webnovel

Chapter 3: Fate or Destiny? (Part 2)

Julia POV

Julia berjalan menghampiri dimana mobilnya terparkir. Ia merogoh kantong celana jeans-nya dan menghela napasnya kasar.

Julia menengok ke belakang dan mendapati Ben berjalan menghampriya. "J-Julia, lo mau ikut kita-kita ke bar gak?" Tanya Ben.

Julia mengeluarkan kunci mobilnya, lalu menggeleng pelan. "Maaf Ben, gue udah bersih dari alkohol," balasnya di sertai dengan senyuman tipis.

Ben hanya menganggukkan kepalanya dan pergi menghampiri rombongan yang sudah menunggunya. Julia masuk ke dalam mobilnya dan di sambut oleh Wolfie yang sudah duduk manis di kursi belakang. "Aku lapar!" Julia memasang safebelt-nya.

Julia meletakkan paper bag bewarna cokelat di kursi penumpang belakang. Julia menopang dagunya dan menatap ke arah kaca spion tengah. "Aku telah menyisakannya untuk mu." Julia menghela napas.

Julia masih diam dan menatap ke arah toko-toko yang berada di depannya. Ia merasa sangat lelah dan menatap ke arah bangunan di depannya.

"Apa kau sudah membuat keputusan?" Pertanyaan Walter membuat Julia menghela napasnya kasar dan menengok ke belakang. Sosok bayangan hitam tersebut memiliki kulit pucat dan mata birunya masih bersinar.

Julia menganggukkan kepalanya. "Biarkan aku saja sendiri yang mendatanginya." Julia menyalakan mesin mobilnya dan mulai menyetir ke arah rumahnya. "Apa kau... mendapatkan sesuatu?" Walter hanya berdehem.

Seakan mengerti maksud dari Walter, Julia langsung membelokkan stirnya ke sebuah gang sepi dan mematikan seluruh mesinnya. Tak lupa juga Julia mengunci pintu dari dalam agar aman. "Apa yang kau dapat tentang Irene?" Tanya Julia.

Walter hanya memegang tangan Julia. Di pergelangan tangannya terdapat tato tribal bewarna biru. Tato tersebut menyala terang menyinari kegelapan malam. Julia menghela napasnya kasar dan tertawa getir. "Apa menurut mu aku... harus menolongnya? Aku telah menolong banyak orang dan banyak dari mereka akan..."

"Aku menyarankan agar kau tidak menolongnya terlebih dahulu, Nona. Aku merasa... kita belum melihat semuanya" Julia mengangguk-anggukkan kepalanya.

Rose POV

Rose berdiri menatap pemandangan yang berada di depannya. "Bagaimana makan siang mu, nona?" Rose menengok ke belakang dan menghela napasnya. Ia tidak menjawab pertanyaan Han yang kini sudah berdiri di belakangnya.

"Aku..."

"Untuk apa kau menunggunya!?" Rose membalikkan badannya dan menatap Han. "Aku..." Rose menghela napasnya kasar dan berjalan menghampirinya. Rose memeluk Han dan menyandarkan kepalanya di dada Han.

"Aurellia adalah Adrian." Ucapnya singkat.

Han hanya diam dan menghela napasnya kasar. Ia melepaskan pelukan dan menatap mata cokelat milik Rose. "Dia adalah wanita, Rose! Dia..."

Rose menepis tangan Han dan menatapnya. "Aku tidak peduli. Bahkan jika orang tua ku mengetahuinya, mereka akan mengusirku, aku tidak akan perduli dengan semua ini. Lagipula... mereka akan merasa berhutang budi padanya." Jelasnya.

Han hanya tertawa getir dan menggelengkan kepalanya pelan. "Dia..."

"Sudahlah, Han! Aku bisa membuatnya miliku. Sekarang dan untuk selamanya!" Han hanya bisa mengepal tangannya erat-erat dan berbalik arah.

Rose hanya diam dan membiarkan angin menerpa wajahnya. Suara decitan sepatu beradu dengan suara lantai balkon kantor Rose malam itu. Bintang-bintang di langit menerangi malam mereka. "Apa kau ke sini untuk mengomeli ku lagi?"

Rose langsung membalikkan tubuhnya.

Adrian berjalan menghampiri Rose dan menenteng satu paperbag cokelat dan memberikannya kepada Rose. "Kau bisa sakit, Eponine." Adrian menghela napasnya kasar dan menatap gedung-gedung di sampingnya.

"Apa begitu berat menjalankan takdirmu sebagai reinkarnasi?" Adrian hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya.

