webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
25 Chs

Chapter 01 : Pesimis dan Optimis Hanya Dua Sisi Koin yang Sama - 03

Dua hari telah berlalu sejak hari itu. Hari ini adalah hari dimana turnamen diadakan.

Oh iya, kemarin aku mendapat sebuah pesan yang nampaknya merupakan lanjutan dari pesan sebelumnya. Sesungguhnya, aku tak ingin membuka pesan tersebut. Aku benar-benar tak ingin. Tapi aku yakin kalau isinya hanyalah daftar pemain yang lainnya.

Aku menghela napas panjang.

"Hah..." Perlahan, aku menengok kearah jam di dinding kamarku. Jarum jam menunjuk ke angka dua.

Ngomong-ngomong, hari ini adalah hari Jum'at. Dengan kata lain, sekolah pulang lebih awal hari ini. Aku bahkan sudah berganti dari seragam sekolahku ke pakaian sehari-hariku.

Sudah satu jam sejak aku pulang ke rumah, dan belum ada tanda-tanda kalau Zaki akan datang kemari. Sejak kemarin, aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menghindari Zaki. Dan kurasa usahaku takkan mengkhianati hasil.

Aku malah bersyukur kalau dia tidak datang ke tempat ini sama sekali. Ditambah, aku juga sudah meminta tolong Paman Tedi untuk memberi tahu kepada Zaki kalau aku sedang keluar rumah jika dia bertanya apakah aku ada di sini. Aku juga sudah mengunci pintu kamarku untuk membuat Zaki lebih yakin kalau aku keluar rumah.

Untuk jaga-jaga, aku sudah mematikan smartphoneku, dengan begitu Zaki takkan bisa menelponku.

Turnamen akan dimulai pukul setengah tiga sore dan kemungkinan akan berakhir pukul lima sore. Selama waktu itu, aku bebas melakukan apapun yang kumau selagi Zaki dan yang lainnya melakukan turnamen.

"Kurasa semuanya berjalan dengan lancar...." Gumamku kepada diriku sendiri, mencoba meyakinkan diriku kalau semuanya sesuai dengan apa yang baru saja kukatakan.

Dengan santainya, aku menjatuhkan tubuhku ke kasur. Kurasakan nikmatnya berbaring diatas ranjang yang empuk dan hangat.

Rasa hangat ini membuat mataku terasa semakin berat. Aku bahkan tak bisa membedakan apakah aku sedang terjaga atau aku sudah tertidur. Mata dan pikiranku sudah terlena oleh semua kenyamanan ini. Membuatku hampir tak bisa berpikir jernih. Apalagi, kondisi ruangan kamarku yang hangat dan angin sejuk dari kipas angin yang menyala membuatku semakin tenggelam dalam lautan ini.

Kurasa tak apa jika aku tertidur sebentar. Setelah semua yang terjadi akhir-akhir ini, kurasa aku pantas mendapatkan tidur siang ini.

Meskipun hanya sebentar, ini mungkin menjadi salah satu tidur siang yang paling nyaman yang pernah kualami dalam hidupku.

Lagipula, aku tak perlu mengkhawatirkan apapun.

Ya, semuanya berjalan sesuai apa yang kuinginkan.

△▼△▼△▼△

Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Seakan itu baru saja terjadi kemarin.

Tiap detil maupun tiap detik, aku masih mengingatnya. Bahkan aku masih ingat betapa dinginnya air hujan yang mengguyur tubuhku di hari itu. Aroma air hujan—

[—...yang bercampur dengan amisnya darah...—]

Genangan air yang memantulkan sosok remaja yang nampak lusuh, kucel, dan kotor akibat terjatuh di genangan air itu.

Suara klakson mobil di hari itu begitu memekakkan telingaku, rasanya telingaku bisa langsung tuli karenanya.

Awan hitam yang menaungiku—menaungi kami semua—tiada hentinya menjatuhkan air. Tiap tetes yang berjatuhan menjadi genangan air—

[—...yang perlahan bercampur dengan genangan darah...—]

Perasaanku... Perasaan yang kurasakan saat itu, aku tak bisa kunjung melupakannya hingga hari ini. Perasaan itu terus berada di lubuk hatiku yang paling dalam, tak peduli siang maupun malam.

Hingga sekarang, aku tak bisa mendeskripsikan perasaan itu.

Bercampur aduk.

Sedih, kesal, kecewa, penyesalan, penolakan, ketidak percayaan, keputusasaan.

