webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
25 Chs

Interlude 03 : Jembatan dimana Mereka Berada - 01

Setelah slide ditarik ke belakang sehingga peluru masuk ke dalam kamar peluru, dia langsung menarik pelatuk dari kedua pistol yang digenggamnya.

Ditariknya pelatuk langsung memicu adanya ledakan kecil pada bubuk mesiu yang berada di dalam peluru pistolnya. Ledakan ini menyebabkan terjadinya energi kinetik yang berlawanan arah antara peluru dan pemicu.

Setelah ledakan kecil tersebut slide pistol langsung terdorong ke belakang, berbalik dengan peluru yang melesat keluar dari rongga pistol dengan kecepatan tinggi.

Peluru-peluru tersebut melesat membelah hembusan angin, suara tembakkan pistol yang bising saat membuat burung yang hinggap di pohon dan hewan yang ada di sekitar area itu langsung lari menjauh darinya.

Meskipun begitu, peluru-peluru yang dia tembakkan tak bersuara. Mereka menyatu dengan angin. Tak bersuara namun cepat bagaikan kilat.

Mereka melesat menerobos apapun yang ada di hadapannya. Bahkan dahan dan ranting pohon yang lumayan tebal bukanlah masalah.

Saat monster-monster itu sadari, tubuh mereka sudah dipenuhi lubang bagaikan sarang lebah. Mereka langsung terjatuh lemah, hp-bar mereka sudah terkuras habis setelah bertarung selama empat menit melawan perempuan itu.

Jangankan melukai, mereka bahkan tak bisa menggoresnya sedikitpun. Meskipun staminanya tidaklah banyak, gerakan tubuhnya cepat bagaikan hyena dan kecekatannya luar biasa tanpa mengurangi sedikitpun keseimbangannya.

Meskipun bergerak dengan cepat, tembakannya masihlah sangat akurat seakurat tembakkan seorang penembak jitu.

Kelasnya adalah Gunman, sebuah kelas pengguna senjata api yang beratribut elemen petir atau api. Kelas ini berfokus pada daya tembak, keseimbangan, kecepatan dan serangan. Berbeda dengan saudaranya Archer, Gunman dapat menggunakkan berbagai macam variasi senjata seperti Rifle, Sniper Rifle, Handgun, Sub Machine Gun dan Machine Gun. Sebagai tambahan, kelas ini juga bisa menggunakkan pisau belati.

Atribut yang didaptakannya adalah petir.

"Dengan begini aku naik ke level empat belas."

Sembari menarik napas lega, perempuan berambut merah itu menyimpan kedua pistolnya ke dalam kantung yang tergantung di paha celananya.

Dari berbagai macam variasi senjata, Gunman lebih memilih untuk menggunakkan dua pistol sebagai senjata utamanya. Selain ringan untuk dibawa, pistol juga efektif di pertarungan jarak dekat maupun menengah dan tidak memakan banyak stamina.

Berbeda dengan Archer yang berpenampilan seperti tokoh dari dunia fantasi, kostum pakaian yang dikenakkan Gunman terlihat modern dan futuristik. Seolah pakaian ini berasal langsung dari film sci-fi blockbuster hollywood.

Bagaimana tidak? Dengan pakaian ala seorang agen yang serba hitam dengan motif kuning, biru dan setelan kemeja putih di bagian kerah dan sekitarnya, peserta-peserta lainnya pasti akan langsung berpikir kalau Sisin adalah tokoh yang keluar langsung dari film. Apalagi pakaiannya memiliki jubah yang membentang luas hingga menutupi betisnya.

Sepatu but kulitnya yang berwarna hitam juga terlihat modis ditambah dengan motif berwarna kuning di atasnya.

Meskipun begitu ada sedikit kekurangan yaitu dimana kantung untuk menyimpan pistol yang mengikat dada dan punggungnya terasa sedikit sesak.

Setelah monster-monster yang dikalahkannya lenyap, ia langsung membuka inventory-nya untuk memeriksa item apa saja yang dia dapatkan setelah mengalahkan monster tadi.

"Ternyata tidak ada yang bagus ya....?" Gunman menghela napas sambil menggaruk-garuk rambutnya penuh kekecewaan. Equipment pistol yang didapatkannya bahkan tak bisa dibandingkan dengan kualitas pistol yang dibelinya di toko beberapa menit yang lalu.

Saat dia tahu kalau dia diserang setelah keluar dari toko, dia mengira kalau dia dapat mendapatkan equipment-equipment bagus dari monster yang menyerangnya, namun kenyataan tak sebaik yang diharapkan.

"Akh... apalagi, sejak tadi aku sama sekali tak bertemu dengan pemain lain! Bukan berarti itu hal yang buruk sih, karena dengan begini aku bisa bertahan sampai akhir dengan kondisi prima. Tapi, kalau begini terus bisa-bisa aku mati karena bosan!"

Omelnya sendiri seakan-akan sedang memarahi orang lain. Dia sadar kalau yang dia lakukan saat ini cukup kekanak-kanakan, namun kalau dia terus menahan unek-uneknya, bisa-bisa dia meledakkannya suatu saat nanti dengan unek-unek yang jauh lebih buruk dari saat ini.

