webnovel

Sekretaris Willona

Willona Adara Paramadhita—perempuan cantik bertalenta dengan otak cerdas. Ia harus mendapati perusahaan keluarganya bangkrut dan memaksa dirinya untuk menjadi seorang sekretaris dari Kenan Argadinatha—Argants Contructions Corporation. Sudah dua tahun lamanya Willona menjadi sekretaris Kenan menghadapi sikap dingin, angkuh, dan tak berperikemanusiaan memberinya lembur setiap malam. Lalu apa yang membuat Willona bertahan? Gaji besar! Jelas. Orang buta pun tahu jika seorang Kenan tak akan memberi gaji kecil kepada siapa pun yang berada di lingkup kerjanya. Dan hal inilah yang membuat Willona bertahan hingga detik ini. Namun, suatu malam mengubah segalanya. Willona harus menghadapi pernikahan mendadak dari keluarganya hanya karena sebuah janji. Terpaksa, hanya itulah kata keluar dari mulutnya untuk mengiyakan. Willona tidak menyangka seseorang yang telah menjadi suaminya adalah bossnya sendiri. Dan hal itu yang membuat Willona membrontak dalam hati karena mendapati Kenan bukanlah lelaki single. Dia mempunyai kekasih. Lalu, apa yang akan dilakukan Willona? Memilih bercerai atau tetap mempertahan pernikahan dengan menahan sesak di hati?

SenyaSSM · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
18 Chs

Tanpa Dosa

"Jangan mengada-ngada, Pak Renan. Bagaimana mungkin aku bisa melakukannya. Aku sibuk."

Willona mendorong gelas bening yang disodorkan padanya. Ia kembali berjalan, tak memperdulikan permohonan dari Renan yang memang tidak bisa Willona lakukan.

"Tu-tunggu dulu, Nyonya Muda." Renan mencegah dengan nada terbata.

"Apalagi, Pak Renan? Minggir, aku mau ambil minum." Willona berucap dengan nada menekan berharap lelaki yang ada di hadapannya paham akan keputusan darinya.

Akan tetapi, Renan justru masih berdiri di depan Willona dengan dua tangan melebar di kedua sisi tubuh.

Willona menarik napas, mencoba mengulas setengah senyum terpaksanya. Ia ingin memberikan pengertian sekali lagi agar Renan paham, dirinya tak bisa melakukan tugas berbahaya itu.

"Seperti ini, Pak Renan. Aku tidak bisa menemani Kakek menonton drama, karena aku tidak suka. Tugas kantorku masih banyak, apalagi bayi besarku belum kuberi jatah. Bagaimana dong?"

Renan menggaruk kepala belakangnya canggung dengan satu alis terangkat mendengar jawaban dari sang nyonya.

"Se-sebentar, bayi besar? Jatah?" Ulang Renan dengan nada terbata seakan tak meyakini apa yang ia dengar baru saja.

Willona mengangguk, seakan tak peduli jika otak Renan bertamasya ke mana. Yang terpenting ia terbebas dari menonton drama-drama kesukaan Bimo.

"Ya, apalagi kalau bukan bayi besar? Apa Pak Renan tidak tau arti bayi besar?"

"Itu loh ...." Lanjut Willona sembari menunjuk kamar Kenan. "Ini mau ambil minum, aku takut kalau bayi besarku tidak membiarkanku beristirahat nanti malam. Jadi, aku tidak bisa menolong Pak Renan. Maaf ya," kilahnya dengan menepuk-nepuk bahu Renan sebagai tanda solidaritas.

Willona mengulas senyum lebar di sela kakinya melangkah. Ia kembali naik ke anak tangga dan membiarkan begitu saja Renan yang masih terpaku menatap bekas tepukan pada bahunya.

'Emang enak? Mamam tuh drama Kakek,' batin Willona berseru senang di dalam hati.

"Eh, Nyonya Mudaa!" teriak Renan pada sang nyonya yang sudah berada di atas lantai dua.

"Brisik kau, Renan. Bawakan aku cemilan," seloroh Bimo dengan mengetuk-ngetukan tongkat di atas lantai, pertanda ia tak sabar.

Renan menggerakan kepala bingung, sedangkan ia ingin memanggil Willona karena gelas kosong yang wanita itu pegang tertinggal di atas meja. Ia ingin mengatakan, tapi tuan besarnya sudah memanggil.

"Tuan Bimo belum minum obat, jadi tidak boleh makan makanan ringan. Minum obat dulu ya," bujuk Renan yang belum beranjak dari tempat dirinya berdiri.

"Kau menentangku, Renan?"

***

Sementara itu, Willona terpingkal-pingkal di depan kamarnya tak kuasa mengingat wajah terkejut Renan saat Willona menyebut Kenan sebagai 'bayi besar'.

"Apakah aku harus main terang-terangan agar Pak Renan paham maksudku? Astaga ... masih ada orang sepolos Pak Renan. Aku harusnya ...."

Willona yang akan berbalik tubuh, menggapai gagang pintu mendadak membulatkan mata sembari mengerjap-ngerjap ruas jarinya yang hampa.

