Sariel mencegat sebuah taksi. Ia tampak terburu. Tidak memikirkan bagaimana perasaan tunangannya. Ingatannya justru terbayang tentang Bello seorang. Anak yang tak mampu bicara tetapi selalu menjerit saat orang yang tak dikenalnya mendekat. Ia merasa kasian melihat anak cerdas yang tak mampu bicara tersebut. Bagaimana mungkin anak sekecil itu selalu hilang dari pandangan para pengawalnya. Padahal ia yakin kalau Dito sangat waspada saat mengawal Bello. Sariel menggeleng saat pikirannya justru ikut campur urusan orang lain. Sedangkan dia tak berhak sama sekali untuk tahu hal itu.
Sariel segera masuk kedalam taksi dan menentukan arah taksi tersebut. Sang sopir segera memacu mobilnya, mereka bergerak dengan cepat sesuai permintaan penumpangnya. Bahkan wanita yang kerap tenang tersebut tampak duduk gelisah. Sesekali matanya bergerak menatap sepanjang bahu jalan yang dilaluinya.
Pikirannya tampak berkecamuk saat mendapatkan email dari sebuah perusahaan besar. Kernyitan dalam langsung menghias dahinya. Saat perusahaan ternama tersebut justru menawarkan sebuah pekerjaan untuknya. Pekerjaan yang nyatanya tak pernah ada di dalam perusahaan tersebut.
Tanpa pikir panjang, Sariel langsung menolak tawaran kerja tersebut. Ia yakin kalau seseorang sedang berusaha menipunya. Apalagi sekarang dalam masa sulit. Tidak mungkin perusahaan besar tersebut memintanya untuk bekerja, sementara mereka tidak tahu dimana letak bakat yang dimiliki olehnya.
Walaupun sebelumnya, dia sudah pernah mengirimkan lamaran kerja pada pihak mereka. Namun menunggu hingga beberapa bulan lamanya, sama sekali tak mendapat panggilan wawancara. Ia yakin pihak mereka sudah menolak dirinya. Dan sekarang pun Sariel mengubah keinginannya tersebut setelah tahu sosok pemilik perusahaan K yang sebenarnya.
Setelah menempuh perjalanan selama 25 menit lamanya, Sariel tiba ditempat tujuan. Terlihat jelas kalau Dito sedang sibuk menghubungi seluruh anak buahnya untuk membantu mencari hilangnya Bello.
Dengan cepat Sariel turun dari mobil setelah menyerahkan ongkos taksi. Ia berlari kearah Dito yang masih sibuk bicara dengan seseorang ditelpon.
"Dito. Bagaimana mungkin anak sekecil Bello selalu lari hingga sejauh ini? Jelaskan padaku!"
Dito terkejut dan berbalik. Ia sudah menemukan Sariel yang berdiri tepat dihadapannya dengan tatapan khawatir. Wajahnya tampak gelisah dan cemas.
"Maafkan saya Nona karena merepotkan Nona. Saya terpaksa meminta bantuan Nona untuk mencarinya karena tuan Kecil hanya bisa akrab dengan nona selain ayahnya sendiri," sahut Dito tanpa mau menjelaskan semuanya.
Sariel mengangguk paham. Matanya berputar mencari keberadaan anak tersebut. Ia berlari dengan perasaan sangat khawatir.
"Bello. Dimana kamu, sayang. Ini kak Sariel!" teriaknya sambil berlari mengitari taman yang ada didepan mereka.
***
Sementara itu, Gabio sedang bersama Arkan diruang kerjanya. Ia masih sibuk menatap layar komputer dihadapannya.
Pintu ruangannya tampak diketok dari luar. Setelah mendapat izin dari pemiliknya, Roni muncul dengan beberapa berkas ditangannya.
"Tuan, email yang tuan kirimkan pada nona Sariel langsung ditolaknya begitu saja!"
Arkan langsung cekikikan mendengarnya, menatap Gabio dengan lucu. Ia segera berdiri dari posisi duduknya.
"Menolak pria yang paling diimpikan oleh seluruh gadis di kota ini?" tanyanya dengan tatapan jenaka.
"Ini pertama kalinya aku mendengar orang yang paling diinginkan seluruh wanita ditolak langsung oleh seorang wanita. Ternyata Nona Sariel ini tidak main-main. Dan aku semakin penasaran dengan sosoknya," ucap Arkan.
Gabio tampak berpikir, tatapannya sangat dingin.
"Sepertinya harus aku sendiri yang turun tangan. Aku akan mengirimkan surel untuknya."
"Apa? Surel?" Arkan kembali duduk dihadapan Gabio. Menatap Gabio yang terlihat sibuk mengetik di komputer miliknya.
"Hei kawan. Kamu terlalu kaku. Janganlah bersikap kaku seperti itu. Aneh kalau dia langsung menerimanya. Sini biar aku bantu!"
Arkan mengetik di komputer Gabio, menghapus lampiran yang ingin dikirimkan oleh Gabio.
"Hei! Apa yang kamu lakukan!"
