webnovel

Chapter 1: Chickentory

"Hah?! L-lo gila?!" pekik Lynn.

Tampak kerutan di kening. sebagai salah satu tanda bahwa dirinya butuh penjelasan sekaligus memberontak. Ia masih mengenakan pakaian pasien lengkap. Dahinya juga masih terdapat plester, serta masih duduk di atas kursi roda.

"Kenapa gila? Gue ngajak lo nikah." tandas pria rupawan itu santai.

"Kita baru ketemu setelah hampir satu dekade, trus lo ngajak nikah? Apa karena gue viral di toktok?" Lynn tak habis pikir, "Apa alasan lo mau nikah ama gue?"

"Pengen nikah aja, karena ibadah. Lagian lo bukan orang asing walaupun kita jarang ketemu."

"Nggak!"

"Oke.. gue tentuin tanggalnya."

Lynn terbelalak, "Ale!"

Ale menaikkan satu alis, "Lo bilang mau ngelakuin apa aja buat gue."

Lynn meneguk salivanya kasar, "Apa harus sampai sejauh itu? Lagian lo bikan tipe gue. OMG!"

"Cuma setahun, gimana?" tawar Ale dengan tatapan penuh penekanan.

"Apa?!" gadis berambut sebahu dengan poni tipis itu masih belum bisa mencerna ide gilannya, "Maksud lo kawin kontrak?"

"Tadinya nggak sampai kepikiran kaya gitu. Karena lo ngotot dan ribet, gimana kalau buat kontrak aja."

Lynn dibuat tak bisa berkata-kata. Rasa terimakasih yang cukup besar membuatnya goyah. Sebuah penawaran yang semakin menjebaknya saat Ale memberikan penekanan bahwa apa yang mereka lakukan adalah simbiosis mutualisme. Dimana masing-masing saling diuntungkan.

Ale menyodorkan kartu namanya, "Datang ke kantor gue setelah selesai perawatan untuk teken kontrak." tutup pria itu sambil mengedipkan satu matanya sebelum beranjak.

Mulut Lynn masih menganga lebar. Matanya sukar untuk berkedip, "Apa-apaan ini? teken kontrak?"

Kemudian menatap sebuah kartu nama yang ada di tangannya. Ale Omar--CEO of Marion Hotel.

Dengan langkah yang berat, tepat seminggu setelah Lynn keluar dari rumah sakit, ia berpakaian sangat rapi dan anggun. Berbanding terbalik dengan kebiasannya yang bebas.

Ia berhadapan dengan Ale di sebuah ruangan. Sambil membaca seluruh kontrak dengan seksama. Sempat menatap pria tampan pemilik mata teduh itu sinis, lalu membubuhi tanda tangannya di atas materai.

"Setahun doang, loh, ya!"

"Uhmm.. tenang aja."

***

Seminggu sebelumnya.

Dari belakang, tampak dua tangan mengikat erat rambut sebahu itu dengan scrunchie. Gerakan itu menafsirkan semangat membara yang sedang mengaliri tubuh perempuan tersebut. Mengenakan kaos kebesaran warna abu yang sudah lusuh.

Sepatu boots karet. Sapu tangan karet dan celemek.

Tangan mungilnya itu meraih satu benda tajam. Sebuah pisau besar yang langsung diasahnya di atas batu khusus. Menimbulkan suara gesekan yang cukup menyeramkan. Bahkan orang-orang di kawasan pasar yang sedang berlalu-lalang saling bergidik ngeri.

Mungkinkah?

Psychopath?

Ey.. yang benar saja.

"Neng!"

"Oh, Kang Ajam!" seru gadis berambut sebahu itu kegirangan saat kedatangan seorang pria berumur.

Kang Ajam lantas menyipitkan mata, "I-itu.. pisaunya bisa diturunin dulu, nggak?"

"Ah?!"

Gadis pemilik kulit kuning langsat itu tersentak saat menyadari pisau berukuran besar itu masih dalam genggaman dan mengarahkannya pada Kang Ajam. Ia segera meletakkannya.

"M-maaf, Kang!"

Kang Ajam menoleh ke berbagai sudut, "Orang-orang pendatang di pasar ini pasti bakal ngira kamu preman!"

Ia terkekeh, "Iya, deh.. iya.. mau berapa kilo ini?"

"Biasa. ambil 10. Potongin kaya biasanya, ya, Neng Lynn."

Gadis itu berteriak penuh semangat, "Siap!"

Tangan mungil gadis bernama Lynn itu sama sekali tak boleh disepelekan. Tenaganya sangat besar untuk memotong ayam yang sudah terbeleh, semula dalam keadaan utuh, menjadi beberapa bagian.

Lynn memotong dengan sangat cekatan. Bahkan tak sedikit orang-orang yang hanya datang menyaksikan cara gadis itu memotong bagian-bagian ayam. Beberapa dari mereka juga merekam aksi tak biasa bagi seorang perempuan cantik sepertinya.

"Nih, Kang!" Lynn memberikan potongan-potongan ayam yang sudah dimasukkan ke dalam plastik pada Kang Ajam.

Setelah menerima lembaran uang dari Kang Ajam yang merupakan pelanggan tetap di kedai Chickentory, Lynn langsung menarik perhatian para pembelanja lainnya di sekitar sana.