"Hah... yah sudahlah..." Dengan hati yang masih merasa agak kecewa, Gunman hendak menutup tabel inventory tersebut, namun tangannya langsung terhenti ketika kedua matanya mengedarkan pandangannya ke deretan huruf yang tersusun rapih di atas gambar avatar-nya.

Sisin.

Itulah nickname yang ia tulis saat membuat karakter.

Sungguh, hatinya terasa sesak saat melihat nama itu. Bukan karena perasaan pribadi yang dimilikinya atas nama itu, namun karena betapa menyesalnya dia menulis nama karakternya seperti itu.

"Hah.... bukankah nama ini terlalu jelas? Dengan begini Dimo dan Zakaria pasti langsung tahu siapa aku." Eluhnya lagi yang lalu dengan lemasnya menutup tabel inventory.

Sindy, itulah identitasnya yang asli. Dimo dan Zakaria adalah teman sekelasnya yang kebetulan juga mengikuti turnamen yang sama dengannya.

Dengan nama yang jelas seperti itu, Zakaria dan Dimo yang merupakan musuhnya di turnamen ini dapat dengan mudah mengetahui identitasnya. Sindy yakin Zakaria dan Dimo entah bagaimana dapat memanfaatkan informasi itu untuk mengalahkannya.

Penyebab terjadinya ini semua adalah dikarenakan Sindy yang terlalu terburu-buru saat membuat karakter. Dia takut kelas yang menjadi pilihannya direbut peserta lain, oleh karena itulah dia terburu-buru sehingga dia tidak sengaja memberi nama ini pada karakternya.

"Aku penasaran dimana Zakaria dan Dimo saat ini...? Apa mereka masih beertahan ya?" Sindy kembali berjalan menyusuri hutan. Meskipun pikirannya tenggelam di dalam lautan khayalan, dia tak pernah menurunkan pertahanannya.

Srek, srek.

"Siapa di sana?!"

Tak ada respon.

"Kalau kau ingin melawanku, sebaiknya kau tunjukkan batang hidungmu!"

Keadaan begitu sunyi, tak ada sedikitpun suara gesekan dedaunan, serangga maupun suara angin terdengar.

Sindy bahkan mulai bertanya-tanya kemana perginya "orang" yang mendekatinya.

Perlahan, Sindy menjulurkan tangan kirinya meraih pistol keduanya. Setelah itu, dia dengan pelan dan penuh hati-hati berjalan mendekati sumber suara. Dengan berhat-hati, Sindy berjalan menghindari ranting dan dahan yang berserakkan di tanah agar suara langkah kakinya tak terdengar.

Saat jarak antara dirinya dan semak sudah dekat, dia menggeser dedaunan semak dengan perlahan sambil sedikit mendorong pistolnya ke depan.

Meskipun tubuh virtual, Sindy dapat merasakan detak jantungnya yang berdegup dengan kencang. Dia merasa agak gugup karena ini adalah musuh pertama yang akan dilawannya. Meskipun begitu, Sindy yakin dengan kemampuannya bertarung.

"Apa ini....?"

Detak jantungnya langsung terhenti. Tubuhnya membeku saat menatap "benda itu."

Yang ia temukan bukanlah monster maupun peserta turnamen lainnya.

Namun sebuah lingkaran hitam di tanah yang bentuk lekukannya mirip seperti tapak kaki seseorang. Saat dia pertama kali melihat benda itu, dia langsung tahu kalau rumput hitam itu "busuk."

Seakan rumput yang berwarna hitam pekat itu "mati." Tak ada sedikitpun cahaya yang dapat meraih area berwarna hitam pekat itu. Tak hanya itu, saat Sindy melemparkan ranting pohon ke area itu, ranting itu juga berubah menjadi hitam seakan tertelan ke dalamnya.

Tapi yang lebih penting dari itu, jejak kaki ini masihlah baru. Karena bila tidak, maka ranting dan rumput ini telah kembali pada bentuknya semula.

"Jejak kaki siapa ini...?"

Sindy menengok mengikuti arah di mana jejak kaki ini pergi.

"Apa sebaiknya kuikuti jejak kaki ini? Atau...."

Meskipun dia berkata seperti itu, tanpa dia sadari tubuhnya sudah bergerak mengikuti jejak kaki itu dengan sendirinya.

Tanpa menyentuh sedikitpun jejak itu, Sindy mengikutinya. Instingnya mengatakan kalau dia tak seharusnya melakukan ini semua dan ini mungkin saja membuatnya kalah di turnamen ini.

Berhenti. Jangan lakukan ini. Berbalik dan pergilah. Lupakan semua ini. Tidak ada apa-apa di situ. Kau takkan menemukan apapun. Hentikan apapun yang hendak kau lakukan.

Instingnya mengatakan semua kata-kata itu.