Semuanya diaduk menjadi satu.

Keputusasaan yang kurasakan di hari itu, masih menghantuiku hingga saat ini.

Bahkan aku sudah tak bisa membedakan lagi apakah itu perasaan putus asa, atau malah sebaliknya.

Andai aku diberi satu kesempatan untuk mengulang semuanya.

Maka kesempatan itu adalah hari itu.

△▼△▼△▼△

"Hei, Dimo... bangun!"

Sebuah suara perlahan memanggil namaku. Suara itu berusaha meraih diriku dan membangunkanku dari tidur siangku.

"Dimo...!"

Berisik.... Lima menit lagi...

"Bangun....!"

Ayolah, aku berusaha tidur... Bisakah kau diam?

"Ayo bangun, kita sudah sampai...!"

Sampai? Apa maksudnya dengan sampai? Lagipula, sejak awal kenapa juga aku harus pergi ke tempat itu? Aku'kan sedang tertidur di kamarku.

Kasur... tunggu, apa aku masih berada di atas kasur?

Kalau kudengar baik-baik, rasanya aku mengenali suara itu.

Oh tidak...

Jangan bilang...

Aku langsung membuka mataku, silaunya cahaya mentari di siang hari langsung menyengat retinaku. Panasnya siang ini langsung membakar kulitku, rasanya aku akan langsung menjadi steak bakar jika aku terus seperti ini.

"Akhirnya kau bangun juga... kita sudah sampai, lho." Ujar Zaki.

"Sampai di—" Aku menarik pertanyaanku sebelum aku sempat bertanya. Setelah kulihat baik-baik, aku cukup mengenal tempat ini. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah pergi ke tempat ini.

Tempat ini adalah sebuah parkiran motor yang letaknya berada di belakang gedung utama Bum Corp. tempat ini begitu luas hingga bisa menampung lebih dari 400 kendaraan roda dua. Berbeda dengan tempat parkir mobil yang terletak di bawah tanah, parkiran motor berada di sebuah lapang luas. Dengan kata lain, parkiran mobil tepat berada di bawah parkiran motor.

Oh ya, ukuran tempat parkir mobil terbilang lebih kecil daripada tempat parkir motor. Aku tidak paham mengapa mereka membuat tempat itu menjadi seperti itu. Aku tidak tahu berapa banyak mobil yang bisa muat di tempat itu, tapi aku yakin sekali kalau tempat itu lebih kecil daripada parkiran motor.

Meskipun begitu, aku terkejut karena bentuk tempat ini tak jauh berbeda dengan terakhir kali aku datang ke sini.

Sudah kuduga, Zaki membawaku ke tempat ini dengan menggunakkan motor skuternya, sama seperti waktu itu—

Tunggu, aku baru menyadari sesuatu.... kenapa posisi dudukku menghadap ke belakang? Lagipula, bagaimana dia bisa membawaku kemari?

Aku menengok ke bawah.

Uh....

Aku tak bisa mempercayai ini....

Sungguh... aku tak habis pikir....

Kalau bisa, aku sungguh ingin menangis di pojok ruangan karena aku sudah lelah dengan betapa merepotkannya orang ini.

Dia, untuk bisa membawaku ke tempat ini dan menjaga agar aku yang sedang tertidur tidak jatuh dari motor, dia mengikat tubuhku dengan tubuhnya menggunakkan tali.

Jika saja ada penghargaan untuk orang paling keras kepala dan tryhard di dunia ini, aku yakin dia pasti akan menjadi juara.

"Yah, aku bersyukur akhirnya kita sampai di sini. Tadi motor ini hampir jatuh dua kali saat mencoba membawamu kemari." Zaki dengan santainya memotong tali yang mengikatku dan dia dengan pisau lalu turun dari motor.

Dengan penuh percaya diri, dia berdiri di sana dengan jaket hitam dengan motif hijaunya yang nampak seperti baru saja dibeli dari pedagang kaki lima di pinggir jalan.

Dia bertingkah seakan tadi itu bukanlah hal yang berbahaya sama sekali, padahal jika terjadi kesalahan fatal, bisa-bisa aku dan dia mati!

Apa sih yang Paman Tedi pikirkan?! Kenapa dia bisa mengijinkan Zaki melakukan hal berbahaya seperti ini. Aku tak peduli jika itu hanya Zaki, tapi kalau itu bersangkutan dengan keselamatanku, saat itulah aku akan mengeluh.

