Aeris menggeliat dan berusaha melepaskan diri dengan sia-sia. Nada bicaranya diseret dan agak tidak jelas. Wajahnya memerah, entah akibat mabuk atau udara dingin. Matanya tampak sayu. Rambut merahnya acak-acakan tertiup angin.
"Lalu membiarkanmu melakukan hal bodoh yang akan mencelakakan dirimu sendiri? Kau bahkan tidak mampu berdiri tegak!" sentak Sky. Wajahnya merah padam, matanya membelalak—perpaduan dari kemarahan serta rasa takut.
"Bukan urusanmu! Ini hidupku dan kau tidak berhak mengatur-ngaturku. Lagi pula, kau bukan siapa-siapaku! Aku bahkan tidak mengenalmu!" balas Aeris ketus. Dia masih menggeliat-geliat berusaha untuk melepaskan diri dari Sky.
"Oh, benarkah? Tapi aku mengenalmu dan aku yakin kau juga akan mengenaliku jika tidak sedang terlalu mabuk," ujar Sky sinis.
Aeris mendongak. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Sky sampai-sampai pria itu bisa merasakan napas Aeris yang hangat dan beraroma alkohol. Matanya menyipit. "Kau …" Kening Aeris berkerut seolah berusaha untuk mengingat. Tiba-tiba, gadis itu tampak girang. "Ah, kakak iparku tersayang," katanya seraya terkikik.
Gadis itu menelengkan kepala, menatap Sky. "Kakak Ipar, bolehkah aku bertanya padamu? Menurutmu, aku cantik tidak?"
Sky tergagap. Wajahnya memerah. "K-kau … yah, kau seorang perempuan. Tentu saja cantik. Tak ada perempuan yang tidak cantik," jawabnya.
Aeris memberengut. "Bukan itu jawaban yang kuinginkan. Hanya tentang aku. A-ku." Gadis itu menunjuk dirinya sendiri. "Apa menurutmu aku cantik? Kau kenal Azzure, kan? Dia temanku. Apa menurutmu dia lebih cantik daripada aku?"
"Aku tidak mengenalnya," sahut Sky. Dia memang tidak mengenal siapa teman-teman Aeris ataupun kekasih gadis itu yang terkadang disebut-sebut oleh ibu mertuanya.
"Yah … memang lebih baik jangan. Dia bukan gadis baik. Dia penipu," kata Aeris sembari mengibaskan tangannya.
Sky terkesiap ketika Aeris tiba-tiba melingkarkan lengan ke lehernya, kemudian mencium pipi pria itu. Dengan tinggi yang tidak mencapai pundak Sky, Aeris harus berjinjit agar bisa melakukannya.
Aeris kembali terkikik. "Wajahmu memerah," bisik gadis itu sebelum cengkeraman Sky pada lengan Aeris terlepas, sehingga gadis itu limbung, kemudian terjatuh.
"Aduh! Kenapa kau melepaskanku?" protes Aeris.
Sky sudah pulih dari keterkejutannya. Dia menatap datar Aeris yang menatapnya dengan wajah memberengut. "Tadi kau sendiri yang meminta untuk dilepaskan. Sekarang kau menyalahkanku. Lagi pula, kau jatuh di atas gundukan salju, tidak akan terlalu sakit dibandingkan dengan terjun bebas ke sungai setengah beku," sahutnya ketus.
Tiba-tiba, raut wajah Aeris berubah sedih. "Tapi hatiku sakit. Hatiku hancur, kau tahu? Sepertinya aku tidak akan sanggup hidup lebih lama lagi. Aku akan mati," gumam gadis itu, tampak lebih dramatis ketika Aeris memasang raut wajah terluka dan menekankan kedua tanganya di dada. Kemudian, dia menarik kakinya hingga menempel ke dada, dengan kedua tangan memeluk lutut. Dagunya ditumpukan ke lutut.
Sky bersedekap, mengamati Aeris yang masih duduk di atas gundukan salju dengan wajah murung. Pikiran gadis itu seolah teralihkan oleh sesuatu. Pria itu mengembuskan napas keras-keras, kemudian berkata, "Apa kau akan tetap di sini semalaman dan membiarkan dirimu mati membeku? Aku sama sekali tidak keberatan—sungguh. Tapi Mauve pasti akan sedih jika itu sampai terjadi terhadap adik kesayangannya. Aku tidak ingin melihatnya sedih. Dan jika dia tahu kalau aku membiarkanmu mati di sini, Mauve pasti akan segera mengirimku untuk menyusulmu."
"Mereka sudah menghancurkanku. Sepertinya kematian tidak terlalu buruk—kemurahan hati," gadis itu bergumam pada dirinya sendiri tanpa memedulikan keberadaan Sky.
Sky mengulurkan tangannya. "Bangun. Ayo pulang," ajaknya. "Kau bisa bermuram durja sepuasmu setelah kita di rumah."