Namun, rasa ingin tahunya berkata lain. Sejak awal Sindy memang merasakan ada yang aneh dari semua ini. Apalagi, kenyataan kalau dia, Zakaria, Dimo dan Leila bisa terdaftar di turnamen dimana kesempatan untuk bisa terdaftar sebagai peserta adalah sebuah kemungkinan satu banding seribu, hal ini sungguh mencurigakan.

Bila dia mengikuti jejak ini mungkin dia akan sedikit lebih dekat dengan jawaban.

Itulah yang dia pikirkan saat melihat jejak-jejak kaki yang diikutinya. Atau setidaknya itulah yang dia yakinkan pada dirinya demi membenarkan tindakannya.

Krak.

Saat mendengar suara ranting yang patah, Sindy langsung bersembunyi di balik pohon.

Sindy yakin kalau suara tadi dihasilkan dari ranting yang patah karena terinjak. Tapi bukan dia yang menginjak ranting itu.

Kalau begitu, seseorang atau sesuatu yang menginjak ranting itulah yang telah meninggalkan jejak tadi.

Sindy dekatkan dirinya ke pinggir pohon lalu mengintip dibaliknya.

Matanya langsung terbelalak. Pikirannya yang sebelumnya kosong langsung penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak masuk diakal. Tubuhnya sedikit lemas dan perutnya terasa agak mual saat memikirkan seluruh pertanyaan-pertanyaan itu.

Apa ini?

Apakah ini mimpi?

Ini tidak mungkin benar bukan?

Sebenarnya apa yang kulihat saat ini?

Itulah beberapa pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan yang terus menerus bermunculan bagaikan jerawat.

Namun dari semua pertanyaan itu, ada satu pertanyaan yang dapat menyimpulkan semuanya.

"Makhluk apa itu?"

Mati.

Kematian.

Sumber kematian.

Banyaknya kematian.

Kematian makhluk hidup.

Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati. Mati.

Rasanya seperti...

Sindy bisa melihat kematian di sekujur tubuh sesuatu itu.

Tepat berdiri beberapa meter dari dirinya, terdapat sosok humanoid yang berdiri tegak. Sosok hitam itu dikelilingi hitam pekat. Sindy bahkan sama sekali tidak bisa melihat apapun dari balik bayangan hitam pekat tersebut.

Makhluk itu jelas-jelas bukanlah manusia ataupun monster yang sebelum-sebelumnya pernah dia lawan.

Makhluk tanpa wujud itu tak memiliki dimensi. Cahaya tak bisa menyentuhnya, di dalamnya hanya terdapat kegelapan yang begitu dalam hingga sanggup menelan apapun yang menghampirinya.

Makhluk yang membunuh apapun yang dia lihat.

Tekanan udara yang dihasilkan dari kehadirannya membuat napas Sindy begitu sesak. Tubuh Sindy terasa semakin lemas dan mati rasa. Seakan energinya berlari pergi meninggalkannya semakin lama ia melihat makhluk itu.

"Aku harus per—"

Krak.

"Eh...?"

Sindy menengok ke bawah—ke arah kaki kirinya yang menginjak sebuah ranting.

Dia tak mengerti mengapa ini terjadi. Padahal, dia tak biasanya seceroboh ini. Entah karena tubuhnya yang lelah atau karena alam bawah sadarnya memerintahkannya untuk lari dari tempat itu.

Makhluk itu langsung menengok ke arahnya. Wajahnya berputar seratus delapan puluh derajat seperti burung hantu. Menyadarinya, Sindy langsung menarik wajahnya kembali.

Dag dig dug.

Detak jantungnya semakin meningkat tiap kali dia mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Keringat dingin mengalir deras menuruni dahinya. Dia ingin kabur, tapi kedua kakinya terlalu lemas untuk digerakkan. Saat dia sadari, dia sudah berlutut lemas di tempat itu.

Dia tak bisa kabur.

Tetapi, kalau dia terus berada di sini, makhluk itu akan membunuhnya.

"Apa yang harus kulakukan?" Sindy mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Namun percuma, tak ada satu hal yang bisa dia gunakan untuk melindungi dirinya.

Grep.

Cengkraman tangan menyentuh pohon di belakang tubuhnya. Cengkraman yang begitu kasar dan kuat hingga cukup untuk meremukan tengkorak manusia. Dari cengkraman itu, tubuh pohon langsung berubah menjadi hitam pekat seperti dicat oleh tinta.

Makhluk itu telah tiba.

Sontak, Sindy yang terkejut langsung melempar tubuhnya mundur hingga mengakibatkan salah satu pistolnya untuk terlempar dari tangannya.

Namun, Sindy tak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Dia langsung menodongkan satu pistol yang dimilikinya ke arah makhluk itu.

Makhluk itu hanya menatap Sindy tanpa memperdulikan pistol yang ditodongkan ke arahnya. Tatapannya begitu kosong namun mencekam. Menatap wajahnya langsung terasa seperti menatap jurang yang begitu dalam.

Dan saat kau menatap jurang, jurang tersebut akan balik menatapmu.

"S, Siapa kau? Kau ini apa?"

Sindy bertanya tapi Sesuatu Itu hanya terdiam tak menghiraukan pertanyaan dan ancaman yang diberikan Sindy.