"Hei Zaki, kenapa kau bisa tahu aku ada di rumah?" Tanyaku sambil menyingkirkan tali yang masih sedikit melilitku lalu turun dari motor.

"Kenapa? Karena Paman Tedi bilang kalau kau ada di situ."

Sudah kuduga aku tak bisa mempercayai pak tua itu.

"Kalau begitu, bagaimana kau bisa membuka pintu kamarku? Aku yakin aku sudah menguncinya dari dalam. Oh iya, lagipula kenapa kau tidak membangunkanku?"

Ya, aku yakin sekali aku sudah mengunci kamarku dari dalam lalu menaruh kuncinya di dalam laci pakaianku.

Ditambah lagi, aku masih memakai jas hitam yang dulu diberikan Paman Tedi dan kaus yang sama dengan kaus dan jas yang kupakai saat tidur tadi.

"Kenapa aku tak membangunkanmu? Karena aku yakin sekali kau akan langsung berlari dariku jika aku lakukan itu." Zaki tersenyum kecut sambil bergeleng-geleng.

Ck.

Ada benarnya juga. Delapan puluh persen, tidak, seratus persen aku akan langsung berusaha lari kabur darinya.

"Lalu, bagaimana kau membuka pintu kamarku?"

"Oh itu..." Zaki langsung merogoh kantung celananya—mencoba mencari sebuah benda yang nampaknya ia sendiri lupa menaruh dimana.

Meskipun samar, aku bisa mendengar suara gesekan logam dari dalam saku miliknya. Suara gesekannya terdengar seperti gesekan antara dua koin lima ratus rupiah. Aku bisa tahu karena suara gesekan seperti itu terkarang menggangguku.

Saat dia sudah menemukan benda yang ia cari, ia tarik benda itu dari sakunya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

"Tet-teret-tetet.... Kunci Duplikat!" Kata Zaki dengan suara mirip Doraemon. Seperti apa yang Zaki katakan, di tangan kanannya yang saat ini dia angkat, terdapat sebuah benda logam yang nampak seperti kunci kamarku.

Aku tak bisa berkata-kata.

Sejujurnya aku sedikit kesal. Lagi-lagi, kenapa dia berusaha sedemikian keras hanya untuk mengajakku bermain?

"Hah..." Aku menghela napas untuk yang keseribu kali.

Cukup sudah.

Aku sudah lelah menghadapinya.

Rasanya seperti menghadapi protagonis dengan satu kekuatan, yaitu plot armor. Tidak peduli seberapa keras sang penjahat berusaha, protagonis akan selalu menang.

Zaki menyeringai lalu tertawa kecil.

"Bagaimana? Aku hebat bukan? Oh, tenang saja kau tak perlu memujiku. Karena aku tak butuh pujianmu, yang aku butuhkan adalah kemampuan—"

Dengan cepat, aku langsung merebut kunci cadangan itu dari genggaman tangannya lalu melemparknya ke dalam selokan. Kulihat kunci itu jatuh lalu terbawa aliran air selokan. Meskipun begitu, mengingat kalau benda itu adalah logam, aku yakin kalau benda itu takkan terbawa jauh.

"—mu.... Apa yang kau lakukan, Dimo?! Asal kau tahu saja, meskipun murah benda itu tetap berharga tahu!" Eluh Zaki yang langsung menghampiri selokan dimana aku membuang kunci cadangan tadi. Dia terus menelaah air selokan itu untuk mencari kunci miliknya. Dilihat dari betapa keruh dan kotornya air selokan itu, aku cukup yakin kalau dia takkan bisa menemukannya.

Baiklah.

"Sudah cukup main-mainnya. Sekarang aku akan pulang dan kau takkan bisa memaksaku untuk mengikuti permainan bodoh ini!" Aku berbalik lalu berjalan meninggalkan tempat ini.

Sungguh, aku sama sekali tak menduga akan terjadi seperti ini. Kurasa aku akan langsung pulang ke rumah dan kembali tidur untuk melupakan semua ini.

"Heh, apa kau yakin?" Tiba-tiba, dengan nada yang agak mengejek, Zaki bertanya padaku.

Ini jebakan.

Ketika dia berkata seperti itu, aku langsung tahu kalau ini pancingan untuk membawaku kembali. Rubah itu mencoba menaburkan kembali bumbu-bumbu kelicikannya di atas roti tawar yang hendak akan kumakan.

Tapi, kurasa aku akan mencoba untuk mengikuti aliran ini terlebih dahulu.

