webnovel

Pulang bersamanya

Tak terasa sudah sebulan dia bekerja di tempat itu. Esya memandang langit pagi yang cerah. Sama seperti hatinya yang sedang gembira-gembiranya. Ada secarik harapan kalau Minggu depan uang gaji pertamanya akan turun.

"Minggu depan, aku beli apa, ya?" monolognya pada diri sendiri. Sekarang ini, wanita itu sedang melihat-lihat barang di toko buku. Ada berbagai pernak-pernik disana.

"Esya?" Pria berpakaian santai itu tampak familiar baginya. Kening Esya mengerut seraya bergumam, "Siapa, ya?"

Alih-alih menjawab, pria itu malah tertawa kecil. Dilepas kacamatanya, dia tersenyum dengan gingsul yang sempurna.

DEG!

"O-oh! Anugerah?! Sejak kapan kamu ada disini?!" tanya Esya penasaran. Secara tak sadar, dia sudah menggandeng tangan lelaki itu. Tidak dapat dipungkiri, wajah Anugerah memang tampan. Badannya pun atletis. Apalagi sekarang pakaiannya serba hitam, itu semakin menambah daya pikatnya.

***

Esya tersenyum seraya memandang Anugerah yang sedang menyelesaikan makanannya.

"Demen lo ya? Gue emang ganteng, sih" kata Anugerah disela-sela kunyahannya. Sesaat dia melirik Esya. Terakhir kali mereka bertemu, waktu kelas sebelas, pria itu pindah sekolah karena orang tuanya pindah tugas dinas.

Esya terkekeh mendengar candaan pria dihadapannya. "Nggak, lah. Gue kangen sama lo tau. Kapan kita main lagi, ya?" celoteh Esya, dia memang lumayan terbuka pada pria ini. Karena mereka bisa dibilang sepasang sahabat waktu semasa sekolah.

"Gue udah punya pacar. Maaf karena kita lost kontak, gue jadi nggak bisa ngabarin lo." Bagai kaca yang terbentur bongkahan batu besar, itu seketika pecah berkeping-keping tanpa ada sisa untuk perbaikan. Entah kenapa, rasanya hati Esya sangat sakit mendengarnya. Tapi dia masih bisa tersenyum.

"Jalan bareng pacar lo, dong. Kita pergi refreshing, Rah." usul Esya yang tampak baik-baik saja. Dia sangat pandai menyimpan perasaan yang sesungguhnya.

Mendengarnya membuat Anugerah tertawa lepas. "Asal lo tau, ya. Pacar gue cemburuan abis orangnya. Ya mungkin nanti gue coba bilang kali ya—"

"Nggak. Gue bercanda, kok." Esya tertawa getir. Uluh hatinya semakin terasa nyeri dan panas. Sangat menyakitkan. Seharusnya dia sudah menangis sejak tadi.

"Gue duluan, ya, Sya. Ini lo yang traktir, 'kan?" Anugerah tertawa getir. Dikeluarkannya dompet bahan kulit itu. Dia menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah pada Esya.

"Iya, kok. Gue yang bayarin. Nggak, gak usah, Rah." tolak Esya menggeleng-geleng.

"Percuma lo nolak juga. Gue langsung ke kasirnya, lah." Sepertinya Anugerah sudah banyak perubahan. Esya merasa dia seperti terbuang jauh. Padahal dulu mereka sangat dekat. Sampai-sampai beredar rumor kalau mereka sebenarnya pacaran.

Esya melanjutkan makannya. Walaupun hatinya terasa nyeri, dia tak boleh menghakimi dirinya sendiri. Memang tak dapat dipungkiri, Esya masih menaruh harapan pada lelaki itu. Tapi, kalau takdir berkata lain, wanita itu bisa apa?

Disela-sela kunyahannya, dia tak sadar telah menitikkan air mata beberapa kali. Segera dihapusnya air mata yang tersisa. "Sya, udah sih. Kalau dia jodohnya sama orang lain, emang kenapa? Dia berhak bahagia, hey. Lo sama dia, 'kan cuma teman."

"Cantik, jangan nangis gitu dong!" Esya tahu itu suara seseorang yang dia kenal. Tapi, dia memilih untuk tak menghiraukannya. Kali ini, entah kenapa rasanya emosi batinnya benar-benar terkuras habis.

Terdengar helaan napas panjang dari wanita itu. Mimik wajahnya benar-benar terlihat menahan Isak tangis yang sudah memuncak. Tangannya bergetar menahan emosi dalam dada.

'Gue mau marah sama lo, Rah. Tapi gue siapa? Kita nggak lebih dari seorang teman, 'kan?'