"J, Jawab aku atau akan kutembak kau!" Sindy cengkram pistolnya dengan erat, jari telunjuknya sudah siap menarik pelatuk kapan saja.

Namun, makhluk itu masih terdiam mengabaikannya.

".....!"

Tanpa berpikir panjang, Sindy langsung menarik pelatuk pistolnya sebanyak tiga kali. Tiga buah peluru terlontar dari dalam rongga pistolnya. Melesat lurus ke arah monster berwarna hitam pekat di hadapannya.

Di jarak yang begitu dekat seperti ini, sangat mustahil bagi makhluk itu untuk bisa menghindar dari ketiga tembakannya. Itulah yang Sindy pikirkan.

Sampai akhirnya, ketiga peluru itu melesat menembus makhluk itu.

Sindy terbelalak, dia sadar kalau yang dia lihat bukanlah ilusi maupun trik. Ketiga peluru itu benar-benar menembus tubuh makhluk hitam itu seakan dia tak berada di tempat itu.

Makhluk itu tak bisa dia kalahkan.

Saat menyadari fakta itu, tanpa sadar Sindy sudah menurunkan pistolnya. Tubuhnya sangat sadar kalau menodongkan pistol bukanlah solusi atas ini semua.

Dia sedikitpun tak punya harapan.

Di hadapannya, hanya keputusasaan menunggu.

Keputusasaan yang mengambil wujud malaikat maut.

"K■u, cu■■p m■narik...■.."

Setelah keheningan yang cukup lama, akhirnya makhluk itu membuka mulutnya.

Kata-kata pertama yang diucapkannya benar-benar tak bisa dimengerti Sindy. Tidak, mungkin pikirannya terlalu kacau untuk bisa mencerna kata-kata itu.

Makhluk itu mulai bergerak mendekati Sindy. Tiap langkah yang diambilnya membuat rumput yang dipijaknya menjadi "busuk."

Busuk. Mati. Tak Bernyawa.

Dalam beberapa detik lagi, Sindy akan mengalami itu semua.

Saat Sindy membayangkan hal itu akan terjadi padanya, wajahnya langsung memucat dan cairan perutnya langsung naik ke tenggorokannya. Dia langsung menutupi mulutnya dengan kedua tangannya untuk mencegah dirinya muntah.

Dia ingin pergi dari tempat itu. Namun kedua kakinya sudah tak bisa digerakkan lagi dan pikirannya tercerai berai bagai selada yang dipotong-potong.

Makhluk itu mengulurkan tangannya ke arah Sindy.

Sontak, Sindy bereaksi dengan memejamkan kedua matanya sambil berlindung di balik kedua tangannya.

Hitam, gelap, Sindy tak bisa melihat apa-apa. Hanya suara detak jantungnya yang bisa dia dengar. Namun itu tak apa-apa baginya.

Dia akan mati. Sebentar lagi tubuhnya akan berubah menjadi mayat. Dingin, tak bergerak. Kematian yang dingin. Tidak ada harapan. Dirinya akan dibunuh. Kematian akan menyambutnya.

Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati. Dia tidak ingin mati.

...

...

...

......

"..."

Deg deg, deg deg...

Meskipun dua menit telah berlalu, namun detak jantungnya masih berdebar dengan kencang.

Apakah ini hanya imajinasninya semata?

Ataukah kenyataan?

Mungkin dirinya yang sudah mati terlalu takut untuk menerima kenyataan sehingga membuat-buat suara ini.

Hanya ada satu cara untuk mencari tahu jawabannya.

Dengan perlahan Sindy membuka kembali matanya. Cahaya mentari yang cerah langsung menyengat kedua matanya. Dibalik kilauan cahaya tersebut terpampang langit biru cerah dengan burung-burung yang dengna bebasnya berterbangan.

Sindy mengedarkan penglihatannya ke segala arah, namun dia tak bisa menemukan makhluk hitam pekat yang tadi menyerangnya.

Rumput yang dipijak makhluk tadi sudah kembali seperti semula seakan makhluk itu tak pernah menginjakkan kakinya di tempat itu. Sama halnya dengan pohon tadi.

Berpegangan pada pohon di sebelahnya, Sindy mencoba bangkit kembali. Tubuhnya masih terasa lemas, namun dia mulai mendapatkan kembali tenaganya.

Detak jantungnya kembali berdegup dengan kecepatan normal. Keringat sudah berhenti mengalir menuruni dahinya dan kakinya yang sebelumnya terasa lemas sudah bisa digerakkan kembali. Napasnya masihlah kasar, tapi perlahan melembut.

"Tadi itu apa....?" Tanyanya setelah mengambil kembali pistolnya yang jatuh.

Jejak dan keberadaan makhluk itu benar-benar sudah menghilang. Baik sosok, jejak kaki maupun bagian pohon yang membusuk setelah disentuhnya telah menghilang.

Ini semua terasa seolah apa yang terjadi barusan adalah sebuah mimpi buruk.

△▼△▼△▼△

Air sungai yang dingin nan sejuk membasahi permukaan wajahnya.

