webnovel

Chapter 8: Calon Istri

"A Fannan?"

Lynn tak bisa lagi menahan gejolak dalam dada. Pipinya ersemu kemerahan bagai buah persik saat harus berhadapan dengan sosok yang dikaguminya. Ashraf Fannan—Atlet pencak silat berparas manis. Pemilik satu lesung pipi yang sangat dalam.

"Sejak kapan disin---."

"Sejak tadi! Tuh dia ampe abis 2 piring nungguin lo datang!" sela ibu yang sedang lewat melayani pelannggan lainnya.

"M-maaf, A. Lagian kenapa nggak chat dulu, sih?"

"Nggak apa-apa. Aku kebetulan emang pengin makan masakan Ibu Olin." jawabnya lembut sambil tersenyum cerah menatap Ibu kandung Lynn yang langsung membuatnya tersipu.

Lynn sontak jengah melihat ekspresi ibunya yang selalu berlebihan setiap kali mendapat pujian. Terutama pria-pria muda yang tampan.

"Nggak usah senyam-senyum!" seru Lynn.

"Dih! Lo sewot amat, dah!" balas Ibu mengernyit sinis. Lalu justru melemparkan senyuman terbaiknya pada Fannan.

"Katanya kamu abis jatuh dari motor. Makanya aku sempatin kesini." ujar Fannan.

Secara reflek, Lynn melihat bekas operasi di tangan kirinya, "Ah.. iya. Udah sembuh, kok. Alhamdulillah."

"Tuh!" Fannan memberikan isyarat dengan matanya yang langsung membuat Lynn terharu.

Sebuah parcel coklat yang ada di belakang Lynn. Sebab, Fannan paling tau banyak tentang Lynn. Jika sedang dalam keadaan tertekan, coklat selalu menjadi pelipur lara.

Banyaknya pelanggan yang berdatangan, Lynn mengajak Fannan yang sudah menghabiskan 2 porsi ayam goreng itu ke taman kota. Tak jauh. Hanya berjalan sedikit melewati keramaian dan kepadatan.

Lantas keduanya duduk di ayunan yang saling bersebelahan. Melakukan beberapa obrolan pembuka setelah sekian lama tak bertemu secara langsung.

Lynn menatap langit yang warnanya masih abu mendung, "Nggak kerasa, ya. udah satu dekade sejak aku keluar dari dunia yang sangat aku impikan."

Fannan yang lebih tua dua tahun dari Lynn itu memandangnya lembut, "Nggak kerasa kalau kamu sekuat itu."

Gadis yang hobi sekali mengenakan kaos longgar itu menoleh, "Iya, kah?"

"Uhmm.. buktinya kamu masih melanjutkan hidup dengan segala kebesaran hati."

"Wah.. gue hebat banget, ya!" Lynn terkekeh.

"Kamu tau nggak? Kesuksesan yang sebenarnya bukanlah soal materi." tutur Fannan yang disambut antusiasme Lynn dalam menyimak, "Kesuksesan itu.. bilamana kita sudah bisa menerima segala ketetapan Allah dengan rasa syukur."

Lynn mengangguk-angguk paham, "Benar juga. Itu adalah fase tersulit, sih. Tapi, kenapa orang-orang selalu mengorientasikan semuanya ke materi?"

"Obsesi berlebih terhadap harta."

"Btw, A Fannan kan tahun ini udah 29, nih umurnya. Rencana ke depan apa? Mau sampai kapan ada di dunia silat?"

"Uhmm.." Fannan mengulum bibir sejenak, lalu menyambung, "Aku mau bertahan terus sampai 35 tahun, mungkin? Trus, bikin akademi pencak silat."

"Sudah ketebak! A Fannan adalah orang yang sangat terorganisir." Lynn mengacungkan ibu jarinya, "A Fannan bakal selalu jadi panutan aku dalam kehidupan. Nggak cuma di dunia silat aja."

"Emangnya kalau umur segitu, anak A Fannan udah berapa, ya?" lanjut Lynn membayangkan.

Fannan hanya tersenyum lembut menatap Lynn. Bergeming dengan bayangan penuh di benaknya. Lalu akhirnya menanggapi, "Tergantung kapan jodoh aku mau dijemput dulu."

"Atuh dijemput segera, dong!" ceplos Lynn.

