"Bagaimana, Callista, apakah kau bersedia menjadi istriku? Aku akan melunasi semua hutang Papamu di Bank juga kepada para relasinya, dan aku juga akan kembali membangun pabrik furniture miliknya yang terbakar itu jika kau bersedia?" tanya Revano sambil tersenyum manis.
Revano adalah seorang lelaki yang memiliki tinggi 185 cm, postur tubuhnya sangat proporsional, berkulit putih, berwajah indo yang terlihat sangat bersih sekali, dengan intonasi suara yang sangat tenang dan ramah. Mungkin hanya perempuan bodoh yang menolak tawaran tersebut, karena Revano tampak seperti seorang lelaki yang sangat sempurna sekali.
Callista terdiam sejenak sambil menatap lantai dengan pikiran yang melayang jauh penuh kesedihan, saat dia mendengar tawaran yang diajukan oleh Revano kepada dirinya. Pikirannya langsung terbang menuju ke sebuah ruangan di dalam rumah sakit RSCN tempat Papanya dirawat saat ini. Karena Papanya menderita penyakit jantung, akibat mengalami kebangkrutan pabrik furniture nya yang terbakar beberapa hari lalu.
Ruang tamu yang memiliki interior mewah bernuansa serba putih, dengan menggunakan AC sentral yang senantiasa tercium aroma lavender sebagai pengharum ruangan. Saat ini jadi terasa panas bagi Callista, bahkan hingga membuat tubuhnya mengeluarkan peluh yang membasahi genggaman tangannya.
"Kau sebenarnya siapa, Tuan Revano? Kenapa tiba-tiba saja datang ke rumahku, lalu menawarkan sebuah bantuan dengan imbalan pernikahan?" tanya Callista sambil mengangkat wajahnya, dan berusaha memberanikan diri menatap kedua mata Revano. Saat ini tangan Callista tampak dengan gugup mempermainkan ujung jilbabnya yang berwarna hijau muda.
"Aku salah satu rekan kerja Papamu Callista, jika nanti bertemu dengan aku beliau pasti mengenali. Karena sebelumnya kami pernah menjalin sebuah kerjasama yang sangat baik. Beberapa bulan yang lalu, pabrik furniture Papamu lah yang mengisi seluruh furniture yang ada di anak cabang di perusahaanku," jawab Revano menjelaskan.
"Kenapa kau menawarkan bantuan dengan imbalan pernikahan, Tuan Revano? Padahal aku yakin, kau bisa mendapatkan wanita mana pun dengan segala kelebihan sebagai seorang lelaki yang kau miliki, tanpa harus menawarkan bantuan dengan imbalan pernikahan kepadaku? Maaf, sebab menurut aku itu sangat aneh sekali," ucap Callista dengan jujur menyampaikan isi hatinya.
"Untuk alasannya cukup aku saja yang tahu Callista, yang jelas bagi aku dan juga keluarga, kau adalah sosok perempuan yang tepat untuk mendampingiku sebagai seorang istri. Karena sebagai seorang pewaris tunggal dari keluarga Cokro Wardoyo, yang memiliki keturunan darah biru juga konglomerat terkenal. Aku tidak dapat sembarangan memilih seorang perempuan, sebab hal itu menyangkut nama baik keluarga, dan bagi keluarga kami sebuah nama baik adalah nomor satu! Sekarang, bagaimana jawabanmu, Callista?" tanya Revano kali ini dengan suara yang tegas.
"Boleh kah aku memikirkannya terlebih dahulu, Revano?"
"Maaf, Callista, aku butuh jawabannya sekarang, jika kau tidak menjawabnya maka aku anggap kau telah menolak, dan aku akan pergi sekarang juga!" jawab Revano dengan raut wajah yang mulai tidak sabar sambil melihat ke arah jam tangannya.
"Ba-baiklah, aku bersedia, tetapi sebelum pernikahan kita, aku ingin kau memenuhi semua perkataanmu untuk menyelesaikan semua permasalahan Papa. Setelah itu kau bebas menentukan kapan kita akan menikah," jawab Callista akhirnya.