Kedua tangannya yang dijulurkan ke dalam air sungai langsung menopang air, air yang menggenang di cekungan yang diciptakan telapak tangannya itu selanjutnya ia basuhkan ke wajahnya.

Sembari merasakan tetesan-tetesan air mengalir menuruni wajahnya, Sindy teringat kembali dengan apa yang dialaminya beberapa saat yang lalu.

Saat mengingat sosok hitam pekat itu, tangan Sindy langsung bergetar ketakutan. Sindy sudah mencoba melawan perasaan ini dengan cara menjernihkan pikirannya dengan membasuh wajahnya menggunakkan air sungai.

Namun perasaan tak menyenangkan yang dimilikinya tak kunjung hilang.

Sindy menggelengkan kepalanya lalu menampar lemas pipinya dengan kedua tangannya sebanyak dua kali.

"Tidak, aku tidak boleh terus seperti ini. Aku harus fokus menyelesaikan turnamen ini." Ucapnya untuk menghibur dirinya sendiri.

Sindy kembali berdiri dari posisi jongkoknya lalu berjalan menjauhi sungai.

Suara gesekan merdu antara bebatuan di tepi sungai yang diinjaknya cukup membuatnya sedikit tenang. Tak mau kalah, suara riak aliran air sungai juga menghiasi pendengarannya dan menenangkan pikirannya. Perlahan tapi pasti, Sindy yakin kalau dia bisa melupakan kejadian itu.

Saat ini dirinya sedang berada di sebuah sungai yang membelah dua arena ini. Lokasi sungai terdapat di tengah peta sehingga membuatnya terlihat begitu mencolok. Sungai ini membentang dari timur hingga barat, bentuk alirannya menyerupai huruf S dan terdapat sebuah jembatan tiap dua kilometer.

Ting.

Suara pemberitahuan memekakkan telinga Sindy. Pemberitahuan itu adalah sebuah peringatan kalau safezone mulai menyempit kembali.

"Saat ini aku berada di tengah safezone, jadi kurasa aku akan baik-baik saja." Sindy menutup peta yang baru saja dibukanya lalu berjalan mendekati pepohonan yang merupakan jalan masuk menuju hutan.

Safezone mungkin semakin menyempit ke arah dimana dia berada, namun bukan berarti Sindy bisa bersantai-santai. Kesempatan ini bisa dia manfaatkan untuk memburu peserta lain yang berusaha lari dari safezone.

Dengan kelasnya ini, Sindy bisa dengan mudah menyerang musuh dari jauh dan menggagalkan usaha mereka untuk bisa selamat dari safezone. Sebuah taktik yang simpel namun efektif. Dia bahkan tak perlu membahayakan dirinya.

"Baiklah, aku harus lebih serius lagi—"

Bledar!

Suara ledakan yang berasal dari hutan di seberang sungai menarik perhatian Sindy bagai kail pancing yang menarik ikan. Suara ledakan itu diikuti oleh pepohonan yang satu persatu runtuh mendekati sungai. Kepulan asap yang tercipta dari pepohonan yang berjatuhan itu membuat Sindy tak bisa melihat jelas apa penyebab runtuhnya pepohonan-pepohonan itu.

Tak lama kemudian, sebuah sosok dengan gesitnya melompat keluar dari dalam kepulan asap. Sosok itu adalah seorang perempuan, rambut hijaunya terkuncir dan poninya hampir menutupi alisnya. Pakaiannya elok seperti tokoh-tokoh elf di film fantasi, parasnya cantik dan menawan. Tangan kirinya menggenggam sebuah busur dan tangan kanannya dengan cekatan menarik anak panah.

Siapapun pasti langsung tahu kelas apa yang dimiliki perempuan itu.

"Archer?!" Dengan refleknya Sindy langsung bersembunyi di balik pohon sambil mengintip mengawasi perepuan itu.

Keluar dari dalam kepulan asap sebuah monster berjenis chimera, monster yang merupakan gabungan dari hewan singa, ular dan burung rajawali. Chimera adalah salah satu monster langka yang jarang muncul, total experience yang didapatkan setelah mengalahkannya lebih dari cukup untuk membuat pemain naik dua level.

Monster itu menyemburkan bola api raksasa dari kepala sang ular, namun Archer dapat dengan mudahnya menghindari serangan tersebut. Bahkan meskipun kondisinya masih berada di udara sekalipun.

Setelah Archer mendarat, Chimera langsung dengan cepat mengayunkan ekornya ke arahnya. Archer yang menyadari serangan itu langsung melompat. Lompatannya begitu tinggi, elegan dan natural. Di lompatan tersebut, Archer mengambil tiga buah anak panah lalu menarik ketiganya sekaligus di busurnya.

"Open the Seal : Triple Wind Arrow!" Tiga anak panah ditembakkan.

Meskipun samar, Sindy bisa merasakan hembusan angin dari ketiga anak panah itu. Padahal jarak antara mereka berdua cukup jauh.