"Apa aku melupakan sesuatu?"

Beberapa detik Willona berpikir, hingga ia menepuk kedua buku tangannya di depan wajah, dan seketika mengingat apa yang telah ia lupakan beberapa detik lalu.

"Ya ampun minumku lupa, kenapa aku bisa naik lagi sih? Padahal tangga rumah ini sangat panjang, melelahkan sekali. Besok aku ingin minta Pak Kenan kamar di lantai bawah saja, benar-benar tidak sanggup kalau hidup harus begini."

Willona menggerutu sembari mengombang-ambingkan tubuh dengan lesu. Sudah tenggorakannya kering, dan ia justru kembali menjelajahi anak tangga tanpa penyejuk dahaganya.

Apakah Willona sedang sial hari ini?

Willona kembali menuruni anak tangga dengan tak bersemangat. Jika di lantai atas ada dapur, ia tak akan menggerutu dan terus mengumpati seluruh hidupnya yang terlalu nahas begini.

"Aku tidak mau makanan ini, Re. Ganti."

Suara perintah itu membuat Willona menghentikan langkahnya di pertengahan anak tangga. Lantas mengerakan bola mata ke arah pusat suara.

"Tapi, Tuan Bimo sudah menggantinya lima kali. Dan makanan ringan yang Anda makan tempo hari emang ini, Tuan."

"Apa kau punya video ketika aku menghabiskan makanan anak remaja itu?"

Renan berpikir sejenak, mencoba mengulas kembali ingatan yang sudah berlalu beberapa hari itu.

"Kalau ada videonya aku mau makan, setelah itu minum obat," katanya sekali lagi.

Namun nahasnya, Renan menggeleng.

"Yasudah ganti lagi, aku tidak mau makan makanan ini. Ini bukan yang aku cari. Cepat belikan di mana pun itu, aku ingin makan sekarang," kekeh Bimo kembali mendorong makanan ringan yang ada di meja dengan tongkatnya.

Willona yang masih berada di sana menggeleng dengan bibir berdesis sebal, seakan seorang pemburu yang telah menemukan mangsa yang telah ia cari selama ini.

Wanita itu melangkah ke arah dapur lebih dulu, mengambil satu botol air dingin ditenggaknya hingga habis dengan satu kali tarikan napas. Dadanya bergemuruh, emosinya meluap-luap tat kala mengingat ceceran bungkus makanan ringan yang ada di tong sampah beberapa hari yang lalu.

"Kakekk!" teriak riang Willona melangkah ke arah Bimo dan Renan. Wajah kesalnya kini telah berganti menjadi wajah cantik yang dipaksakan.

Bimo yang mendengar suara istri cucunya langsung menggeser tubuh Renan dengan tongkatnya sekali lagi agar menyingkir dan memberi tempat untuk Willona.

'Astaga Tuan Bimo, mata keranjang juga,' batin Renan mendengkus, ia pun berpindah tempat menjadi berdiri dan tergantikan Willona yang terduduk di sana.

"Kenapa tidak mau minum obat?" tanyanya lembut.

Sebelum menjawab, Bimo menunjuk ke arah dramanya yang masih berlangsung.

"Apa yang dikatakan Ejun benar. Obat itu pahit, selama ini aku selalu menahannya karena Renan yang memaksaku. Dasar asisten tidak pengertian ...."

"Eh, jangan, Kek!" cegah Willona ketika tongkat jalan Bimo kembali berayun di depan wajah Willona dan akan mengenai Renan yang berdiri di sampingnya.

Beruntung Renan bisa menghindar dengan memiringkan tubuh.

"Aku punya foto kalau Kakek yang mengahabiskan makanan ringan itu."

"Benarkah? Kenapa kamu bisa memotonya? Apa kamu sudah mengundurkan diri dari sekretaris Kenan?"

Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Willona kembali menarik napas dalam, ikut menatap lekat pada wajah tua yang sekarang sedang memiring, menatapnya.

"Kenapa aku tidak pernah merasa aku yang memakan sebanyak ini. Apa ini gambar sungguhan, kamu tidak mengambil dari internet bukan?"

Willona menggeleng setelah dirinya berhasil menunjukan hasil jebretan kamera ponselnya.

"Ini makanan ringan yang aku beli, Kek. Jadi aku tidak mungkin menipu, dan mengambil dari internet," balas Willona dengan wajah tertunduk lesu.

Bimo mengusap-usap kepala belakang istri cucunya itu, menenangkan kesedihan Willona yang sepertinya begitu terpukul karena makanan ringannya ia habiskan tanpa rasa berdosa sedikit pun.

"Minum dulu, Willona. Kakek tau kamu sangat sedih, tapi ini semua murni bukan kesalahan Kakek." Bimo menyerahkan gelas bening yang diambilkan Renan tadi untuk dirinya kepada Willona. Lantas tanpa basa basi wanita yang memakai baju tidur itu meneguk hingga tandas lagi.

Sepertinya Willona memang benar-benar sedang kehausan.

"Aku yang membelinya diam-diam dari Pak Kenan ... tapi, kenapa Kakek yang memakannya?"