Gabio tampak marah melihat lampiran yang dibuatnya barusan langsung dihapus oleh Arkan. Ia berusaha meraih keyboard komputer tersebut, tetapi tangan Arkan selalu memukul tangannya setiap kali menyentuh keyboard tersebut. Arkan tetap melanjutkan mengetik di komputer tersebut. Entah apa yang sedang diketiknya, Gabio yakin kalau lelaki playboy didepannya ini pasti menulis sesuatu yang terlihat aneh dimatanya.
"Sekarang ini wanita tidak memandang uang. Mereka lebih perduli pada dirimu. Lihat saja dirimu, sangat tampan dan luar biasa." Tangan Arkan berhenti mengetik, ia akan bergerak ingin meraih wajah Gabio. Tetapi Gabio langsung meliriknya tajam.
"Jangan aneh-aneh," cegat Gabio. Arkan kembali menarik tangannya. Kemudian mengetik lagi di komputer.
Kembalikan padaku." Gabio merebut stik tersebut dari tangan Arkan.
"Sebentar," cegah Arkan. Tanpa sengaja ia menekan kirim pada semua file gambar yang ada disana. Dengan cepat Arkan menutup komputer tersebut. Menatapnya dengan permohonan maaf.
Tetapi Gabio mengacuhkan tatapan memelas tersebut, ia justru menatapnya dengan kesal luar biasa.
"Walaupun kamu menutupnya, file itu akan tetap terkirim!" ucapnya sangat dingin.
Arkan meneguk ludahnya kasar saat mendengar ucapan dingin Gabio. Tidak ada kehangatan sama sekali dalam nadanya.
Pintu ruangannya kembali terbuka, Roni masuk dalam keadaan pucat dan berkeringat dingin.
"Tuan. Tuan Kecil kembali hilang!"
Gabio langsung bergerak meninggalkan ruangan kantornya. Begitupun dengan Arkan. Ia sudah melupakan semua yang baru saja terjadi.
"Aku akan membantumu mencarinya."
Gabio hanya mampu mengangguk samar sambil meneruskan langkahnya.
"Roni, bagaimana kronologinya hingga Bello menghilang?" tanya Gabio saat mereka sudah menempuh perjalanan kearah tempat yang dimaksud.
Suaranya terdengar datar dan sangat dingin. Ada aura marah bercampur khawatir yang tersimpan didalamnya.
"Kata Dito, Tuan Kecil merajuk sejak memasuki mobil untuk diantar ke sekolahnya. Dito sendiri tidak tahu apa penyebabnya," sahut Roni dengan hati-hati. Ia tampak berkeringat dingin. Melirik takut-takut melalui kaca spion mobil.
Gabio diam berpikir, rahangnya tampak mengeras. Ia menatap dingin kedepan sambil mengusap wajahnya kasar. Bayangan Sariel kembali menari dipelupuk matanya.
"Wanita itu selalu membuat hubungan kami kacau akhir-akhir ini," gumamnya pelan.
Roni hanya mampu melirik saja kearah Tuannya tanpa berani menyahut perkataan Gabio. Ia tahu kalau Tuannya bertambah kesal karena tawaran pekerjaan yang di tolak mentah-mentah oleh wanita tersebut.
Lelaki itu ingat betul syarat yang diminta oleh Bello agar ia tidak terus berlari seperti sekarang. Ia ingin Sariel berkumpul bersama dengannya. Menjadi pengasuhnya dan dapat melihat wajah yang dirasa cantik oleh Bello setiap hari.
Padahal dirinya pun sedang berusaha untuk mendapatkan keinginan tersebut. Tetapi wanita itu terlalu jual mahal padanya.
"Roni, tolong kamu selidiki sedetail mungkin mengenai wanita itu. Aku ingin mendapatkan laporan tentang dirinya hingga sore nanti."
Gabio melirik kearah bahu jalan. Sebentar lagi mereka akan sampai ditujuan.
"Aku ingin tahu apa saja kelemahan wanita itu," gumamnya pelan saat mobil mereka berhenti tepat didepan taman tempat Dito berada.
"Baik, Tuan!" sahut Dito. Ia segera turun dan berjalan kearah pintu mobil yang ditempati oleh Gabio.
Gabio segera beranjak turun dari mobil dengan langkah cepat dan tergesa. Auranya sangat mencekam ditambah dengan tatapannya yang tajam mengoyak. Seluruh anak buahnya tampak membeku dengan tatapan menunduk. Tak ada yang berani mengangkat kepalanya dan berujar. Mereka tahu resiko apa yang akan didapat kalau mereka tidak patuh.
"Bagaimana? Apakah kalian sudah mencari Bello!?"
Seluruh anak buahnya saling melirik, tidak ada yang berani bersuara. Hanya anggukan kepala menjadi pertanda bagi Gabio.
"Tuan, kami sudah berusaha mencari Tuan Kecil. Tetapi hingga saat ini kami masih belum menemukannya."
Gabio tampak garang mendengarnya. Matanya bergerak memindai satu persatu anak buahnya yang berjejer berdiri dihadapannya.
"Cari lagi. Kalian tidak aku izinkan untuk istirahat kalau Bello tidak ditemukan!" bentaknya. Gabio mengusap wajahnya frustasi. Ia tak mampu berpikir jernih. Bello adalah satu-satunya peninggalan orang yang paling berharga dalam hidupnya setelah kecelakaan besar merenggut mereka.
***