webnovel

21. Chapter 21: Lamaran

Ale menghempaskan peluh di sekitar kening dengan tangannya setelah menggali beberapa senti meter. Tampak sebuah lubang yang tak begitu besar menganga di atas tanah.

"Buruan, masukkin kontrak kita!" kata Ale.

Lynn menoleh ke berbagai arah untuk memastikan, "Ribet banget! Kenapa juga harus disini? Bisa di brankas atau di halaman rumah lo kan kalau lo mau."

"Bawel! Cepetan!"

Lynn tak punya pilihan lain. Ia meletakkan dua map tebal berisi kontrak pernikahan yang mereka buat bersama. Lalu Ale menutup tanahnya kembali dengan sekop mainan anak-anak.

Ingin rasanya memperotes ide tak berbobot milik seorang pimpinan perusahaan besar itu. Tapi entah mengapa, Lynn tak punya kata-kata. Hanya berakhir menatap Ale. Selanjutnya beralih ke pohon besar yang masih kokoh berdiri di halaman SMA mereka.

"Akh!" seru Ale setelah menutup kembali lubang tersebut.

Kemudian ikut menatap phon rindang penuh kenangan di masa lalu itu. Pria itu tersenyum lembut.

"Lo pasti bingung, kenapa kontrak kita harus dikubur disini."

Lynn menoleh, "Gue tau ini minggu. Nggak ada orang selain penjaga. Tapi, apa harus disini, sih?"

Ale terkekeh kecil, "Gue pengen pohon itu menjadi saksi."

"Saksi apaan? Cuma pura-pura doang, segala pakai saksi."

"Tapi gue sungguh-sungguh dengan janji-janji yang gue tulis." kata Ale menatap Lynn lekat. Membuat gadis itu tak bisa berkata-kata. "Biar pohon yang pernah mendekatkan kita ini menjadi saksi kalau gue beneran akan menepati janji-janji gue."

Lynn tercenung. Tatapan Ale membuatnya luluh. Tampak sebuah keseriusan berbalut ketersiratan. Entah apa yang membuat Ale merasa pohon itu begitu berarti dan mengambil banyak filosofi.

Terlalu banyak pertanyaan. Lynn memilih untuk bergeming dan mengikuti apa saja yang Ale lakukan.

***

Sebuah pashmina berwarna coklat susu telah di pasang di bahu mungil Lynn usai seluruh make up terpoles cantik di wajahnya. Lynn tampak anggun sekali. Bahkan penampilannya seolah menenggelamkan karakter asli perempuan 27 tahun itu.

Rambut sebahunya itu menjadi semakin manis dan segar dengan gaya half updo hair yang simpel. Lalu dihias dengan headpiece ukiran bunga. Sederhana, namun tetap menawan.

Hari ini acara khitbah atau lamaran akan digelar di halaman cantik hotel mewah milik keluarga Ale di kawasan puncak. Hiasan bunga serba putih keemasan juga telah terpasang rapi. Para orang tua juga sangat antusias untuk acara putra-putri kesayangan mereka.

Lynn menatap wajahnya yang lebih cantik berkali-kali lipat itu di depan cermin. Tangannya dingin dan bergetar. Ia tak percaya jika akan melalui semua ini hanya demi keluarganya. Dan ia juga masih belum mempercayai keadaan yang menyatakan bahwa dirinya akhirnya menikah. Meski hanya pura-pura. Rasanya ingin sekali berlari. Tapi, itu mustahil.

Lynn menghempaskan napas dan mengembuskannya perlahan. Memantapkan diri untuk keputusan yang diambil.

"Neng!"

Lynn buru-buru menoleh ke arah sang empu yang baru saja memasuki bilik. Ia bisa melihat jelas betapa bersemangatnya Ibu.

"Ayo, buruan kedepan! Sebentar lagi acara dimulai."

Lynn mengangguk seadanya.

Ibu menangkup wajah putri sulungnya yang masih duduk di kursi rias, "Anak Ibu geulis pisan."

"Ini baru pertama kalinya seumur hidup dengar Ibu muji Aku."

Lantas mata Ibu membelalak. Bulat. Satu tangan mulai mengayun.

"Eits!" Lynn melindungi diri, "Jangan bilang Ibu mau mukul."

Khmm.. Ibu berdeham. Lalu tersenyum canggung. Mengusap kepala Lynn dengan sangat lembut, "Ngapain Ibu mukul anak Ibu yang cantik."

Lynn mengernyit. Ingin sekali menjeluak melihat cara Ibu yang sok manis itu. Tampak menyebalkan. Pada akhirnya Lynn bangkit, bersiap menuju tempat pelaksanaan.

"Teh Lynn!"

Seseorang betpakaian kemeja rapi itu membuka masuk ke tempat rias. Sempat membuat Ibu dan Lynn sama terkejutnya.