Alih-alih memberi semangat, pria disampingnya malah tertawa terbahak-bahak. "Kamu nangis karena cowok barusan, ya? Oh, kamu suka dia?"

Esya menarik napas panjang, mencari secercah harapan hidup. "Yagi. Gue lagi nggak mau bicara sama siapapun. Lo boleh per—"

"Esya, saya diutus ibu buat jaga kamu. Kalau kamu usir saya—"

"Yagi, stop!!! Lo ini bisa mikir nggak, sih?! Gue lagi nggak mau bicara sama siapapun!!! Lo bisa pahami nggak?!!" Teriak Esya menggebrak meja makan restoran itu. Seketika orang-orang memandang aneh padanya. Banyak sepasang mata dan juga bisikan-bisikan gosip random tentang wanita itu.

"Udah, lah! Hiks …." Esya beranjak berdiri, dia cepat-cepat melangkah keluar dari restoran ini.

'Gak ada yang menyangka kalau habis seneng-seneng mikirin gaji, gue malah jadi sedih banget kayak gini. Hiks ….'

"Jangan gitu, Ca. Kamu tahu, 'kan, kalau kamu nangis, saya merasa terpanggil terus."

"Terus gue harus apa?! Lo kira ekspresi manusia itu apa, Yagi?! Cuma ketawa, ketawa, dan ketawa?! Lo kira gue badut, hah?! Lo kira gue psikopat gila yang disaat seharusnya sedih, malah ketawa cekikan, gitu?! Iya gitu?!!" Maki Esya. Walaupun dia setengah berlari, gaya bicaranya tetap normal. Itu adalah hal yang makin membuatnya spesial. Dia memang lebih punya nilai berbeda dari wanita lain.

"Sekarang apa lagi, hah?! Lo mau ngejek gue dengan ikut-ikutan lari ngos-ngosan gitu?! Iya, hah?! Lo kok … Lo kok jahat banget, sih!!!!?!!" Dan emosinya benar-benar memuncak. Dari tadi, laki-laki yang namanya Yagi itu tak menjawab apapun. Dia terlihat mendengarkan semua ocehan yang tak seharusnya disimpan dalam hati.

PLAK!!!

"Bangsat! Gue lagi ngomong! Peka dikit kek, jadi cowok! Hiks …." Salah satu hal yang Esya takutkan adalah ketika emosinya sudah paling di atas, dia tak dapat menahannya lagi. Temperamental wanita itu sangat buruk.

Matanya membulat sempurna ketika tangannya bisa menyentuh Yagi. Lebih tepatnya, menampar lelaki itu.

"Maaf!!! Maafin gue!!!" kata Esya ketika melihat Yagi tersungkur. Dia segera memeluk erat-erat pria itu, seakan-akan mereka takkan pernah bertemu lagi.

Dan air matanya berderai sempurna. Tetesan air matanya sempurna membasahi baju lelaki itu. Saat ini, Esya sangat takut kehilangan Yagi. Karena saat ini, hanya dia yang wanita itu punya saat ini. Sungguh.

"Lo nggak marah sama gue, 'kan? Hiks ... Jangan, ya … jangan, please …." Esya semakin mengeratkan pelukannya. Sampai-sampai dia bisa merasakan degupan jantung Yagi. Itu terasa berdetak sangat cepat. Kali ini dia sangat takut kalau ucapannya terbukti, dan Yagi benar-benar akan menghilang. Selamanya. Firasatnya berkata demikian.

"G-gue akan selalu ada buat l-lo, Ca." Yagi terkekeh geli dan ikut mengeratkan pelukan mereka. Sesaat dia mengusap-usap bahu wanita itu. Menepuknya pelan-pelan. Itu adalah bahasa tubuh saat orang yang menderita hanya membutuhkan sentuhan.

"Lo … Lo mulai adaptasi sama dunia gue, ya? Makasih …." Air matanya semakin berderai, karena selama ini, Esya ikut-ikutan memakai bahasa aku-kamu, karenanya. Di era sekarang, sudah sangat jarang orang yang berbicara menggunakan penggunaan aku-kamu seperti lelaki itu. Esya beradaptasi dengannya.

"Kita pulang, ya, cantik. Jangan nangis lagi, cup, cup, cup." Dia mengelus punggung Esya sebelum benar-benar melepaskannya. Sekarang mereka tengah berjalan pulang, dan Esya tidak begitu menyadari, kalau faktanya banyak sepasang mata melirik mereka.

Dia sibuk mengelap ingusnya, meminjam bahu Yagi sejenak, pandanganya kosong sebab hatinya masih terlalu rapuh untuk mengikhlaskan orang yang sudah lama ditunggu-tunggu.