Adrian menatap wajahnya dan menghela napasnya. "Aku hanya ingin kau... mencintai seorang yang bukan diriku lagi, Eponine. Adrian sudah mati." Rose hanya terdiam. "Sampai kapan kau mencintai seseorang yang... telah mati, lalu orang tersebut... berada di dalam tubuh orang lain? Apa kau mencintai orang itu sebagai dirinya sendiri atau sebagai diriku?"

Pertanyaan Adrian membuat Rose tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya meremas tiang pembatas hingga penyok. "Mengapa?" Julia menaikkan satu alisnya. "Lalu mengapa kau kemari?" Rose menatap tajam mata hijau milik Adrian.

"Aku hanya merindukan mu, aku harap kau bisa mencintai dirinya sebagai Aurellia, bukan Adrian." Rose hanya terdiam dan menundukkan kepalanya. Adrian berjalan menuju pintu keluar dan menghilang.

Rose menghela napasnya kasar dan menatap kalung yang masih melingkar di lehernya.

"Oh, lo di sini!" Julia berlari pelan sambil menenteng sebuah paperbag di tangannya. Rose menatap wajahnya dengan mengkerut. Julia menatap ke sekelilingnya dan menatap Rose.

Rose menghela napasnya kasar dan menengok ke bekalang. "Ada..."

"Kau harus bertanggung jawab, Eponine." Rose menghela napasnya dan berjalan menghampirinya. Ia menatap mata hijau Julia, lalu mencabut kalung yang melingkar di lehernya. Julia hanya mengerutkan keningnya dan menatap kalung yang di genggam.

"Apa kau bisa menjaga kalung ini untuk ku?" Julia memasukkan tangannya ke dalam kantong celana jeans-nya dan menggelengkan kepalanya. "Mengapa? Ini adalah milik mu." Julia tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Apa lo abis ketemu sama pemilik kalung itu ya?" Rose hanya terdiam. Julia tertawa kecil dan menghirup udara sebanyak-banyaknya dan menghelanya pelan-pelan. "Kekuatan utama gue itu heal. Gue sebenernya tau lo perlu bantuan gue buat.... sembuhin orang tua lo."

Rose mengawasi gerak-gerik Julia dengan hati-hati. Julia menarik lengan Rose untuk mendekat dan menatap mata cokelat milik Rose. Angin berhembus sangat kencang hingga daun dari tanaman di balkon ruangannya memutar mengelilingi mereka berdua.

Rose memasukkan kalung yang ia genggam ke dalam kantong celana jeans milik Julia. "Apa... yang harus aku lakukan!?" Suara Rose bergetar.

Julia melepas pelukannya dan memakaikan jaket di pundakknya dan merapikan rambutnya ke belakang. "Aku akan membantu mu, tapi dengan satu syarat..." Julia melepaskan pelukkannya dan menatap ke arah gedung yang ada di depannya. "Cairkan hatiku." Rose mengerutkan keningnya.

"Apa maksud mu?!" Rose masih menatap tajam. "Apa aku tidak salah dengar tentang mu!?" Julia menggelengkan kepalanya. Ia berdiri di pembatas.

"Kau bilang kau sudah tahu mengapa aku menutup hatiku untuk orang lain!? Apa kau sudah lupa?" Julia menghela napasnya kasar dan menatap Rose. Ia tersenyum dan menghela napasnya kasar. "Kita bertemu, bukan suatu kebetulan, bukan? Tanya tukang sihir mu, Eponine. Kita bertemu karena takdir."

Rose POV

Julia menjatuhkan dirinya. "Tunggu!" Rose berusaha meraih tangannya namun, ia sudah terlambat. Suara dentuman keras, teriakkan, dan alarm terdengar samar-samar di telinganya. "Dasar!" Rose berlari sekencang mungkin menuju area parkiran.

Saat ia sudah berada di area parkiran ia terkejut melihat serigala berbulu putih berlari menuju belakang kantornya. Rose hanya bisa diam dan terengah-engah sambil menatap serigala putih tersebut.

Rose memeluk dirinya dan jaket milik Julia masih berada di pundaknya. Dirinya tersenyum sambil mengusap jaket jeans tersebut. "Baiklah, jika itu permainan mu." Ucapnya sambil berjalan masuk ke gedungnya kembali.

.

.

.

.

.

.

Jangan lupa untuk share, vote, komen, dan tambahkan ke library! Karena setiap hal kecil yang kalian lakukan dapat membantu Author makin termotivasi untuk menulis.