"Ini.. acara ditunda setengah jam." terangnya.

"Setengah jam?!" kaget Ibu dan Lynn kompak yang dihadiahi anggukan salah satu staf wedding organizer.

"Kenapa, ya?" tanya Lynn penasaran. Agak janggal. Apa asalannya? Toh, seluruh keluarga inti sudah disatukan di hotel sejak kemarin.

"Kak Ale yang minta untuk tunggu sebentar."

Ibu tertawa heboh. Sempat membuat Lynn menahan malu, "Itu masuk akal. Pasti lagi mempersiapkan mental."

"Atau mau bikin kejutan?" lanjut Ibu mengdepikan sebelah matanya.

Mungkin hal tersebut bisa saja terjadi. Tapi Lynn merasa aneh. Ia mengais hipotesa bersama kening yang berkerut. Yang Lynn kenal, Ale adalah orang yang sangat disiplin. Dia juga tidak mungkin repot-repot membuat kejutan untuk kepura-puraan ini.

***

Pak Adi tampak gelisah. Kakinya berdecak-decak. Sesekali menengok ke arah arloji yang berada di pergelangan tangan kirinya. Kemudian menatap sebuah pintu yang tertutup di sampingnya.

"Mas Ale! 15 menit lagi!" teriaknya tanpa tau apa yang sedang terjadi di dalam.

Mama Maryam datang cukup panik, "Ale mau mempersiapkan apa, Pak?"

"Kurang tau, Bu. Katanya Mas Ale mau latihan."

Mama mendelik curiga, "Mau latihan apa? Dia juga udah latihan dari kemarin. Lagian ini juga bukan Akad."

"Kita tunggu aja, Bu. Bahkan laki-laki yang biasa presentasi seperti Mas Ale juga pasti gugup dengan acara sakral ini."

Mama sudah mulai cukup tenang dan meminta Pak Adi untuk terus mengawasi Ale.

Tak ada yang pernah tau bahwa Ale sedang kesakitan. Pria tampan itu sudah mengenakan pakaian yang dirancang khusus untuk acara lamaran dalam posisi tersungkur di atas lantai kamar mandi yang kering. Pening maha dahsyat telah menguasi tubuhnya hingga ia kejang. Ia juga menjeluak. Mengeluarkan apa saja yang ada dalam lambungnya ke closet.

Napasnya tersendat. Sangat berat. Kini, ia hanya bisa terduduk lemas. Bersandar di dinding kamar mandi. Air matanya menetes secara perlahan melewati pipi. Terdiam menahan sakit yang luar biasa. Ia benar-benar tak berdaya.

"Mas, 10 menit lagi!"

Teriakan Pak Adi dari luar membuatnya semakin tertekan. Tangisnya semakin pecah. Tak tertahan.

"Kenapa harus sekarang?" Ale bertanya-tanya disela tangis. "Apa prediksi dokter berjalan lebih cepat?"

Ale menggeleng bersama air mata yang terus bercucuran. Wajahnya menjadi semakin pucat. Bibirnya mulai memutih. Selama ini ia terlalu fokus pada kata-kata 'Setahun'. Padahal, kematiannya bisa saja lebih cepat terjadi dari prediksi dokter.

"Mas? Are you ok? 5 menit lagi, lo."

Ale mengangkat kepala. Tangisnya terhenti. Ia sedang berusaha untuk mengembalikan kemungkinan lain. Ia mencari pegangan untuk membantunya bangkit meski dengan sempoyongan.

"Nggak! Jangan sekarang!" Ale bangkit perlahan, walau masih terasa pening dan berat, "Aku harus menepati janji pada Lynn."

***

Para keluarga inti yang berada di tempat diselenggarakannya aacara khitbah itu sudah mulai bertanya-tanya kapan acara dimulai. Semua menjadi gelisah saat Ale tak kunjung datang. Bahkan Mama Maryam kembali ke dalam hotel untuk memastikan sang anak.

Pun Lynn tak kalah gelisahnya. Banyak pikiran yang berkeliaran di kepalanya. Ia sudah berkeringat dingin. Mungkinkah Ale membatalkan semua ini secara sepihak? Kenapa? Lalu jika tidak, apa yang sedang dilakukannya? Satu menit lagi acara akan dimulai.

"Ale datang!"

Semua menoleh ke belakang, termasuk Lynn.

Dengan pendampingan sang Mama, Ale datang. melangkah dengan tegap dan berwibawa dalam balutan kemeja putih dan celana cream. Wajahnya tampak segar. Senyumnya menawan. Ia bak seorang pangeran dari Negeri Dongeng.

Lynn menghempaskan napasnya lega saat Ale benar-benar datang. Begitu juga dengan tamu undangan yang lain. Tanpa tau apa yang Ale lewati sebelumnya.

Pria itu bahkan tampak baik-baik saja dan bersemangat. Seolah tak ada yang terjadi.