"Niatnya Aa pengen jemput segera, tapi ada banyak target yang harus Aa capai. Setidaknya sampai di umur 30."

Lynn mengangguk paham, "Pasti! Seorang atlet punya target besarnya."

Kedua sudut bibir Fannan terangkat. Lubang di salah satu pipinya begitu dalam terlihat. Menatap Lynn dengan penuh, "Lynn."

"Uhmm?"

"Beberapa bulan lagi kan ada Asean Games, kamu tau aku maju untuk itu, kan?"

Lynn mengangguk, "Iya. Tau, lah!"

"Insyaa Allah, aku akan dapatkan medali emas itu untuk kamu."

Seketika Lynn tercenung cukup lama untuk mencerna seluruh kalimat yang baru saja tersemat dari bibir seniornya dulu.

"Kamu pengen, kan? Bahkan kamu sangat berambisi untuk ikut kejuaran Internasional. Tapi, kamu belum sempat mencapai itu semua." Fannan kembali menyambung, "Aku pengen mempersembahkan satu untuk kamu. Jadi, aku mau berusaha lebih keras!"

Lynn yang sangat bebal. Tak mudah menangis itu pun melelehkan juga air matanya. Tanpa permisi. Mengalir begitu lambat melewati pipinya. Entah mengapa rasanya begitu mengharukan. Ada orang yang benar-benar ingin memperjuangkannya, meski nyatanya semua itu tak perlu dilakukan.

"Kamu nangis?" kaget Fannan, lalu tergelak, "Woah.. kamu keluar tim aja nggak nangis, loh?!"

Lynn tertawa dalam tangisnya. Memukul lengan Fannan, "Makanya nggak usah kaya gitu! Aku jadi terharu, kan."

Dengan tanggap, Fannan lalu mengarhakan ibu jarinya untuk mengusap air mata di pipi Lynn. Membuat jantungnya tiba-tiba bergemuruh.

"Aku mau berterima kasih banyak sama A Fannan." tutur Lynn.

"Buat apa? Aku bahkan belum dapat medali itu."

"Nggak masalah. Dapat atau enggak itu urusan belakangan. Bahkan aku sendiri nggak mengharapkan itu, kok. Cuma, aku mau berterima kasih sama kebaikan A Fannan dan niat baik Aa buat medali itu." kata Lynn, "Yang penting nggak usah terlalu memaksa. Aa lakuin semuanya demi kebaikan aja. Jangan demi aku."

Fannan tergelak lagi, "Kamu udah mulai nasihatin Aa?"

"Ah, masa?"

Tawa keduanya membaur ke udara. Bahkan mendung yang menyelimuti atmosfer bumi perlahan memudar. Warna abu di langit berubah menjadi jingga.

***

Mama menjadi semakin semangat saat tau putra satu-satunya itu sudah memiliki calon yang diinginkannya. Mama tak perlu banyak berusaha keras mengenalkan Ale dengan banyak perempuan di sekitarnya.

"Kamu seharusnya bilang kalau udah punya calon!"

Ale memberikan satu ice americano yang tadi dibawakan Pak Adi untuk Mama. Duduk di sebelahnya, "Ale masih bingung aja. Takut Mama nggak srek."

Mama terkekeh, "Mama apa pernah neko-neko, sih, sayang? Kalau kamu 'klik' Alhamdulillah."

"Kan biasanya para ibu punya kriterianya sendiri."

"Lah? yang nikah kamu apa Mama? Lagian yang namanya manusia nggak ada yang sempurna. Santai aja, lah. Toh, kamu anaknya nggak macam-macam, kamu pasti pilih istri juga yang baik-baik, dong."

"Mama percaya sama Ale?" Ale menatap ibunya begitu dalam.

Mama mengangguk yakin, "Percaya!"

Ale menghirup aroma kopi sejenak untuk membuat suasana lebih tenang dan membayang sosok Lynn di benaknya. Jika dipikir-pikir, Lynn adalah anak pekerja keras yang sangat mecnintai keluarganya. Walaupun hanya untuk satu tahun kedepan, sepertinya dia tetap memberikan kesan yang baik dengan segala keunikan yang dia punya.

Dari pada Ale harus mencari yang lain. Sepertinya Lynn memang tidak buruk.

"Kapan mau bawa dia ke Mama?"

"Uhmm?!" Ale agak kaget.