"Apa maksudmu?" Aku berbalik sambil menanyainya.

"Kau tahu, ini mungkin kesempatan bagi kita berdua untuk melakukan Give and Take."

Give and take, sebuah aksi dimana kedua pihak bisa mendapatkan keuntungan mutualisme. Satu pihak akan memberikan sesuatu—misalnya jasa— dan satu pihak akan memberikan suatu hadiah atas jasa tersebut.

"Give and take macam apa yang kau maksud?"

"Bagaimana kalau begini, kau membantuku memenangkan turnamen ini. Dan sebagai bayarannya, aku akan mengabulkan satu keinginanmu."

Satu keinginanku? Hm, sejujurnya aku tak memiliki satu hal pun yang kuinginkan darinya. Aku bahkan tak yakin apakah Zaki bisa menjaga janjinya.

Tapi, jika apa yang dikatakannya itu benar, mungkin aku bisa memanfaatkan ini.

Satu hal.... Satu keinginan yang kuinginkan saat ini adalah...

Yang kuinginkan saat ini bukanlah uang maupun ketenaran. Aku sama sekali tak butuh itu. Yang kuinginkan saat ini hanyalah menjalani keseharianku dengan tenang tanpa adanya hambatan.

Ya, yang kuinginkan saat ini adalah menyingkirkan itu.

Aku menghela napas dalam-dalam.

Ya ampun, pada akhirnya aku terpancing juga oleh kailnya. Sebenarnya cacing macam apa sih yang dia gunakkan untuk memancing?

"Baiklah, aku akan membantumu untuk menjadi juara satu di turnamen ini."

"Sip, kalau begitu apa keinginanmu?" Tanya Zaki penuh semangat. Bahkan aku bisa melihat api membara di matanya.

"Keinginanku adalah, agar kau berhenti mengajakku bermain permainan bodoh seperti ini!" Tegasku kepadanya sambil berjalan menghampirinya.

"Bagaimana, apa kau menerimanya?" Tanyaku dengan seringaian kecil lalu kuulurkan tanganku.

"Oke!" Dengan penuh semangat, Zaki membalas jabat tanganku. Cengramannya cukup kuat hingga membuat tanganku terasa agak nyeri.

Aku menghela napas lagi.

Apa yang kupikirkan sih?

Pada akhirnya aku malah terlibat dengan semua ini.

Semoga saja semuanya berjalan lancar.

△▼△▼△▼△

Setelah beberapa menit berjalan dari parkiran motor, kami akhirnya tiba di pintu depan dari gedung Bum Corp.

Astaga, aku memang pernah datang ke tempat ini beberapa tahun yang lalu, tapi....

Aku masih saja terkejut dengan berapa tingginya gedung pencakar langit ini. Sebenarnya gedung ini memiliki berapa lantai sih? Tujuh? Delapan? Meskipun aku mencoba menghitungnya dengan teliti, aku tetap tak bisa menghitungnya hanya dari bawah sini. Sungguh gedung tertinggi yang penah ku lihat.

"Oh iya Dimo, tunggu sebentar."

Saat aku hendak akan melangkahkan kakiku memasuki gedung ini, Zaki tiba-tiba berhenti lalu merogoh kantung celananya. Dia mengeluarkan kartu pengenal yang sama seperti yang dia tunjukkan waktu itu. Tak salah lagi, kartu tanda pengenal itu milikku.

Aku menerima tanda pengenal itu lalu mengalungkannya sementara Zaki mengeluarkan tanda pengenal miliknya dari balik jaket miliknya.

"Baiklah, ayo kita masuk." Zaki berjalan mendahuluiku memasuki gedung ini.

Aku menengok ke belakang. Sungguh, aku terkejut karena tidak ada orang yang datang untuk menyaksikan turnamen ini. Padahal, tanggal diadakannya turnamen tertera di website Start Point.

Hm, apa karena ini turnamen tertutup, mereka berpikir takkan ada gunanya hadir di tempat ini karena mereka takkan mendapatkan apa-apa?

Yah sudahlah, tak ada untungnya memikirkan ini.

Saat aku melangkahkan kakiku memasuki gedung ini, dinginnya air conditioner langsung berhembus semerbak ke sekujur tubuhku. Dingin dan segarnya langsung membuatku lupa dengan betapa panasnya udara di luar. Jiwaku langsung terasa tenang dan damai, rasanya seperti ada taman bunga yang bermekaran di pikiranku.

Aku menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mataku. Perlahan, ku keluarkan napasku lalu kubuka kembali mataku.