Ketiga anak panah itu berhasil mengenai tubuh Chimera. Hembusan angin dari ketiganya langsung mengoyak kulit Chimera seperti tahu. Dalam kurun waktu tiga detik, luka goresan dan sayatan sudah memenuhi tubuh Chimera.

Tak tahan dari luka parah yang diterimanya, Chimera itupun dengan lemasnya tumbang lalu lenyap.

Archer mendarat untuk yang kedua kalinya. Dia mendekati butiran-butiran cahaya bekas tubuh chimera yang lenyap lalu memungut anak-anak panah yang sebelumnya dia tembakkan.

"Bagus, levelku sudah mencapai enam belas."

Archer menyimpan anak-anak panahnya ke dalam quiver yang digendongnya lalu berjalan kembali memasuki hutan.

"Ini kesempatanku!" Sindy keluar dari dalam persembunyiannya sambil menarik pistolnya. Cepat namun akurat, Sindy menembakkan dua buah peluru ke arah Archer.

Peluru yang ditembakannya itu mengarah ke arah Archer dari sudut butanya sehingga Sindy yakin kalau pelurunya pasti berhasil mengenai Archer.

Tapi,

Archer langsung menarik sebuah anak panah sambil melompat berbalik. Berkat lompatannya yang gesit, dua peluru itu sama sekali tak menyentuh ujung rambutnya. Tangannya secepat angin langsung menarik busurnya lalu menembakkan anak panah tersebut ke arah Sindy.

"Apa—?!"

Sindy yang tak menduga kalau meja akan berbalik semudah itu sontak menghindar tanpa adanya persiapan. Akibatnya, anak panah itu sedikit menggores pundak kirinya.

Archer yang mendarat di pagar jembatan tak menyisakan waktu bagi Sindy untuk bernapas—Dia tak henti-hentinya menghujani Sindy dengan anak-anak panah. Tak ada ampun dan tak sedikitpun ada rasa segan.

Sindy terus melompat-lompat menghindari anak panah seperti kelinci. Berkat serangan Archer, dia sama sekali tak memiliki kesempatan untuk menyerang balik.

Sampai,

"Open the Seal : Storm Bullet!" Sekujur pistol di tangan kanannya langsung dipenuhi aliran listrik. Aliran listrik itu menjilat kesana-kemari, menghanguskan apapun yang ada disekitarnya dengan sekejap. Aliran listrik yang masif itu mengubah warna pistolnya menjadi warna biru, warna yang cerah dan mampu menerangi di kegelapan yang paling gelap sekalipun.

Setelah itu, aliran listrik tersebut terpusat pada enam buah peluru yang tersimpan di dalam pistol—mengubahnya menjadi tombak-tombak petir yang berkali-kali jauh lebih cepat dari tembakan peluru biasa.

Satu, dua, tiga tembakan ia luncurkan ke arah Archer. Seperti kilatan petir, peluru itu langsung menyambar ke arah Archer yang tak sempat mengantisipasi skill itu. Salah satu peluru yang menyambar meleset dan mengenai pagar jembatan hingga menghancurkannya.

Asap pekat tersebar menutupi jembatan. Di permukaan jembatan, potongan-potongan kayu berserakan di segala arah. Sosok Archer berdiri di tengah kepulan asap sambil menekan luka di pundak kiri dan perutnya. Dilihat dari lukanya, peluru yang ditembakkan Sindy berhasil membolongi dan menembus pundak dan perutnya.

Sementara itu,

"Cyra.... sungguh nickname yang jarang ditemui. Atau harus kukatakan unik?"

Sindy dengan santainya berjalan ke arah Archer yang memiliki nickname Cyrasembari mengisi ulang peluru di kedua pistolnya lalu menodongkannya ke arah lawannya, Cyra.

"Apa aku harus tersanjung? Kau sendiri bagaimana? Sisin terdengar seperti sebuah nama yang ditulis oleh bocah berumur lima tahun."

Cyra langsung merespon ancaman Sindy dengan secepatnya mengambil anak panahnya lalu menarik busurnya dan mengarahkannya ke Sindy.

Keduanya hanya terdiam, menghadap satu sama lain di atas sebuah jembatan kayu. Asap dan debu yang menyelimuti jembatan perlahan lenyap, suara riak air sungai yang berada di bawah mereka memenuhi gendang telinga keduanya.

Tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut untuk membuka percakapan dan tak ada satupun dari mereka yang ragu untuk menembak satu sama lain.

Karena sejak awal, tak ada yang perlu dikatakan lagi.

Sindy menembakkan dua peluru ke arah Cyra, namun Cyra berhasil menghindar dengan melompat lalu menembakkan panahnya ke arah Sindy. Sindy merosot di bawah Cyra hingga membuat tembakan Cyra meleset. Di momen itu, Sindy hendak menembak Cyra, namun dia didahului olehnya.

Untuk kegesitan, Cyra berkali-kali lebih unggul daripada Sindy. Karena itulah dia berhasil menembak bahu kanan Sindy sebelum Sindy sempat menarik pelatuknya.

