webnovel

19. Sebar Undangan

Di akhir hari yang melelahkan, Fannan turun dari mobil seusai memarkirkan di halaman rumah pribadinya yang bergaya minimalis dan tanpa pagar. Kemudian turun membawa satu ransel berisikan perkakas silat.

Bahkan Fannan masih mengenakan pakaian serba hitam khas dari tradisi pencak silat yang merupakan simbol dari kebesaran seorang pendekar. Baju pangsi dan celana komprang. Gurat rona wajahnya tampak penuh peluh. Ia telah berlatih sangat keras demi menyambut pagelaran olahraga yang sebentar lagi diadakan.

Pun pekan depan, ia sudah mulai di karantina.

Meskipun sudah cukup berusia matang, Fannan tetap dimajukan sebagai perwakilan Indonesia dan hendak pensiun dalam beberapa waktu ke depan.

Satu pandangan menghentikan langkahnya saat berada tepat di depan pintu rumah. Fannan meraih sebuah benda yang tergeletak disana. Matanya bergetar memandangi sebuah undangan berdesain elegan.

The Wedding of Ale & Lynn.

Begitu lah yang terpampang di bagian terdepannya.

Belum sempat Fannan membuka bagian dalamnya, ia sudah malas. Bahkan terkekeh. Meremehkan semua yang sudah direncanakan keduanya sampai bertindak sejauh ini. Membuat pernikahan itu seolah nyata.

"Mereka berani banget main-main?" racaunya tak habis pikir. Lantas menatap langit-langit sembari menghempaskan napasnya perlahan, "Sebenarnya apa yang mereka rencanakan."

Detik selanjutnya Fannan membuka kunci rumah. Masuk ke dalam seraya menyalakan lampu. Sepi menyambut. Begitulah. Fannan memang tinggal seorang diri. Sementara orang tuanya lebih tenang tinggal di puncak bersama hewan-hewan ternaknya tuk menikmati masa tua.

Usai melakukan ritual bersih-bersih, kini wajah manisnya jauh lebih bercahaya. Sudah lengkap memakai pakaian harian yang membuatnya terlihat segar. Membawa undangan yang belum sempat dibukanya ke atas ranjang.

Hanya asal meletakkan, lalu justru memilih untuk mengambil gawai. Memeriksa beberapa pesan yang masuk. Dan pesan singkat dari Lynn adalah yang paling membuatnya antusias. Meski kenyataannya perempuan itu telah menorehkan kekecewaan, masih banyak rasa yang tersisa.

From: Lynn

'A, Punten kalau Aa kecewa sama aku. Maaf banget.. seharusnya aku nggak ngejegal Aa juga. Aku masih belum bisa memperbaiki emosi kalau sudah kelepasan. Tapi, A.. ini nggak seburuk yang Aa bayangin. Aku dan Ale punya alasan yang sama besarnya dengan hidup kita.

Maaf, aku nggak bisa jelasin. Aku nggak mau ada campur tangan orang lain.

Aku cuma mau minta doa supaya pernikahan ini berjalan dengan lancar. Entah untuk satu tahun, atau justru selamanya. Kita nggak pernah tau doa dari siapa yang Allah kabulkan lebih dahulu.

Aku juga mau berterima kasih dengan kebaikan A Fannan selama ini. Aku pun nggak bisa balas. Terima kasih sudah menjadi kakak, pendamping dan bahkan orang yang pernah kukagumi dalam kesunyian selama puluhan tahun. Semoga Aa sukses di Asean Games dan juga segala yang Aa impikan.

Undangan ini menandakan keseriusanku sama Ale. Jangan khawatir! Ini nggak seperti yang Aa bayangin. Lagi, aku nggak memaksa Aa datang. Itu kembali ke A Fannan sendiri, karena Aa pasti kecewa sama aku.'

Embusan napas Fannan melena begitu bertenaga. Embun yang dihasilkan menggambarkan betapa abstrak pikirannya. Termenung ia dalam hening. Ruang-ruang dalam dunianya mendadak pengap. Antara sedih, khawatir, kecewa dan menyesal. Semua sedang bercampur aduk. Tak beraturan. Seperti benang kusut yang tak kunjung terurai.

"Apa aku terlambat?" ucapnya dengan tatapan kosong, "Apa jika aku melamarnya sejak lama, bisa menyelamatkan Lynn dari permainan yang entah apa ini?"

Fannan mengusap kepalanya penuh penekanan. Pikirannya sedang melanglang buana. Ia sedang membayangkan apa yang terjadi bila dirinya bertindak lebih cepat. Tapi, nyatanya keterlambatan meninggalkan sesal yang cukup dalam dan menyakitkan.

Tak hanya merasa sakit saat orang yang dicintainya itu harus menggandeng orang lain. Lebih dari itu. Yang Fannan cintai justru sedang berada dalam sebuah lingkaran permainan. Meski ia tak tau apa rencana Ale dan Lynn, yang jelas, kekhawatiran bercampur semua rasa khawatir sedang membelenggu.

Fannan menatap sebuah figura yang terpampang di dinding kamar. Tampak ia dan Lynn sedang berfoto bersama usai kompetisi. Kedekatan mereka, semua tinggal kenangan saat menyadari fakta bahwa yang kenal lebih lama, belum tentu bisa memiliki.