Hah... Baiklah, aku akan mencoba sebaik mungkin untuk membantu Zaki menang.

Karena, jika Zaki gagal dalam turnamen ini, aku tak punya pilihan lain selain memenangkannya sendiri.

Tak lama setelah kami memasuki gedung ini, kami disambut oleh seseorang. Dilihat dari penampilannya, nampaknya dia adalah pegawai Bum Corp.

Rambut hitamnya disisir rapih, dan wajahnya nampak seperti aktor-aktor di tv. Dia memakai jas dan celana hitam yang rapih seperti baru saja digosok. Untuk seorang pegawai, dia nampak lumayan elegan. Dari tinggi dan penampilannya, nampaknya dia berusia sekitar dua puluh sampai dua puluh dua tahun.

"Perkenalkan, namaku adalah Indra. Seperti yang kalian duga, aku akan memandu kalian menuju ke ruangan turnamen." Katanya dengan suaranya yang lumayan berat dan terdengar elegan.

"Ah, namaku Zaki—Um, maksudku Zakaria Maulana dan dia adalah temanku, Dimo Ramadhan. Seperti apa yang tercantum di tanda pengenal yang kami kalungi, kami datang kemari untuk mengikuti turnamen pembuka Start Point." Dengan kasualnya, Zaki membalas Kak Indra.

"Baiklah, Zakaria, Dimo, kalian bisa mengikutiku ke ruangan turnamen." Dia tersenyum tulus sebelum berbalik dan mulai berjalan. Tentu saja aku dan Zaki dengan sontaknya berjalan mengikutinya.

Kalau ingatanku tidaklah salah, ruangan turnamen seharusnya ada di lantai dua.

Seperti yang kuduga, setelah berjalan melalui sebuah koridor, kami tiba di sebuah elevator. Seingatku, hanya terdapat dua elevator di gedung ini, yang pertama ada di bagian barat gedung. Elevator ini biasanya digunakkan oleh pengunjung maupun karyawan di sini. Sedangkan elevator yang kedua berada di bagian timur, berbeda dari yang pertama, elevator ini hanya bisa digunakkan oleh karyawan saja.

Oh iya, selain dua elevator itu, terdapat sebuah tangga darurat yang letaknya tidak jauh dari pintu depan. Kau hanya cukup belok kanan dari pintu depan untuk memasuki sebuah koridor yang lebarnya muat untuk tiga orang sekaligus. Di ujung koridor terdapat dua pintu, aku tidak tahu apa yang ada di pintu sebelah kanan, tapi aku yakin kalau pintu menuju tangga darurat terdapat di sebelah kiri.

Pintu elevator terbuka, musik yang berdendang selama kami berada di dalam elevator ini juga berhenti, menandakan kalau kami sudah tiba di lantai dua. Perlahan Kak Indra mulai berjalan keluar dari dalam elevator, diikuti oleh kami berdua.

Sejujurnya aku kurang ingat dengan apa yang ada di lantai dua. Yang kutahu hanyalah ruangan turnamen.

"Akhirnya kita tiba." Ujar Kak Indra yang terhenti dihadapan sebuah pintu.

Nampaknya, kita telah tiba di perhentian terakhir.

Setelah berjalan selama beberapa menit kami akhirnya tiba di depan dua pintu, di masing-masing pintu terdapat sebuah jendela yang memungkinkan pengunjung untuk mengintip ke dalam. Namun sayangnya, saat ini jendela itu terhalang oleh gorden yang berada di balik pintu.

"Sebelum kalian memasuki ruangan ini, apa kalian sudah siap?" Tanya Kak Indra sambil menahan kenop pintu agar tidak terbuka.

Tanpa berpikir panjang, aku dan Zaki mengangguk.

"Kalau begitu, mari kita masuk." Dia mulai mendorong pintu kedalam, perlahan tapi pasti pintu yang menghubungkan antara kami dan ruangan didalamnya mulai terbuka.

Aku mencoba menelan kembali air liurku. Namun dinginnya AC membuat mulut dan tenggorokanku mulai terasa kering.

Kalau boleh jujur, aku tak menduga kalau aku akan melangkahkan kakiku untuk kedua kalinya kedalam ruangan ini.

"Oh iya, aku lupa memberitahukan satu hal kepada kalian berdua..." Tiba-tiba Kak Indra berhenti membuka pintu lalu menengok ke arah kami berdua. "....Kalian berdua adalah peserta terakhir yang tiba di ruangan ini."