Meskipun begitu, itu saja takkan bisa menghentikan Sindy. Sindy mengabaikan panah yang tertanam sedalam satu meter ke dalam bahunya dan tetap menembak Cyra. Meski akurasinya menurun, tembakan itu tidaklah sia-sia. Sindy berhasil mengenai tangan kanan Cyradan menggores kaki kirinya. Itu saja cukup untuk mengacaukan pendaratan Cyra.

Sementara Cyra jatuh tersungkup di permukaan jembatan, Sindy bangkit lalu menarik anak panah keluar dari dalam bahunya. Setelah itu, dia mematahkan anak panah tersebut dan melempar kedua serpihannya ke arah yang berlawanan.

Disaat Cyra mulai bangkit dari tidurnya, Sindy sudah menunggunya dengan sebuah pisau di tangan kirinya. Sindy terus menerus mengayunkan pisaunya ke arah Cyra, namun hampir semua serangannya meleset. Cyra dapat menghindari serangan Sindy bagai siput yang dapat menumpulkan mata pisau yang dilaluinya.

Tapi, Cyra tetap berada di posisi yang tidak diuntungkan. Serangan jarak dekat seperti inilah yang menjadi salah satu kelebihan kelas Gunman. Tak seperti Archer, Gunman bisa menggunakan pisau kecil sebagai senjata di pertarungan jarak dekat.

Tetapi ini bukanlah alasan bagi Cyra untuk tetap membiarkan dirinya terus menerus di posisi seperti ini.

Setelah menghindar selama beberapa saat, Cyra akhirnya menemukan celah di serangan Sindy. Dia menendang tangan Sindy hingga membuat pisaunya terlempar dari genggamannya. Lalu, dia melompat mundur sambil menarik panahnya yang siap untuk ditembakkan.

Sindy tersenyum. Ini semua sesuai dengan apa yang diharapkan Sindy. Sejak menyerang Cyra, Sindy terus menerus menyembunyikan tangan kanannya yang menggenggam senjata utamanya. Dia tembakkan pistolnya dan berhasil melukai pundak kiri Cyra.

Serangan itu sontak membuat Cyra gagal menarik panahnya. Untuk mengantisipasi serangan Sindy yang selanjutnya, Cyra sekali lagi melompat mundur menjauhi Sindy sambil merapalkan mantranya. Disaat kedua kakinya menyentuh permukaan bebatuan di pinggir sungai, dia langsung melepas cengkramannya.

"Open the Seal : Single Wind Arrow!"

Saking cepatnya hembusan angin yang dihasilkan panah yang ditembakkan Cyra, hembusan angin itu membuat panah itu seakan-akan transparan. Tentu saja hal itu amat sangat merugikan Sindy.

Bahkan saat Sindy mengedipkan kedua matanya, anak panah itu sudah menancap di kaki kanannya dan membuatnya penuh dengan luka goresan. Tak hanya itu, dorongan angin dari panah itu juga membuat Sindy terdorong sejauh dua meter dari lokasinya sebelumnya.

"Nghh...." Sambil menahan luka perih di kakinya, Sindy lagi-lagi menarik keluar anak panah itu lalu menghancurkannya.

"Kekuatannya tadi itu sungguh berbahaya. Aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi bila panah itu mengenai kepalaku." Gumam Sindy.

Napasnya berantakan berkat luka yang diberikan Cyra dan kakinya terasa sedikit mati rasa. Namun berkat pengalaman inilah Sindy menyadari sesuatu.

Harus Sindy akui, serangan tadi sungguh kuat. Sangat mustahil bagi Sindy untuk bisa menghalau serangan tersebut dengan peluru-pelurunya. Yang ada, pelurunya akan terlempar dari jalur awal atau malah terpotong-potong seperti sayuran.

Tapi bukan berarti kemampuan itu tak terkalahkan. Karena hembusan angin yang berasal dari panah itu menggores apapun yang dilaluinya, muncul banyak kerusakan di permukaan kayu jembatan. Meski terlihat mengerikan, goresan-goresan itu dapat Sindy manfaatkan sebagai petunjuk atas keberadaan panah Cyra.

Cyra meluncurkan serangannya yang kedua. Serangan yang sama seperti sebelumnya.

Dengan seksama, Sindy memperhatikan permukaan jembatan. Satu demi satu, goresan bermunculan di mana-mana. Namun lokasi di mana goresan itu berpusat cuma satu, yaitu depan sorong kanan dari Sindy.

"Di situ!" Sindy hendak melompat untuk menghindar, namun dia kembali mengakarkan kakinya setelah melihat ekspresi Cyra yang tetap tenang. Hal ini memunculkan kecurigaan di hatinya.

"Kenapa di tetap tenang meskipun aku sudah mengetahui triknya?

Jangan bilang...?!"

Sindy mengambil sebuah serpihan kayu lalu melemparnya ke atas. Benar saja, serpihan kayu itu langsung tercincang hingga tak menyisakan sisa.

"Gawat—!" Daripada melompat, Sindy berlari menuju pagar jembatan lalu melompat ke sungai.