"Meskipun Mama percaya sama kamu. Tapi kan harus dikenalkan juga."

Mata teduh pria itu berkedut. Banyak pikiran menggelayut. Semua terasa sangat acak. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan meyakinkan ibunya bahwa akan segera mengenalkan calon istrinya itu.

***

"Nih, novel-novel tentang kawin kontrak. Kebetulan gue cuma punya tiga doang." kata Fira memberikan satu paper bag.

"Wah.. thanks." Lynn menerimanya.

Sementara Fira memberikan tatapan curiga sambil membenahi tote bag di bahu sebelum berangkat kerja, "Seorang Fathima Lynne baca buku? Apa gue nggak salah?"

"Eyy! Gue penasaran kenapa orang-orang pada suka baca novel." jawabnya asal.

"Tapi kenapa harus tentang kawin kontrak?" pertanyaan Fira sempat membuat Lynn nyaris saja mengeluarkan bunyi ceguk dari kerongkongan, "Lo mau kawin kontrak?"

Bug!

"Akh!" Fira langsung mengusap lengannya yang terkena pukulan, "Sakit!"

"Gila.. gila, ya, lo! Belakangan ini cerita tentang kawin kontrak itu lagi hits!" semprot Lynn, "Sono berangkat! Murid-murid lo pada nungguin!"

"Biasanya cerita-cerita kawin kontrak itu pasti akan nikah beneran!" teriak Fira sambil mengenakan helm, lantas melambaikan tangannya penuh semangat.

Lynn langsung mengusap dadanya lega setelah kawannya itu memelesatkan motornya. Menjauh pergi dari hadapan. Nyaris saja fakta itu terkuak, bahkan sebelum terjadi.

Gadis itu langsung masuk ke dalam kamar. Membaca blurb bagian belakang buku. Lalu teringat ucapan Fira tentang kebiasaan yang ada dalam kawin kontrak, yakni menikah dengan sungguh-sungguh. Ucapannya itu seoalah mengungkapkan sebuah fakta paten yang membuat Lynn terserang banyak pikiran.

"Masa, sih?" Lynn menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, "Tapi, kalaupun beneran.. Ale anak baik deh kayanya."

"Masa anak sultan nggak pernah clubbing. Nggak pernah gaul? Sholeh banget, ya." lanjutnya membaca apa yang terlihat dari Ale, "Lagi... dari dulu dia juga baik, kok."

Pikiran membawanya berkelana ke masa lalu. Mendarat di saat umurnya masih 17 tahun. Selepas kejadiannya dikeluarkan dari sekolah, Ale seolah menjadi benteng kehidupannya.

"Pak, Tolong jangan keluarkan Lynn dari sekolah. Lynn nggak sepenuhnya salah! Saya liat semuanya kalau Lynn yang pertama diganggu Adit. Adit mengolok-olok Lynn yang bau kotoran ayam karena Lynn anak peternak ayam. Lynn nggak terima kalau orang tuanya diolok-olok, Pak!"

Lyn menatap langit-langit kamarnya yang warnanya sudah pudar bercampur jamur, lalu sedikit mengulas senyum yang tertahan setelah ingatan itu menghampiri.

"Waktu itu Ale keren banget sumpah!" ungkapnya mengingat Ale yang membelanya dengan lantang.

"Lynn!!!"

Suara ketukan pintu berulang itu menghancurkan angan-angan yang sedang berbaris rapi dalam benaknya. Lynn langsung membuka pintu.

"Kenapa Ayah?"

"I-itu... calon suamimu datang!"

Lynn menyipitkan mata, lalu bergumam dalam hati, "Hah?! Ale? Ngapain?"

Ia segera mengekor sang ayah menuju ruang tamu. Menemukan Ale dengan gaya khasnya yang selalu elegan sedang berhadapan dengan Ibu.

"Oh, Lynn!" sadar Ale saat Lynn datang dan duduk di sebelah Ibu dengan wajah kikuk. "Jadi, kedatangan saya kesini mau berkenalan lebih jauh dengan putri sulung Om dan Tante."

Lynn menaikkan satu alis saat mendengarkan penuturan Ale yang cukup formal. Berusaha masuk untuk lebih dekat. Rasanya sangat abstrak. Lynn tak pernah ada pengalaman didatangi pria manapun sebelumnya.