Kak Indra langsung membuka lebar-lebar kedua pintu tersebut.

Seketika, atmosfir yang berbeda jauh dari koridor luar langsung berhembus menabrakku. Rasanya seperti angin taufan yang menerjang.

Aku ingat perasaan ini. Perasaan yang sama seperti saat aku pertama kali mendatangi tempat ini.

Bagaimana mungkin aku bisa lupa?

"Oi Dimo? Ada apa?"

Pertanyaan Zaki langsung membangunkanku dari lamunanku.

"Ah—tidak, mungkin hanya perasaanku saja." Balasku sambil berjalan masuk kedalam ruangan.

Setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata tak setegang apa yang kurasakan tadi.

Perasaan tadi memang masih ada. Tapi setelah melihat para peserta yang ada di sini, aku mulai merasa kalau perasaan tadi hanyalah bayanganku saja.

Para peserta awalnya menatap kearah kami berdua sesaat setelah kami memasuki ruangan ini, tapi itu hanya seseaat dan mereka kembali ke aktivitas mereka masing-masing.

Wajar aja sih. Berada di sini artinya kau adalah orang pilihan. Tentu saja mereka begitu percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri.

Ada peserta yang sedang asik mengobrol satu sama lain,

Ada yang sedang bermain smartphonenya sendirian,

Bahkan ada juga yang nampaknya kenal satu sama lain.

Yang kumaksud kenal satu sama lain itu adalah pasangan laki-laki dan perempuan yang sedang duduk bersama sembari mendiskusikan sesuatu. Mungkin saja mereka bekerja sama, seperti apa yang aku dan Zaki lakukan saat ini.

Setelah memasuki ruangan, aku duduk di sebuah kursi yang letaknya berada di pojok ruangan sementara Zaki sedang membeli minuman kaleng dari mesin penjual otomatis yang ada di ruangan ini.

Entah kenapa tidak ada yang menduduki pintu ini, padahal letaknya yang berada tak jauh dari pintu masuk tak begitu buruk.

Kak Indra juga sudah pergi entah ke mana. Aku tak melihatnya sejak aku duduk di sini.

Aku sama sekali tak menduga kalau tempat ini sudah banyak berubah.

Dulu saat aku pertama kali datang kesini, tempat ini penuh dengan komputer dan kabel. Saat itu agak sulit bagiku untuk berjalan di tempat ini. Tapi sekarang tempat ini benar-benar kosong. Hanya lantai putih dan sebuah panggung di ujung ruangan.

Tembok di ruangan ini masih berwarna putih vanilla, sama seperti dulu. Perbedaannya hanya ada di warnanya yang lebih cerah dibandingkan dulu. Hm, ternyata mereka lebih memilih mengecat ulang ruangan ini dengan warna yang sama. Mungkin mereka masih ingin menjaga keorisinalitas dari ruangan ini.

Tapi yah, aku sama sekali tak menduga kalau aku akan kembali ke sini...

Saat pertama kali datang ke tempat ini...

Kukira itu juga terakhir kalinya aku datang ke sini....

[Tes... tes.... tes....]

Suara air hujan? Tunggu dulu, bukankah hari ini cerah?

Tanpa kusadari, aku sudah berdiri dari tempat dudukku. Aku menengok kesana-kemari, namun nampaknya tak ada orang lain yang mendengar suara air hujan.

Apa yang kupikirkan?

Lagipula, mustahil sekarang turun hujan. Hari ini'kan begitu cerah dan panas...

Aku dengan lemasnya duduk kembali. Napasku cukup kacau, jantungku berdebar dengan kencang sampai-sampai aku bisa mendengar suaranya dengan jelas.

Kupejamkan mataku lalu bersandar di tembok yang dingin.

"Hah... hanya bayanganku saja ya..." Eluhku sambil menghela napas dan menggaruk-garuk rambutku.

Aku merasa lega.

Karena akan terasa sangat aneh jika tiba-tiba di luar turun hujan.

["Dimo..."]

Perlahan kubuka mataku.

"Hm? Apa ada yang memanggilku—?"

Aku terhenti. Pertanyaan yang muncul di pikiranku langsung pecah berserakan bagaikan kalung permata yang putus benangnya.

Mataku hanya tertuju kepada satu hal—

—Ke arah telapak tanganku.

Kucoba memejamkan mataku berkali-kali, namun apa yang kulihat saat ini tidaklah berubah.

Apa ini? Halusinasi?

