kata Arya dengan senang.

Sedetik kemudian bunyi suara panggilan ponsel dari saku pria itu. Arya kemudian mengambilnya dan melihat siapa yang menelepon.

"Bapak mertua." Ucapnya saat membaca nama yang tertera pada layar. Dia pun pamit untuk menyingkir ke koridor. Masuk ke ruang makan yang terhubung dengan dapur dan juga ruang keluarga.

"Terus, Mas Ali ini kerja atau punya usaha sendiri?" Tanya Haidar.

Ali memasukkan kembali ponselnya ke saku begitu mendapat pertanyaan. "Saya kerja di kantor papa, pakde."

"Ooh, ngomong ngomong usianya berapa?" Tanyanya lagi.

"29 pakde."

Haidar manggut manggut. "Anak tunggal atau punya saudara?"

"Punya adik perempuan, umurnya 20 tahun." Jawab Ali. Rasa rasanya dia seperti sedang diintrogasi.

Seulas senyum diberikan Haidar. "Menurut kamu apa hal yang terberat jadi anak pertama? Apalagi adiknya perempuan."

Kening Ali berkerut. Dalam hati dia berkata, "Kenapa jadi berat gini pertanyaanya?"

"Kenapa pertanyaannya jadi serius gitu toh pak?" Tanya sang istri.

"Ya ndak pa pa, bu. Bapak cuma tanya aja." Jawab Haidar dengan tenang. Lalu menatap Arini. "Ndak pa pa toh, Mbak Arini?"

Arini mengangguk pelan. "Iya, ndak pa pa. Justru saya juga pengen tau jawaban anak saya gimana. Jadi tau apa yang dirasain anak saya. Saya juga jadi tau apa yang harus dilakukan."

"Tuh. Ndak pa pa." Pria itu berlaih menatap Ali. "Ndak keberatan toh, Nak Ali. Kalau pakde tanya gitu?"

Ali menggeleng pelan. "Ndak keberatan kok, pakde."

Haidar kembali tersenyum. "Jadi, bagaimana Mas Ali, jadi anak pertama?"

"Jadi anak pertama, punya tanggung jawab besar. Apalagi punya adik perempuan yang benar benar harus dijaga dengan baik. Dan selama 29 tahun saya lewati, ada beberapa hal yang jadi pelajaran buat saya. Bagaimana menjadi anak dan kakak yang baik untuk keluarga. Contohnya waktu itu, papa belum bisa pulang ke Indonesia karena pekerjaan mendesak." Arini mendadak tegang mendengar kalimat terakhir. "Padahal saat itu hari kelulusan adik saya. Akhirnya saya kasih pengertian. Sebenernya saya sendiri juga sedikit kecewa papa nggak bisa datang. Tapi saya berusaha untuk mengerti." Ali menatap mamanya dengan penuh makna. "Bahwa pekerjaan itu nggak bisa ditinggal, dan harus papa yang menangani." Katanya dengan tenang, namun tatapannya tidak bisa berbohong. Seolah memberi pesan tersirat kepada mamanya. "Saya juga berusaha bicara ke adik saya dari hati ke hati. Dia pun akhirnya mengerti dan saya menggantikan posisi papa di acara itu." Tatapannya sudah kembali ke Haidar.

Sementara Arini tertegun akan apa yang Ali katakan lewat mata. Dia merasa bersalah atas apa yang dirasakan putranya.

"Ya menjadi anak pertama memang nggak mudah. Karena itu saya selalu belajar di setiap hari. Bagaimana mengatasi situasi yang bahkan nggak saya mau." Sambungnya dengan senyuman tipis.

Haidar yang mendengar penuturan pria itu lagi lagi memberikan seulas senyum. "Kamu pernah menyesal menjadi anak pertama?"

Ali kemudian menggeleng pelan. "Saya nggak pernah merasa seperti itu. Justru saya bersyukur memiliki tanggung jawab itu." Jawanya di akhiri senyuman tipis.

Sedetik selanjutnya, bunyi panggilan ponsel dari sakunya. Ali pun segera mengambilnya dan menjauh dari sana untuk menerima panggilan.

"Assalamualaikum." Salam dari sebrang sana.

"Waalaikumsalam." Jawab Ali. Dia sedang berdiri di teras depan—tepatnya di depan pintu yang terbuka setengah.

"Ngapain nyuruh telepon?"

"Nggak pa pa. Lagi urgent. Yaudah kalau gitu. Aku tutup, Assalamulaikum." Kata Ali menutup telepon secara sepihak.

Sebenarnya dia menyuruh Rafka menelepon agar dia bisa berasalan segera pergi. Karena dia tidak mau mamanya bicara terlalu jauh. Contohnya soal PDKT tadi.

"Telepon dari siapa Al?" Tanya Arini begitu pria itu kembali.

"Mas Rafka. Tanya soal kerjaan." Jawabnya seraya duduk di tempat semula.

"Oh ya, sampai lupa. Saya tadi sebenarnya ada janji. Terus ketemu Adibah di minimarket. Sekarang jadi lupa kalau ditunggu orang." Ujar Arini. Dia memang awalnya ingin ke rumah omanya Reza—sahabat putranya. "Maaf, jadi tiba tiba gini." Sambungnya.

"Ndak pa pa." Jawab Ambar.

"Aku antar ke depan." Kata Adibah begitu mereka berdiri.

Akhirnya Arini dan Ali pergi dengan di antar Adibah sampai mobil mereka terparkir. Tak lupa Adhwa yang disuruh bude serta Safiya untuk ikut mengantar sampai depan rumah.

"Makasih udah mampir. Maaf kalau ngerepotin." Ucap Adibah dengan tulus.

"Aku juga makasih udah diterima dengan baik. Maaf juga ngerepotin. Jadi nggak enak, tiba tiba pamit." Balas Arini.

"Ndak pa pa. Kan emang kamu ada perlu."

"Yaudah, aku pamit. Kamu jaga kesehatan. Jangan lupa main ke rumah." Arini menggenggam tangan Adibah.

"Insya Allah. Nanti aku ajak Adhwa juga." Jawabnya dengan tersenyum hangat. Kemudian Arini memeluk, Adibah pun membalasnya.

Begitu pelukan terlepas, Arini menghampiri Adhwa yang berada di belakang tak jauh dari bundanya. Sementara Ali beralih menghampiri Adibah.

"Makasih udah mau mampir." Ucap wanita itu dengan lembut.

"Sama sama tante." Jawab Ali sembari tersenyum ramah.

Adibah pun ikut tersenyum sambil menatap pria itu lama. Bahkan tatapannya seolah mengartikan sesuatu. Seraya menepuk pelan lengan pria itu, Adibah tersenyum lembut. Sedangkan yang ditatap mengerutkan kening bingung.

"Tolong sering sering main ke sini ya." Pinta Adibah. Namun ditelinga Ali terdengar sesuatu yang lebih dari sebuah permintaan. Apalagi dengan kata 'Tolong' di depan kalimat.

Meskipun begitu, dia tetap mengangguk. "Iya tante."

[FLASHBACK OFF]

Bagian ini panjang ya, jadi akan aku bagi dua. Nanti di bagian ini bakal ada yang part duanya. Terimakasih sudah membaca..

Cochacreators' thoughts