Aeris mendongak—mengerjap, menatap Sky seolah baru menyadari keberadaan pria itu. "Pulang ke mana? Aku tidak punya rumah. Aku tidak punya tujuan," gumam gadis itu sedih.
Cara gadis itu menatap dan bicara telah menyentuh sisi lembut hatinya. Sky bisa melihat ada kerapuhan di sana, juga kesedihan dan kesepian. Ia bertanya-tanya, apa yang sudah Aeris alami sehingga membuatnya berniat mengakhiri hidupnya?
Rasa simpati itu mendorongnya untuk berjongkok di hadapan Aeris, kemudian menyentuh puncak kepala gadis itu dengan lembut. Sky tersenyum, lalu berkata lembut, "Kata siapa kau tidak punya rumah? Kau punya aku dan Mauve. Kami akan selalu menerimamu di rumah kami. Kami akan menjagamu. Sekarang bangunlah. Kau bisa sakit kalau tetap berada di sini lebih lama lagi. Udaranya sangat dingin."
"Tapi aku tidak mau pulang," rengek gadis itu.
Sky menghela napas, kekesalannya kembali terbit. "Lalu, kau mau apa?"
Aeris mengulurkan kedua tangannya. "Bantu aku berdiri dulu. Kau yang sudah menjatuhkanku," katanya manja.
Sky kembali menghela napas entah untuk keberapa kalinya malam ini. "Sial! Kenapa aku harus terjebak bersamamu?" gumam pria itu seraya meraih kedua tangan Aeris dan menarik gadis itu berdiri.
*
Sky nyaris membeku ketika akhirnya berhasil membujuk Aeris pulang dengan susah payah. Aeris mengajukan syarat agar Sky menggendongnya dalam perjalanan dari Fern ke Dionysus. Ketika Sky menolak, gadis itu berdalih dirinya akan ambruk bahkan sebelum mereka sampai.
"Aku merasa tidak sehat," keluh gadis itu.
Sky menatap kesal Aeris. "Ya, memang terlihat jelas," ketusnya.
"Sungguh," ujar Aeris, kemudian dibuktikan dengan gelombang muntah yang tampaknya akan berlangsung selamanya. Ketika gadis itu akhirnya berhenti muntah, dia tampak pucat pasi. Sky yang merasa iba akhirnya mengalah, lalu berjongkok di hadapan Aeris dan meminta gadis itu naik ke punggungnya.
Seperti dugaannya, tubuh Aeris yang mungil begitu ringan. Mata Aeris setengah terpejam. Sky bisa merasakan panas tubuh gadis itu menembus lapisan tebal pakaiannya. Napas Aeris terasa hangat di lehernya, menggelitik sistem sarafnya dengan cara yang tak biasa.
"Sky?" panggil Aeris pelan.
"Apa? Kau ingin muntah lagi?" pria itu menyahut.
Sky merasakan gadis itu menggeleng. "Apa kau mencintai Mauve? Sebesar apa cintamu padanya?" tanya gadis itu dengan suara pelan—terdengar mengantuk.
Langkah Sky terhenti sejenak, sebelum kemudian dia melanjutkan langkahnya ketika pulih dari keterkejutannya. Sky tidak tahu mengapa Aeris menanyakan hal itu kepadanya, padahal selama ini sikap gadis itu begitu dingin padanya. Mungkin efek alkohol, pikirnya. Sky merasa tak ada salahnya menjawab pertanyaan Aeris. Toh, kecil kemungkinan gadis itu akan mengingat percakapan mereka malam ini.
"Tentu saja aku sangat mencintai kakakmu. Kalau tidak, kenapa aku menikahinya?" jawab pria itu.
"Hartanya," cetus Aeris.
Sky hanya tersenyum kecut mendengar jawaban sang adik ipar. Selama ini banyak yang berbisik-bisik dibelakangnya, menuduh bahwa dia menikahi Mauve hanya karena kekayaannya. Mereka mengira Sky tidak mengetahui semua itu dan Sky membiarkan mereka beranggapan begitu. Dia tak peduli apa kata orang.
"Apa yang membuatmu jatuh cinta kepada Mauve? Apa alasannya?" Aeris bertanya.
Sky mungkin sudah mengedikkan bahu jika tidak sedang menggendong Aeris. "Tidak ingat," sahutnya. Dia bisa membayangkan Aeris mengernyit, kernyitan permanen yang selalu muncul ketika mereka tak sengaja bertemu dan terpaksa harus saling menegur untuk bersopan-santun. "Setiap bagian dari kakakmu membuatku jatuh cinta. Aku tidak bisa menyebutkannya satu per satu karena itu mungkin akan menghabiskan masa mudamu. Dan setiap saat, dia selalu membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi."
Hening sejenak. Kemudian, Aeris kembali bertanya, "Misalkan Mauve memiliki sesuatu yang kau inginkan, kemudian kau meminta kepadanya, tetapi ternyata dia menolak memberikannya—akankah kau marah? Akankah kau meninggalkan Mauve karena hal itu?"