"Baiklah, secepatnya aku akan menyelesaikan segalanya Callista, dan aku juga akan mempersiapkan semua kebutuhan untuk pernikahan kita. Jadi kau tenang saja, cukup fokus dengan kesehatan Papamu. Baiklah kalau begitu, sekarang aku permisi dulu," pamit Revano sambil tersenyum lega dengan raut wajah yang memancarkan kebahagiaan.
"I-iya, silahkan ...."
Callista mengantarkan Revano hingga ke depan pintu rumah, di sana sudah ada seorang supir dan juga sebuah mobil mewah berwarna hitam yang memang sudah menunggunya sejak tadi. Saat melihat kedatangan Revano, sang supir langsung membukakan pintu mobil untuk Revano masuk ke dalam. Tidak berapa lama kemudian mobil pun bergerak keluar dari halaman rumah melewati pintu gerbang, yang terbuka secara otomatis dari tempat pos security berjaga.
Sebuah tepukan lembut dari belakang cukup mengejutkan Callista, yang saat ini sedang dilanda kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Callista, kau yakin dengan keputusan yang telah kau buat tadi, Nak?" tanya Mama Callista yang ternyata selama ini mendengarkan pembicaraan dirinya dengan Revano.
"Aku tidak tahu Ma, sebab aku sendiri belum sempat melakukan salat istikharah, untuk menanyakan kepada Allah sebaiknya apa keputusan yang tepat. Semuanya berjalan dengan sangat cepat sekali, tetapi mau bagaimana lagi Ma. Jika tidak diterima, siapa yang akan membayarkan semua piutang, Papa? Apalagi dengan kondisi Papa yang sedang sakit seperti sekarang ini, tetapi aku yakin, karena niat aku baik untuk membantu orang tua, Inshaallah ini semuanya merupakan jalan yang benar," jawab Callista sambil tersenyum kecut.
"Mama do'akan demikian Nak, maaf 'kan Mama dan Papa ya, karena sudah menyusahkan dirimu, Callista," ujar Mama sambil memeluk Callista sambil menangis.
"Sudah Ma, jangan menangis nanti jika Mama sakit juga bagaimana? Semuanya akan menjadi semakin sulit, inshaallah, aku ikhlas dengan takdirku," ucap Callista sambil meneguk salivanya untuk membasahi tenggorokan yang seketika terasa keluh.
"Apakah kau akan ke kampus hari ini, Callista?" tanya Mama sambil merangkul pinggang Callista memasuki rumah.
"Aku rasa, sejak hari ini aku tidak akan ke kampus lagi Ma, karena rasanya aku sudah malas melanjutkan kuliah, apalagi sebentar lagi aku akan menikah bukan?" jawab Callista.
"Kau tidak boleh begitu Nak, sayang sekali jika kuliahmu tidak diteruskan. Bukankah tahun ini kau akan segera wisuda? Hanya tinggal mengerjakan skripsi saja 'kan? Sekarang, sebaiknya kita makan siang dulu, setelah itu Mama akan segera ke rumah sakit untuk melihat keadaan Papamu, sambil membawa pakaian ganti untuk Papa, juga segala sesuatu yang dibutuhkan dia sana. Sedangkan kau, harus ke kampus untuk menyelesaikan skripsimu, lakukan semua ini untuk Mama Callista. Karena Mama akan merasa senang dan bangga sekali, jika dapat melihat kau mengenakan toga, juga dapat lulus dari kampus dengan nilai yang terbaik!" kata Mama berusaha memberikan semangat kepada putri tercintanya.
Mendengar perkataan Mamanya Callista jadi terdiam sejenak, kemudian sambil tersenyum penuh keceriaan dia pun menjawab.
"Baiklah Ma, aku akan menyelesaikan kuliahku demi Mama dan Papa, aku akan terus berjuang untuk meraih impianku!"
"Nah, begitu dong Nak, itu baru namanya anak Mama yang hebat dan solehah, karena jika kita menghadapi sebuah ujian, kita harus terus berjuang, bukannya menyerah dengan keadaan," puji Mamanya sambil tersenyum bahagia karena kembali melihat setitik semangat dalam diri Callista.
"Iya, Mama benar, karena pelangi yang indah akan muncul setelah hujan besar yang berhenti, semuanya akan silih berganti seperti roda yang terus berputar, begitu yang Papa selalu sering katakan," ujar Callista sambil tersenyum.