Senyumanya secerah matahari di pagi hari, "Yukk.. Ayuk.. ibu, bapak.. masa ngeliatin doang? Beli, dong?!"

"Daging Ayam sekilo 39.000 aja!" sambungnya berteriak penuh semangat. Lalu melakukan aksinya memotong-motong ayam bak atraksi sirkus.

Dengan keunikannya dalam berdagang membuat para pengunjung pasar yang semula tak berniat membeli ayam, justru berhamburan mendatangi gerai ayam potong milik Lynn. Sangat padat dan penuh antrian.

Lynn sendiri juga sangat ramah. Seoalh sudah mengenali semua pembelinya. Padahal tidak juga. Ia hanya suka sekali bergaul dengan banyak orang. Pun keadaan seperti ini membuat sang ayah yang kini sedang mendorong beberapa boks berisikan ayam yang baru saja disembelih itu tersenyum penuh haru.

Tak menyangka bilamana putri sulungnya itu mampu mendatangkan rejeki yang cukup. Gerai ayam yang tadinya hanya biasa-biasa saja. Mendadak ramai selama dipegang oleh Lynn. Kini, ayah hanya perlu fokus pada proses perkembangan ayam-ayam di peternakan rumah.

"Lynn pembawa untung!" ceplos salah satu pedagang dalam kelompoknya sambil menyaksikan gerai ayam yang paling ramai di Pasar Balai Ramai. "Apa keluarga mereka pakai pelaris."

"Woii! Atuh nggak boleh suudzon!" timpa yang lain.

"Iya, ih! Keluarga baik-baik mereka, mah."

Salah satu pedagang baru ikut menyambung, "Kok cantik-cantik mau jualan ayam? apa nggak takut bau. Ngomong-ngomong, sejak kapan neng geulis itu dagang?"

"Lynn dagang udah lama, nya? mungkin sekitar.. uhmm.. lebih dari 5 tahun lalu."

"Sejak lulus SMA ceunah."

Lynn meregangkan seluruh persendiannya yang menegang akibat banyak bekerja keras sejak subuh. Dan di siang hari, ayam-ayamnya telah ludes. Tak tersisa, bahkan sampai jeroannya sekalipun. Saatnya pulang ke rumah bersama motor butut yang dipasang keranjang untuk membawa ayam-ayam.

***

"Kita sudah masuk Bogor, Mas." ucap Pak Adi saat berada di lampu merah. menghentikan laju mobil.

Tak langsung mendengar respon dari tuannya, Pak Adi sedikit menelongok ke sebuah spion di dalam mobil. Menampilkan hidung mancung, kulit putih bersih. Mata yang indah.

Pria rupawan berbalut kemeja strip dan celana hitam serta sneaker putih itu hanya menatap kaca mobil dalam keheningan. Sepertinya pikiran sedang membara.

"Mas Ale." panggil Pak Adi.

"O-oh.. iya, Pak?" kagetnya. "Udah sampai Bogor?"

"Iya, Mas."

Selanjutnya Ale mendadak terperanjat saat Pak Adi mendadak memijak rem mendadak. Dan terdengar suara benturan di luar sana yang cukup keras. Ale agak panik.

"I-itu mobil kita?"

"Bukan, Mas. Mobil depan kita." jelas Pak Adi.

Barulah Ale berani membuka matanya. Menengok sedikit ke kaca untuk memastikan apa yang sedang terjadi. Ternyata ada sebuah motor yang kehilangan kendali di tengah keramaian perempatan jalan. Motor lawas yang terpasang keranjang berlapis anyaman di dua sisi belakang. Namun, yang membuat semua tercengang adalah, pengemdi motor yang terjatuh itu adalah seorang perempuan.

Rasa simpati pria itu menggebu. Ia segera turun dari mobil yang sedang dalam keadaan macet bahkan tanpa berucap pada Pak Adi.

"Jangan! Jangan diangkat!" seru Ale pada warga yang hendak mengangkat perempuan yang terluka.

"Gimana, sih? Masa dibiarkan aja?"

Ale mengeluarkan ponsel dari saku, memastikan lagi pada para warga disana, "Sudah ada yang menghubungi ambulans?" Menyadari tak adanya respon tanggap dari mereka. dengan cekatan, Ale menelepon ambulans darurat."

"Ya udah ini kita bawa ke pinggir toko dulu." kata warga lain.

"Jangan! Kita nggak tau apa yang dia alami. Nanti kalau salah-salah, kita mengenai bagian luka yang tak terlihat, gimana? apa tidak lebih membahayakan?" tegas Ale menjelaskan yang pada akhirnya membuat warga perlahan mengerti. Walau tak sepenuhnya. "Kecuali kalau ada diantara kita semua yang merupakan tenaga medis." lanjutnya.

Ale menarik bagian atas celananya agar lebih nyaman untuk berjongkok. Menjangkau perempuan korban kecelakaan tersebut yang sedang merintih kesakitan.

"Tahan dulu, ya, Teh.. sebentar lagi ambulans dat---." Ale mendadak menghentikan kalimatnya saat mendapati persis wajah gadis yang tetap bersinar walau sedang terluka, "---Lynn?"

Bahkan saat namanya disebut, gadis itu hanya bisa menaikkan satu alis. Antara kesakitan dan berusaha menerka siapa pria rupawan di hadapannya.