"Kenapa? Apa kamu tak senang aku mengantarmu?" tanya Nio.
"Aku hanya khawatir kamu akan terlambat," ucap Allena.
Nio menghela napas dan meraih pinggang Allena.
"Tak perlu khawatir, Sayang. Ayok bersiap, aku akan menunggumu di meja makan," ucap Nio dan meninggalkan Allena.
Allena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Nio menjadi keras kepala, padahal biasanya Nio selalu menuruti kata-katanya. Tapi, sudah seperti ini, Allena tak ingin membuat masalah. Dia memilih bersiap. Setelah selesai, dia sarapan bersama Nio.
Di perjalanan menuju kantor Allena, Nio hanya diam. Allena melihat Nio seakan Nio begitu fokus mengemudi, tapi Allena justru curiga Nio memikirkan hal lain. Allena merasa aneh dengan diamnya Nio.
"Ehem... Sore nanti, apa kamu akan menjem--"
"Ya," ucap Nio yang sontak berbalik bahkan sebelum Allena menyelesaikan ucapannya.
"Kenapa?" tanya Nio ketika melihat Allena menatapnya bingung. Allena masih saja diam, dia tak menjawab pertanyaan Nio. Tepat ketika Nio akan bicara, Allena bergegas membuka suara.
"Apa ini tak berlebihan? Aku bisa menjaga diriku sendiri. Di dekatku juga selalu ada Guntur, aku juga memiliki supir pribadi,", ucap Allena.
"Bukankah sudah aku katakan, aku tak percaya pada siapapun selain diriku sendiri. Tak masalah dengan Guntur yang ada di sisimu sepanjang hari, tapi dia tak menemanimu saat kamu pulang 'kan?" ucap Nio.
"Tapi, ada supir pribadiku. Aku bisa pulang dengannya," ucap Allena.
"Aku sedang mengemudi, jangan mengatakan apapun lagi!" ucap Nio membuat Allena terdiam. Nio benar-benar telah berubah. Perubahannya terjadi di waktu yang sangat cepat. Hal itu membuat Allena merasa tak nyaman.
Apa Nio tak percaya lagi padanya? Apa Nio bertingkah seperti ini karena sebenarnya memiliki sesuatu yang disembunyikan darinya? Semua berawal dari keinginan Nio untuk memiliki anak 'bukan? Nio mulai agak aneh. Dan, kebetulan kejadian kemarin menimpanya. Apakah Nio sengaja ingin mencari masalah dengannya? Apa Nio ingin menekannya? Pikir Allena.
Sebelumnya, Allena tak mempermasalahkan sikap Nio terhadap dirinya. Dia sudah terbiasa dengan itu. Namun, kali ini jelas ada perbedaan. Nio berbeda dengan sebelumnya yang selalu mendengarkan bahkan menuruti kata-katanya. Kini Nio selalu mendebat apa yang dirinya katakan, seakan Nio tak ingin apapun yang dia katakan dibantah.
Tak ingin membuat suasana semakin buruk, Allena pun memilih diam.
Beberapa waktu berlalu, Nio dan Allena sampai di depan gedung perusahaan Allena.
"Jangan mengulangi hal yang sangat kubenci!" ucap Nio, membuat Allena yang baru saja akan membuka pintu mobil langsung menoleh dan menatap Nio yang tengah menatapnya.
"Tak peduli ke mana dirimu pergi, tolong kirimkan alamat yang benar padaku! Aku tak bermaksud ingin membahas yang sudah berlalu, tetapi jika sesuatu terjadi padamu, dan aku tak tahu apapun, aku akan merasa bersalah seumur hidupku," ucap Nio seraya menatap Allena dengan serius.
Allena terdiam sejenak seraya menatap mata Nio yang entah tatapan macam apa itu? Allena merasa tak biasa ditatap seperti itu oleh Nio.
Allena tak mengatakan apapun dan memilih keluar dari mobil Nio. Sepertinya, kali ini takan mudah menghindari Nio. Sepertinya benar dugaannya, kepercayaan Nio telah berkurang, atau mungkin telah hilang karena kebohongannya tentang alamat itu? Namun, hal yang baru Allena sadari sekarang, bagaimana mungkin Nio tahu alamat itu palsu sedangkan Allena tak pernah menghidupkan GPS di ponselnya? Tak mungkin Guntur mengatakan sesuatu pada Nio 'kan? Guntur setia padanya. Lagipula, Allena yakin Guntur dan Nio hanya saling mengenal, tetapi tidak dekat.
'Apa dia memata-mataiku?' batin Allena di tengah langkahnya memasuki loby perusahaannya, dia segera berbalik dan melihat mobil Nio telah meninggalkan area perusahaannya.
'Tak mungkin, aku tak melihat siapapun yang mencurigakan selama aku di luar!' gumam Allena seraya menggidigkan bahunya. Dia segera menyadarkan dirinya, pikirannya tentang Nio yang mungkin memata-matainya pasti tak benar. Nio memang posesif, tapi Allena yakin Nio takan melakukan hal sejauh itu.
