webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
279 Chs

●Mandhakarma (3)

Vanantara, berada di bilik peraduan Varesha.

Bila sangat merindukan sang istri, sang raja akan berada di bilik ini berlama-lama, tanpa menginginkan gangguan. Bahkan kali ini, ia pun tak ingin diganggu oleh kedua putrinya, Nisha dan Yami. Sayangnya, keadaan genting seperti itu membuat Nisha tak ingin mematuhi ayahnya secara mutlak. Ia gunakan segenap kemampuan untuk menembus dinding bilik kokoh dan mendapati ayahnya berdiri terpekur.

"Ayah! Panglima Gosha jauh-jauh ke mari," pinta Nisha bersungguh-sungguh.

Vanantara menarik napas panjang.

"Ayah?"

Tak ada jawaban.

"Yang Mulia Paduka Raja Vanantara banna Wanawa," Nisha menyebut nama ayahnya secara lengkap, "…hamba mohon."

Vanantara menyentuh pipi istrinya yang tertidur lama.

"Bersikaplah sopan, Nisha," tegur Vanantara, "di depan Ratu Wanawa."

Nisha membungkukkan badan, memberikan hormat yang dalam kepada ayah dan ibunya.

"Ayah," bisik Nisha, kebingungan dan merasakan kepedihan yang dalam, "Paduka…"

"Sampaikan pada Gosha, Nisha," tegas Vanantara. "Wanawa akan memberi dukungan sepenuhnya untuk membuka Kawah Gambiralaya dan Gerbang Ambara. Wanawa akan memberi dukungan bila Aswa membutuhkan bantuan."

Nisha mengangguk, membungkukkan badan, mengatupkan kedua belah tangan di depan dada.

"Tentang pertanyaan Panglima Gosha terkait ramalan Ratu Varesha…," Nisha belum sempat menyelesaikan ucapannya.

"Kukatakan sekali lagi! Aku tak ingin membahasnya!!!"

❄️💫❄️

Nisha bergabung dengan kakaknya, Putri Yami, beserta panglima Aswa dan panglima Wanawa.

"Bagaimana, Adinda?" tanya Yami cemas.

Nisha menarik napas panjang. Matanya berkabut.

"Aku tak bisa membujuk ayah," ujarnya getir.

Gosha dan Milind saling berpandangan.

"Ayah berkata, akan memberikan dukungan sepenuhnya untuk membuka Kawah Gambiralaya dan Gerbang Ambara. Ayah akan memberikan apapun permintaan Aswa," jelas Nisha.

Tapi, Raja Vanantara tak mau memberikan jawaban terkait ramalan Ratu Varesha, batin Gosha.

Keheningan mencekam keempatnya. Yami, memejamkan mata sesaat, berusaha mengumpulkan ingatan akan berbagai kisah dan berita yang pernah diketahuinya. Mereka duduk melingkar di aula Kanana, tempat raja dan ratu bisa menemui tamu-tamu terdekatnya. Gosha menatap Yami sekilas, mendadak ia merasakan wajahnya memanas.

Sempat-sempatnya kau lakukan tindakan tak pantas, Gosha! Rutuknya pada diri sendiri.

Dalam keadaan tidak menentu seperti itu, diam-diam Nisha menyimpan senyum. Ia selalu senang melihat Yami dan Gosha tanpa sengaja bertemu seperti ini. Ya, siapa yang dapat mengawal Yami bila bukan panglima seperti Gosha? Lagipula, tak mungkin panglima Milind yang akan selalu menjaga Yami. Kali ini, Nisha merasakan wajahnya sendiri memerah oleh pikiran-pikiran tak pantas.

"Putri Yami," Milind mencoba menyela. "Apakah ada yang kau pikirkan?"

Yami membuka mata.

"Panglima Gosha," ujar Yami, menoleh ke arah panglima Aswa. "Apa yang dapat kau lakukan jika mengetahui seluruh kisah ramalan Ratu Varesha? Kita tak tahu kebenarannya. Jika itu tak benar, keputusan yang diambil bisa jadi salah."

Gosha menghela napas panjang.

"Ratu Laira berpendapat, jika cerita utuh didapat, kita dapat menyusun rencana lebih baik lagi. Sebab musuh atau ancaman kali ini, belum pernah terjadi sebelumnya," jelas Gosha.

"Tapi kau tahu, ayah mustahil membeberkannya, bukan?" tanya Yami.

"Ya, Putri."

"Dalam keyakinan Wanawa, menceritakan sebuah kisah ramalan, berarti membantu ramalan itu untuk terwujud segera. Itulah sebabnya, kami menyimpan rapat mimpi-mimpi. Atau berita ramalan. Atau isyarat dalam tidur," jelas Yami.

"Mengerti, Putri."

"Ayah masih berharap, ramalan Ratu Varesha bukanlah kejadian nyata yang benar-benar akan terjadi."

"Baik, Putri."

"Tapi Ayunda* Yami," sela Nisha, "bagaimana jika itu benar adanya? Ibunda ratu tak akan melindungiku seperti itu, bila tak yakin kebenarannya."

"Cukup, Nisha!" ujar Yami, sedikit bersuara keras.

Nisha terbelalak, lalu menunduk dengan wajah termenung.

"Maafkan aku," Yami berujar sesal. "Aku tak bermaksud menghardikmu."