"Apa yang—" Cyra langsung berlari ke pagar jembatan—Menemukan Sindy yang berdiri di sungai tanpa satupun goresan. Sindy beruntung karena air sungai ini hanya setinggi pangkal lututnya. Bila tidak, dia takkan berdaya di hadapan Cyra.

Meskipun air sungai tidak dalam, alirannya yang deras sudah lebih dari cukup untuk memperlambat kaki Sindy. Cyra sangat sadar akan itu dan akan memanfaatkan situasi ini sebaik mungkin.

Dia menarik panahnya dan membidik ke arah SIndy namun Sindy sudah lebih dahulu menarik pelatuk pistolnya sebelum Cyra sempat memulai bidikannya. Beberapa tembakan berhasil mengenai Cyra hingga membuatnya harus membatalkan tarikannya dan berlindung di balik pagar.

Disaat dia sedang berlindung, dia mendengar suara samar amunisi peluru yang sedang diisi ulang bersamaan dengan suara cipratan air yang seolah terdorong oleh sesuatu. Saat dia mendekatkan telinganya ke permukaan kayu, suara itu semakin jelas. Saat itulah dia sadar, kalau Sindy berada tepat di bawahnya.

"Bahaya—" Cyra dengan gesitnya melompat mundur dari lokasi dia berada. Benar dugaannya, tempat dia berada sebelumnya langsung dihujani peluru hingga berbentuk seperti sarang lebah.

Tembakan itu terhenti saat Cyra mendarat di sisi lain jembatan. Saat itulah Sindy sadar kalau Cyra berhasil menghindari serangannya.

Tembakan-tembakan itu terus bergerak mengikuti Cyra seperti lebah yang mengikuti ratunya. Meskipun banyak tembakkan ditujukan pada Cyra, dia selalu berhasil menghindarinya. Itu terus berlanjut sampai akhirnya dia mendarat di atas pagar jembatan. Entah mengapa, rantai tembakannya tiba-tiba terputus.

Padahal serangan tadi sudah mengikutinya ke seluruh penjuru jembatan sampai-sampai membuat jembatan ini dipenuhi lubang.

"Yo."

Cyra menengok ke belakang—mengikuti sapaan tersebut. Di tengah air, Sindy berdiri dengan seringaiannya sambil penuh percaya diri menodongkan pistolnya yang sudah dialiri listrik Storm Bullet. Ternyata Sindy sudah mengantisipasi terjadinya semua ini dan menunggu sampai momen ini terjadi.

Dor.

Cyra tak dapat menghindari serangan Sindy sehingga membuatnya menerima tiga peluru tembakannya. Menahan rasa sakitnya, Cyra melompat menuju sungai dengan harapan dapat menghindari serangan Sindy yang berikutnya sambil menarik panahnya.

Namun Cyra tak menyangka kalau Sindy akan ikut melompat ke arah yang berlawanan darinya—yaitu jembatan. Sindy menangkap pagar jembatan lalu menembakkan sisa pelurunya ke sungai sehingga menyebabkan listrik yang tersimpan di peluru-pelurunya mengaliri sungai hingga durasi skill miliknya habis.

Menyadari itu, Cyra lagi-lagi harus membatalkan serangannya dan menancapkan panah tersebut ke jembatan untuk menghentikan dirinya yang jatuh sesaat sebelum kakinya menyentuh air sungai.

Berkat tindakannya tadi, Cyra selamat dari aliran listrik yang menunggunya. Jarak antara ujung kakinya dengan permukaan air hanya beberapa meter. Bila dia tak mengambil inisiatif ini, dia pasti sudah menjadi gosong bersama ikan-ikan yang ada di dalam sungai. Bahkan di saat seperti inipun, dia bisa merasakan panasnya aliran listrin yang terus menjilat-jilat di bawah kakinya.

Tanpa menunggu aliran listrik di sungai terhenti, Cyra memanjat jembatan menggunakkan dua panah yang dipakai bergantian. Dia tak bisa terus menerus membuang waktu seperti menggantung di samping jembatan seperti orang bodoh.

Saat dia mencapai puncak pagar, dia bisa melihat Sindy yang juga berusaha menaiki jembatan seperti dirinya. Saat ini, siapapun yang berhasil menaiki jembatan terlebih dahululah yang dapat mengambil posisi skak atas lawannya, keduanya amat sadar atas fakta itu.

Namun, entah karena kebetulan atau memang sudah ditakdirkan—keduanya tiba di atas jembatan di saat yang bersamaan.

Dan ini dia, salah satu bagian klimaks dari arc 1 yang sudah gw tunggu-tunggu. Pertarungan sengit antara Cyra dan Sindy cukup seimbang, nyatanya, bila in terus berlanjut, maka pemenangnya akan ditentukan berdasarkan berapa banyak mana dan stamina yang mereka miliki.

Dan,

Terima kasih sudah mau membaca. Apabila kalian suka dengan novel ini, pastikan masukkan cerita ini ke dalam library kalian untuk bisa terus mengikuti chapter terbarunya :)

Dan bila berbaik hati, power stone bakal gw appreciate banget. See ya later

IzulIzurucreators' thoughts