webnovel

Cinta Tak Disadari

Rayhan berlalu melewati Azka dengan santainya. Jika itu orang lain dan bukan Azka , pasti mereka akan memilih untuk menghadangnya dan membuat perhitungan atas apa yang ia lakukan . Sayangnya Azka memiliki pilihan lain, ia lebih memedulikan gadis yang sedang menangis di hadapannya . Menurutnya Diza kini lebih penting dibanding memikirkan orang gila disampingnya kini.

"Ia milikmu kini hingga aku mampu dan mengambilnya kembali."

Rayhan membisikkan sesuatu di telinga Azka. Kata-kata yang sungguh mengusiknya. Bagaimana mungkin ia bisa menyikapi Diza selayaknya barang . Mengambilnya kembali, bahkan jika itu adalah sumpah dengan taruhan nyawa Azka tidak akan menyerahkan gadis itu kepadanya . Tangannya mengepal dengan kuatnya, ingin rasanya meninju dan menghajar pemuda itu. Azka pun menarik nafas dalam dan menenggelamkan dirinya dalam ketenangan untuk sesaat. Ia kembali menatap gadis di hadapannya dan mengacuhkan kepergian Rayhan.

Tangannya yang sedari tadi mengepal tiba-tiba melemas. Ia menghampiri gadis itu , 'wanitanya' . Ia mengelus lembut pipi Diza dan mengusap air matanya yang mengalir. Ia meraih Diza dan membenamkannya dalam pelukan. Ia menepuk pundak gadis itu perlahan memberi kekuatan . Berbeda dari apa yang difikirkan nya gadis itu justru membalas pelukannya dengan begitu erat. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan Azka.

Semua orang yang berdiri di depan ruangan itu pun menyaksikan adegan tersebut. Namun mereka memilih untuk buta dan tidak menyaksikannya . Mereka justru memberikan ruang kepada Azka dan juga Diza. Pak Andri sang Ayah justru malah berinisiatif untuk kembali menutup pintu ruangan dan berfokus kembali pada Rayhan . Sedangkan istrinya dan Dokter Dimas memutuskan untuk menunggu dengan tenang di depan ruangan tanpa mengganggu mereka.

Sementara di dalam ruangan , Diza telah tenggelam dalam pelukan Azka untuk beberapa waktu . Ia pun melepaskan pelukan itu dan menghapus air matanya . Ia menatap Azka dalam, berfikir akan jawaban apa yang akan ia berikan kepada pemuda itu. Namun dugaannya salah, pemuda itu tidak menanyakan apapun . Ia hanya mengelus lembut kepalanya dan mengecup keningnya . Ia membantu Diza untuk kembali tidur dan beristirahat . Ia menyelimuti gadis itu dan kemudian menggenggam tangannya .

"Tidurlah , aku akan menemanimu . " ujarnya lirih .

Namun usaha Azka gagal , karena dengan menggenggam tangan Diza ia tidak akan membuatnya tenang melainkan malah menambah kekhawatirannya. Diza memerhatikan luka di tangan Azka dan kembali bangun dari tidurnya .

"Tangan kakak?"

"Aku baik-baik saja. Aku memukul sesuatu karena kesal . Maaf , karena aku tidak bisa menahan emosi dan membuatmu khawatir. "

"Aku akan mengobatinya . "

Diza pun bangkit meraih kotak obat di atas nakas samping tempat tidurnya . Ia merawat luka Azka dengan begitu telaten .Sesekali ia meniupnya , takut Azka akan merasakan sakit lantaran obat merah yang ia bubuhkan . Sementara Azka , ia hanya terpana menatap Diza tanpa berkedip hingga akhir.

Diza melilitkan perban di tangan Azka dengan hati-hati hingga akhirnya ia selesai dan meletakkan tangan Azka di pangkuannya. Ia berbalik mengembalikan obat-obatan itu ke atas nakas dan menyadari bahwa Azka tidak bergerak sedari tadi. Ia merasa bahwa Azka mematung tanpa alasan. Sekelumit hal terlintas di benaknya . Mulai dari Azka yang menahan sakit, atau ia sedang memikirkan sesuatu.

Ia benar-benar terheran dengan sikap Azka yang seakan tidak biasa . Ia mencoba menyadarkan Azka dari lamunan dengan melambaikan tangannya di depan wajah Azka. Namun bukannya tersadar , Azka justru malah semakin mabuk dalam perasaan cintanya.

"Bolehkah Aku mencintaimu?" ujarnya begitu tiba-tiba .

Ia pun meraih Diza mendekat dan mengecup bibirnya lembut. Mereka mematung untuk sesaat . Azka berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan nafsu yang berkecamuk dalam dirinya . Ia menghela nafas panjang dan tersadar akan kesalahan yang baru saja ia lakukan . Baru saja gadis itu menangis dalam pelukannya , tapi kini hanya dalam hitungan detik ia seakan membangkitkan kembali macan dari tidurnya .

Ia sungguh bertindak tanpa berfikir panjang . Ia melihat ada amarah dalam diri Diza yang berusaha ia tahan . Gadis itu mengepalkan tangannya erat seolah akan memukul Azka dengan satu pukulan yang mematikan . Nafasnya memburu, ada air mata yang menetes di pelupuk matanya yang memerah . Ia menatap Azka tajam dan kembali membuang muka terhadapnya .Kemudian langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan posisi membelakangi Azka.

"Maafkan aku. "

"Temui aku jika kakak sudah bisa berfikir jernih. " ujarnya sambil menutupi tubuhnya dengan selimut . Ia pun memejamkan matanya dan bersikap seolah Azka tidak berada di sana.

"Diza...maaf. Aku ...."

"Apa bedanya Anda dengan pria tadi? Memanfaatkan saya yang tidak bisa mengingat apapun .Awalnya saya pikir Anda sungguh peduli , tapi Anda justru malah berfikir untuk memanfaatkan saya dala situasi seperti ini Tuan. "Diza bangkit dari tidurnya dan menegur Azka dengan nada meninggi.

"Diza, aku sungguh tidak memanfaatkan mu."

"Tidak memanfaatkan? Kalau begitu apa maksud Anda dengan semua perbuatan Anda barusan terhadap saya ?"

"Tuan, Anda sedang berusaha mengacaukan emosi saya agar saya tidak berpaling dan memihak Anda . Apa rencana kalian yang sesungguhnya? Siapa saya sebenarnya? "

Azka terdiam dengan tudingan Kanaya terhadapnya . Ia hanya sanggup membisu dan bingung akan jawabannya . Apa sesungguhnya perkataan gadis ini benar, apa ia hanya memanfaatkannya demi menyembunyikan kebenaran . Atau...

Atau sesungguhnya ia sungguh-sungguh telah mencintainya . Fikiran Azka seakan benar-benar kosong Ia tidak berhasil menemukan jawaban apapun .Ia mencoba mengingat kembali makna yang ia rasakan bersama Diza . Ia masih mematung untuk beberapa saat . Hingga akhirnya rintihan Diza menyadarkannya dari lamunan .

"Awh...."

"Ada apa ? Apa yang kau rasakan?"

"Sakit..." ia mencengkeram erat kepalanya , hingga kemudian pingsan dan jatuh tepat di pelukan Azka .

"Diza, ada apa? Kumohon sadarlah !"

"Dokter, suster tolong !" teriak Azka sambil menekan tombol darurat di samping tempat tidur Diza .

Ia membaringkan Diza di tempat tidur begitu dokter datang .Namun, tangannya masih belum berhenti menggenggam tangan Diza dan menciumi punggung tangannya berkali sembari memohon agar ia cepat tersadar .