"Kenapa aku juga baru tau kalau kamu suka sama aku? Dan ternyata kita sama-sama saling suka." ucapnya lirih menatap foto tersebut, lalu terkekeh, "Padahal aku ingin menikahi kamu dalam waktu dekat."

Fannan tak hanya punya cinta. Fannan juga punya cita. Ia bahkan sudah berniat menikahi Lynn usai pensiun. Dengan begitu, ia bisa membangun akademi pencak silat bersama dengan Lynn yang juga sempat kehilangan impiannya agar sama-sama memberikan kesempatan untuk penerus bangsa.

Tapi, takdir punya cerita lain.

"Akhh!" keluhnya. Lantas tak sengaja menyentuh sebuah benda di sampingnya.

Fannan meraih undangan yang tergeletak. Membuka plastik bagian luar dan tampak sepucuk kertas terjatuh saat dirinya hendak membuka bagian tengah. Keningnya berkerut saat membaca sebuah tulisan tangan yang terlihat sangat rapi.

'Ternyata lo sedekat itu ya sama Lynn. Dan itu wajar kalau lo emang sekhawatir itu sama dia. Tapi gue janji akan bahagiakan dia. Dan soal kontrak yang tertulis, itu adalah perjanjian kita setidaknya dalam satu tahun. Untuk selanjutnya terserah Allah. Yang jelas kita sama-sama punya sesuatu yang harus diperjuangkan bersama.

Sekali lagi, gue akan bahagiakan Lynn. Gue nggak akan mungkin menjebak dia, karena gue benar-benar cinta sama Lynn.' Ale.

Alis Fannan menyatu selepas membaca untaian demi untaian yang Ale tuliskan secara langsung. Ia benar-benar tidak mengerti dengan rencana mereka dan bahkan kontrak setahun itu membuatnya terlampau cemas.

Namun, saat mendapati kata-kata bahwa Ale benar mencintai Lynn, itu membuatnya bergetar. Ada setitik rasa lega. Setidaknya untuk nasib kehidupan Lynn.

Tanpa ada yang tau, Ale diam-diam sengaja menyelipkan tulisan tangannya sebelum Lynn memberikan undangannya pada Fannan.

***

Prof. Dr. dr. Syafiq Kurniawan Assegaf, Sp.N, Ph.D.

"Waah.. Maasyaa Allah!"

Tampak gurat rona bahagia terpancar jelas dari dokter berambut abu-abu dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu saat membuka undangan pemberian Ale. Senyumnya benar-benar terukir luas.

Ale yang berada di hadapannya tampak tersenyum apa adanya.

Pria tampan nan rupawan itu mengunjungi sebuah ruangan elit di salah satu rumah sakit yang kebetulan tempat Lynn pernah dilakukan perawatan disana beberapa bulan lalu.

"Saya ikut senang dan berbahagia, Mas Ale." ungkap sang dokter penuh syukur. Bahkan sampai menggenggam tangannya erat.

Ale tersenyum tipis, "Tapi, kalau saya jadi dokter, saya nggak tau harus senang atau sedih."

Kalimat itu membuat Dokter Syafiq memudarkan senyumnya secara perlahan. Menjauhkan tangannya. Begitu terkejut dengan spontanitas Ale.

"Apa Mas Ale benar-benar seputus-asa itu?" Kini raut wajahnya menjadi semakin berkerut pedih.

"Dokter sendiri kan yang bilang kalau saya hanya bisa bertahan setahun lagi." kata Ale tak terbebani dengan kalimat sakral itu. Bahkan ia masih terkekeh.

Dokter Syafiq memperbaiki posisi duduknya sejenak sebelum melanjutkan kalimat, "Mas Ale.. saya pun hanya mengatakan itu dari sisi medis. Tetapi kita punya Allah. Keajaiban apapun bisa terjadi."

"Nyata, Mas!" tegas Dokter Syafiq menguatkan Ale, "Banyak juga kejadian seperti itu."

Ale mengangguk santai, "Bahkan saya masih berumur sampai sekarang juga sudah menjadi keajaiban dari tiket emas yang Allah kasih untuk saya. Tapi, bukankah tiket emas itu belum tentu membuat kita sampai ke garis akhir."

"Garis akhir dunia dari setiap manusia adalah kematian. Tapi, apabila kita berikhtiyar, tak ada salahnya. Allah suka Hamba-Nya berikhtiyar." Sang Dokter tak pernah lelah memberikan penyemangat, "Pengobatan Mas Ale di Amerika juga sudah cukup baik, bukan? Dengan ikhtiyar itu, Allah berikan kesempatan emas sampai sekarang."

Ale tampak tercenung. Lalu tersenyum, "Dok.. saya merasa sudah banyak berikhtiyar sejak dulu, sehingga bisa bertahan sampai sekarang. Tapi saya lelah. Lelah, Dok. Pertumbuhan kanker pada ahirnya memang melambat, tapi saya sudah banyak lelah hidup seperti ini."

Ia menarik satu napasnya pelan sebelum melanjutkan kalimatnya, "—dan ada saatnya kita benar-benar berserah. Sudah satu dekade saya hidup dengan dihantui kematian. Hidup berdampingan dengan obat."

"Setidaknya saya ingin mendapatkan setahun terakhir yang baik. Yang berharga." lanjutnya membanyang kehidupan yang abu.

Ale lantas menatap Dokter Syafiq lebih tenang dan yakin, "Terima kasih untuk 10 tahun yang berharga ini. Terima kasih untuk semua kebaikan dokter merawat saya."