Nisha mengangkat dagu, berusaha tersenyum.

"Bisakah kita segera membuka Kawah Gambiralaya dan Gerbang Ambara?" tanya Yami. "Itu, bukan, yang seharusnya segera dilakukan?"

"Ya, Putri," Gosha dan Milind bersamaan mengiyakan.

Ribuan tahun silam, para raja bersepakat atas prinsip-prinsip 'Kebaikan Abadi'. Kebaikan Abadi adalah perjanjian yang telah disepakati oleh seluruh wangsa Akasha dan Pasyu, dengan simbol kesepakatan berupa pusaka masing-masing kerajaan yang tersimpan rapi di relung palung Kawah Gambiralaya –palung laut terdalam yang dijaga prajurit paling kuat dan paling menyeramkan. Kawah Gambiralaya dijaga utusan terpilih dari masing-masing kerajaan. Walau berasal dari wangsa berbeda-beda, delapan utusan terpilih telah memakan serbuk mutiara racikan Jaladhini hingga mereka dapat bertahan lama di Gambiralaya.

Sarung-sarung dari pusaka tersebut tersimpan di tempat lain : Gerbang Ambara, suatu celah raksasan di angkasa yang dijaga oleh Aswa dan Paksi. Pusaka tanpa sarung, tak akan kuat bertarung. Sarung tanpa pusaka, tak akan punya daya. Ketika pusaka dan sarung bersatu, senjata dahsyat milik masing-masing kerajaan akan memberikan kekuatan bertarung luarbiasa bagi raja, panglima dan prajurit yang maju ke medan laga. Delapan raja dari seluruh wangsa menyumbangkan mantra. Mereka bersama untuk mengunci, mereka bersama pula untuk membuka.

Tapi bagaimana mengurai kunci kedua tempat tersebut, jika para raja tak lagi bersatu? Seakan mustahil dilakukan. Ibarat meminta prajurit Aswa masuk ke lubang jarum.

"Bagian terberat adalah meminta Vasuki untuk berkenan membukanya," Milind berpendapat. "Mereka pasti akan menyangka pusaka-pusaka Aswa dan Wanawa digunakan untuk mengalahkan Vasuki."

"Ya, aku sependapat denganmu, Milind," ujar Gosha.

"Tapi kita tetap harus mencobanya," ujar Milind tegar. "Bagaimanapun, kita harus melakukan apa yang memang harus dilakukan. Bukan begitu, Gosha?"

Nisha menatap Milind, bangga.

"Ya," Gosha menatap Milind penuh hormat. "Walau jawaban akhir dari Vasuki adalah penolakan. Atau bahkan permusuhan."

"Akasha Giriya dan Akasha Gangika membangun benteng. Mereka jelas-jelas menyadari bahwa sebuah ancaman bergerak perlahan ke arah dunia kita," Milind berkata.

Yami tetiba tegang.

"Ayunda? Ada apa?" tanya Nisha cemas dan ingin tahu.

"Milind, kau berkata Giriya dan Gangika membangun benteng-benteng baru?"

"Ya, Putri."

"Aku memang mendengar itu," ujar Yami, tampak berpikir keras,"…tapi aku baru menyadarinya setelah percakapan ini."

Nisha, Gosha dan Milind menumpahkan perhatian pada Yami.

"Apakah sebetulnya…bukan hanya Ratu Varesha yang mendapatkan berita ramalan itu? Aku menduga kini…seluruh ratu pernah mendapatkan kabar itu tapi dalam gambaran yang berbeda-beda," desis Yami.

Tubuh Yami menegang. Mata indahnya terbelalak. Ia menatap lurus ke arah Milind dan Gosha.

"Itu sebabnya, mereka membangun berlapis benteng, dengan menggunakan tenaga budak Nistalit," Milind berkata tandas.

Yami mengangguk, "Ya. Giriya dan Gangika sudah memiliki ramalannya sendiri. Tapi mereka menyembunyikannya, sebab berseteru dengan kita, walau mereka tidak setajam Vasuki dalam mengambil sikap."

Urat di pelipis Milind mengeras. Begitupun Gosha mengepalkan tangan.

"Gosha…aku rasa kau tak perlu menggali makna mimpi Ratu Varesha. Tanyakan, apakah Ratu Laira pernah mendapatkan isyarat yang sama. Hanya mungkin, Ratu Laira mengabaikannya, sebab beliau tak dalam keadaan hamil seperti ibuku, Ratu Varesha," lanjut Yami. Ia menatap Nisha penuh kasih, tanpa bermaksud menyudutkan sang adik.

"Baik, Putri," Gosha membungkuk hormat.

Milind, seketika merasakan tubuhnya terbakar dalam api ketegangan.

"Gosha," ujar Milind, "…apakah jika Ratu Varesha dan Ratu Laira memiliki mimpi yang sama, itu berarti…?"

Milind tak mampu menyelesaikan ucapan.

Sang Panglima Wanawa menatap Yami dan Nisha bergantian. Gosha menatap Milind dengan mata terbuka lebar, seakan dapat membaca seluruh isi pikiran Milind.

"Aku paham apa maksudmu!" bergetar suara Gosha. "O, aku berharap, Ratu Laira tak memiliki mimpi yang sama dengan Ratu Varesha!"

❄️💫❄️

____________

*Ayunda (bhs. Jawa) : Kakak