[Darah?]

Napasku tak beraturan, pikiranku tak jernih. Aku tak bisa berpikir.

Tak bisa berpikir.

Tak bisa bernapas.

Tak bisa membedakan.

Mana yang asli?

Mana yang hanya imajinasiku?

[Aku semakin tenggelam dalam cairan otakku tanpa bisa berenang kembali.]

[Tolong.]

[Semakin dalam dan semakin dalam, hingga aku tiba di titik dimana cahaya tak lagi bersinar.]

[Gelap....]

[Tak bisa bernapas....]

[Aku akan tenggelam....]

"Baik, ini dia minuman kola yang kau minta."

Perasaan dingin yang ada di atas telapak tanganku langsung menyengat ke seluruh tubuhku. Perasaan itu berasal dari kaleng minuman yang Zaki taruh di atas telapak tanganku.

"Ah—" Aku langsung menengok menatap kola tersebut lalu menatap Zaki.

"Kenapa kau lama sekali?" Eluhku sambil mengambil cola yang ada di atas telapak tanganku lalu membukanya.

"Habisnya, mesin minuman itu sempat macet." Balas Zaki yang duduk di sebelahku.

"Hoooo...."

"Apa? Kau tidak percaya?" Eluh Zaki yang agak tersinggung atas reaksiku.

Tentu saja tidak.

"Apa kau pikir aku akan percaya kalau perusahaan besar seperti Bum Corp. bisa memiliki mesin penjual otomatis yang rusak? Aku bahkan berani bertaruh kalau mesin itu tidaklah rusak." Aku meminum kola tersebut.

"Terserah kau saja jika tak ingin percaya... Lagipula, kenapa mereka lama sekali? Padahal semua peserta sudah tiba."

Ck, dia malah mengalihkan pembicaraan.

Tapi ya, apa yang Zaki bilang ada benarnya juga... Kenapa mereka tak kunjung memulai turnamen meskipun semua peserta sudah tiba?

Dengan kepala yang dipenuhi pertanyaan, aku langsung meneguk kola ku.

Saat kusadari, satu tegukan tadi cukup untuk menghabiskan kola ini.

"Waduh..." Aku menengok kesana-kemari, mencari tempat sampah untuk membuang kaleng minuman ini. Meskipun begitu, aku sama sekali tak bisa menemukan apa yang kucari.

"Hei Zaki, kau tahu di mana tempat sampah?" Tanyaku.

"Aku tadi melihat satu di sebelah mesin penjual otomatis." Balasnya sambil menunjuk ke arah dimana mesin penjual otomatis berada. Sejujurnya aku tak bisa melihat di mana mesin penjual otomatisnya berada dikarenakan terhalang oleh para peserta lain.

Aku bangun dari tempat dudukku dan berjalan ke arah yang ditunjuk Zaki.

Perlahan aku berjalan melewati peserta-peserta lainnya. Meskipun samar, aku bisa mendengar dan menyimak apa yang sedang mereka bicarakan. Kebanyakan dari mereka sedang membicarakan sistem tanding dari turnamen ini, dengan kata lain bagaimana turnamen ini akan berlangsung.

Apakah pertandingan duel, ataukan pertandingan antar tim?

Ada juga yang sedang membicarakan Start Point, misalnya keunggulan dan kekurangan tiap kelas, cara bertarung, juga kelas tambahan yang masih dirahasiakan.

"Kelas tambahan... kelas yang tidak diketahui seperti itu mungkin akan berbahaya bagiku..." Gumamku.

Ditambah lagi, menurut apa yang kubaca, kelas tambahan adalah kelas yang merupakan campuran dari kelas dasar. Dengan memanfaatkan fakta itu, pemain dengan kelas tambahan mungkin saja menyamar sebagai kelas biasa.

Saat kusadari, aku sudah tiba di tujuanku. Seperti apa yang Zaki katakan, terdapat sebuah tempat sampah di sebelah mesin penjual otomatis ini.

Setelah aku membuang sampahku, sebenarnya aku berniat untuk kembali ke kursiku. Tapi satu hal menghentikanku.

Masa sih, mesin penjual otomatis ini rusak?

Dari apa yang kulihat, mesin ini nampak masih baru. Cat merahnya masih terlihat bagus dan mengkilap, tubuhnya juga masih halus tanpa goresan sedikitpun.

"Baiklah, kalau begitu hanya ada satu cara untuk membuktikannya..." Aku langsung merogoh kantung belakang celanaku untuk mengambil dompetku.