***
Di perusahaan Nio. Nio baru saja memasuki ruangannya, tak lama Wilona juga memasuki ruangannya.
"Selamat pagi, Tuan. Ada seorang pengacara bernama Haris, dia mengatakan sudah membuat janji bertemu dengan Anda. Apa itu benar? Saya kembali memeriksa jadwal pertemuan Anda, tapi tak ada jadwal bertemu dengan pengacara hari ini," ucap Wilona terlihat bingung.
"Ya, Saya yang mengundangnya untuk datang. Suruh dia masuk!" ucap Nio.
"Oh begitu. Baik, Saya permisi," ucap Wilona dan keluar dari ruangan Nio.
Tak lama kemudian, pengacara Haris yang tak lain adalah pengacara yang menemani Allena saat di Kantor Polisi kemarin memasuki ruangan Nio. Nio menjabat tangan Haris ketika tangan itu terulur ke hadapannya.
"Selamat pagi, Tuan. Apa yang membuat Anda meminta Saya untuk datang ke sini? Apa ada yang bisa Saya bantu?" tanya Haris terlihat bingung.
Sebelumnya, atau tepatnya saat Nio menunggu Allena bersiap, Nio sempat menghubungi pengacara Haris. Ya, dia memiliki kontak pengacara Haris. Dia bahkan mengenal Haris. Karena itu saat kemarin di Kantor Polisi, Nio sedikit terkejut saat melihat Haris lah yang menjadi pengacara Allena. Nio juga meminta pengacara Haris untuk datang ke kantornya karena ada hal yang ingin dia diskusikan dengan pengacara Haris.
"Silakan duduk dulu, Tuan Haris," ucap Nio dan pengacara Haris pun duduk di sofa bersama Nio.
Tak lama Wilona kembali memasuki ruangan Nio. Dia membawa minuman untuk pengacara Haris dan Nio. Setelah meletakan minuman itu di meja, Wilona pun pergi dari ruangan Nio.
"Sebenarnya, bukan diskusi. Tapi, Saya ingin menanyakan tentang apa yang terjadi pada Istri Saya kemarin. Dia tak memberitahu Saya, Saya pikir dia mungkin khawatir Saya akan marah. Tapi, Saya justru mengkhawatirkannya, dan Anda pasti bisa memberitahu Saya 'kan?" ucap Nio.
Pengacara Haris terdiam sejenak. Dia tak mungkin memberitahu Nio meskipun Nio adalah suami Allena. Pasalnya, Allena sudah mengingatkannya agar tak mengatakan kasus sebenarnya dan meminta dirinya hanya mengatakan bahwa kemarin terjadi salah paham ketika Allena sedang bekerja, karena itu Allena sampai dibawa ke Kantor Polisi. Allena meminta Haris mengatakan seperti itu jika Nio bertanya tentang masalah kemarin padanya.
"Ini hanya kesalahpahaman, Tuan. Anda tak perlu khawatir, Saya akan mengurus kasus ini dan akan memastikan Nona Allena takan dipenjara," ucap pengacara Haris mencoba meyakinkan Nio.
"Saya percaya itu, tapi Saya ingin tahu detail masalahnya!" tegas Nio.
Pengacara Haris lagi-lagi terdiam. Apa yang harus dia katakan? Tatapan Nio langsung berubah kali ini dan terlihat tak bersahabat.
Melihat Haris hanya diam, Nio merogoh saku jasnya dan mengambil selembar kertas cek. Di kertas cek itu Nio sudah menuliskan sejumlah nominal uang.
"Katakan yang sebenarnya, dan ini hadiah untuk Anda," ucap Nio seraya meletakan dengan perlahan kertas cek itu di atas meja tepat di hadapan Haris.
Pengacara Haris melihat cek itu, di sana terlihat nominal yang besar. Memang tak heran, keluarga Sasongko adalah keluarga konglomerat, nominal yang menurutnya besar, mungkin bagaikan uang jajan bagi keluarga Sasongko. Tapi, dia tetap ragu untuk memberitahu Nio. Bagaimanapun Allena adalah kliennya. Privasi kliennya harua dia jaga sebaik mungkin, apalagi sudah ada permintaan dari Allean untuk tidak mengatakan kasus sebenarnya meski pada Nio sekalipun.
"Anda tak perlu khawatir, Saya takan mengatakan tentang ini pada istri Saya," ucap Nio mencoba meyakinkan pengacara Haris agar mau memberitahunya.
Pengacara Haris menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Saya akan mengatakannya, tetapi sebelumnya Nona Allena meminta Saya untuk tidak memberitahu tentang masalah ini pada Anda. Jadi, tolong pegang kata-kata Anda, Anda takan mengatakan tentang ini pada nona Allena," ucap pengacara.
Nio hanya diam, dia menatap pengacara Haris dengan seksama. Sepertinya dugaanya benar, Allena memang terlibat kasus yang cukup serius, karena itu Allena merasa takut memberitahunya.