Tapi... tidak ada.

Dompet yang seharusnya ada di kantung belakang celanaku menghilang.

Di mana? Di mana aku menjatuhkannya?

Aku terus mencarinya di lantai sekitarku, tapi aku tak menemukan apa-apa.

"Ah...?"

Oh iya, aku ingat....

Aku tidak membawa dompet maupun uang sepeserpun.

Hah.... kalau begini aku sama sekali tak bisa memastikan mesin itu rusak atau tidak.

"Sudah kuduga kau akan ikut."

Disaat aku hendak akan pergi meninggalkan mesin penjual otomatis itu, aku mendengar suara perempuan dari belakangku. Dari nada bicaranya, nampaknya dia berbicara kepadaku.

Apa aku mengenalnya?

Aku perlahan berbalik.

Kalau boleh jujur, aku sesungguhnya berharap kalau aku hanya salah sangka dan orang yang berada di belakangku tidak benar-benar berbicara denganku. Bisa repot jika aku bertemu dengan orang yang ku kenal.

"Kenapa kau begitu yakin—"

Bhak...

Aku hampir tersedak.

Bagaimana mungkin dia bisa ada di sini? Kebetulan macam apa ini?

Seram....

Aku benar-benar takut dengan apa yang disebut "kebetulan"....

"Apa-apaan ekspresimu itu?" Eluh perempuan berambut hitam nan panjang itu.

Tunggu, kukira dia akan merasa sedikit canggung atas apa yang terjadi dua hari yang lalu.

Yah... menilai kalau dia adalah Sindy, kurasa itu tidaklah aneh.

"Kau sendiri, kenapa kau bisa ada di sini?" Sebuah pertanyaan bodoh, tapi lebih baik aku memastikannya dari pada tidak sama sekali.

"Tentu saja karena aku adalah peserta." Sindy menarik kalung tanda pengenalnya dari balik jaket hitamnya.

Sudah kuduga.

"Ada apa, Dimo? Kenapa kau lama sekali?"

Ada satu orang lagi yang memanggilku. Suaranya memang masih agak samar, tapi rasanya dia berasal dari belakang dan memanggil namaku.

Aku menoleh ke belakang.

Meskipun masih jauh, Zaki perlahan berjalan ke arahku.

Kenapa dia datang ke sini?

Apa dia datang kemari karena dia khawatir? Atau karena dia takut aku kabur?

Tunggu dulu, cukup bercandanya.

Kalau dipikir-pikir, bukankah ini gawat?

Jika Sindy tahu kalau aku dan Zaki adalah peserta, bisa-bisa kerja sama antara kami berdua ketahuan. Apalagi, semua orang di kelas tahu kalau Zaki dan aku sudah lama berteman, dengan itu pasti Sindy bisa dengan mudahnya mengetahui kalau aku dan Zaki bekerja sama.

Pokoknya, aku harus membuat Zaki menjauh dari Sindy.

"Ada apa?" Tanya Sindy yang menengok ke arah di belakangku. Sontak, aku langsung menghalangi pandangannya agar dia tak bisa melihat Zaki.

"Bukan apa-apa.

Oh iya, bagaimana kalau kita mencari tempat duduk?"

Aku mencoba mengalihkan perhatiannya dan meyakinkannya. Jika Sindy setuju, mungkin aku bisa membawanya pergi menjauh dari Zaki.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Rasanya aku mulai lelah berdiri terus, karena itu lebih baik kita mencari tempat duduk'kan?"

Ayo, setujulah....

Zaki semakin mendekat tiap detiknya, jika Sindy tidak setuju mungkin dia akan bertemu dengan Zaki.

"Baiklah, kalau begitu bagaimana jika kita duduk di kursi yang ada di pojok ruangan itu? Tempat itu dekat dengan AC, jadi kurasa tempat itu lumayan nyaman."

Tempat itu....

Bukankah itu tempat dimana aku dan Zaki duduk sebelumnya?

Gawat, kalau begini dia malah akan berpas-pasan dengan Zaki. Ideku malah berubah menjadi senjata makan tuan.

Ohgodohfukohgodohfukohgodohfuk

Sepertinya enggak ada yang bisa gw bahas di chapter kali ini.

Apabila kalian suka dengan novel ini, pastikan masukkan cerita ini ke dalam library kalian untuk bisa terus mengikuti chapter terbarunya :)

Oke itu saja, see ya later.

IzulIzurucreators' thoughts