Willona ingin sekali menendang pintu yang ada di depannya. Jika tidak mengingat permintaan dari Kakek Bimo, sudah pasti Willona tak akan sekedar menendang saja.
Sudah tahu bukan apa yang akan dilakukan Willona? Menghancurkan kamar ini beserta pemiliknya hingga tak tersisa.
Sejak tadi Willona tak henti-hentinya mengumpat, menyumpah serapah, dan mengutuk hingga ke titik paling dasar untuk membuat Kenan enyah dalam hidupnya.
Tapi apa Willlna bisa? Nyatanya dirinya justru terjebak di sini menjadi istri Kenan yang tak pernah diketahui publik.
"Pak Kenan, saya masuk yaa!" teriak Willona setelah ketukan beberapakali tak mendapat respon dari dalam.
Krek
Eh kok sepi?
Willona mengedarkan matanya ke sekeliling tubuhnya ketika ia sudah sampai di ruangan itu. Ia hanya melihat selimut tebal yang teracak dan asbak terlihat nyata di iris Willona.
Wuaah ... ini namanya kapal pecah. Bisa stres aku kalau sekamar dengan lelaki jorok seperti Pak Kenan.
"Sebenarnya apa yang dibicarakan dengan Kakek, kenapa bisa membuat Pak Kenan merajuk seperti anak kecil seperti ini?" gumam Willona sekal lagi dengan langkah kaki semakin dekat dengan nakas.
Wanita cantik itu menyingkirkan beberapa barang untuk meletakkan nampan berisikan makanan di sana. Jika dirinya tidak menomor satukan jiwa kemanusiaannya, ia tak akan pernah sudi mau direpotkan dengan jadwal makan dari Kenan yang hancur.
"Pak Kenan, Anda di mana?" teriak Willona. Yang seketika menutup bibirnya ketika mendengar suara gemericik dari dalam kamar mandi.
"Oh, lagi mandi. Bilang kek, batuk kek, apa kek. Bisu aja, bikin orang bingung."
Akan tetapi, ada yang aneh di sini. Kenapa mandi tanpa menyalakan lampu?
Apa Kenan sejenis lelaki yang penyuka gelap? Tapi kenapa sampai mandi pun juga melakukan itu, apa dia tau tempat yang disabun?
"Pantas otaknya mesum terus."
"Siapa yang mesum?"
Willona membatalkan tubuh bagian belakangnya menyentuh pinggir ranjang Kenan ketika suara berat lelaki itu mendominasi menyebar di seluruh ruangan.
"Mesum?" Willona mengangkat satu alisnya dengan wajah berpura-pura mengulang perkataan Kenan dengan tawa takutnya. "Hahaha ... itu, mungkin Bapak salah dengar. Iya, salah dengar pasti."
Tangan wanita cantik itu melambai ke arah Kenan dengan langkah kaki yang semakin bergerak.
"Maksud saya itu, kusam, bukan mesum. Lain kali telinga dibersihin ya, Pak. Wajah saya terasa kusam akhir-akhir ini karena banyak meeting di luar."
"Bagaimana bisa wajahku seperti ini."
Willona berpura-pura bergumam sembari berjalan kabur dari Kenan, yang mungkin saja akan tahu kebohongan dirinya sesaat lagi. Ia tahu bagaimana tabiat Kenan yang tak gampang dikelabuhi.
"Aku harus pergi ke salon, mengambil cuti satu hari sepertinya agar waaa—"
"Tunggu dulu."
Degh!
Jantung Willona berdetak begitu cepat merasakan sentuhan dari kulit basah Kenan yang begitu memabukan Willona.
'Astaga ini gila ....'
Kedua mata Willona terbelalak mendapati punggungnya tersentak di pintu kamar dengan dua tangan tertahan di atas kepala wanita itu.
Eh, kenapa jadi aku yang ditahan begini?
"Pa-Pak Kenan ada apa? Bisakah Pak Kenan menjauh?"
Bukannya menjauh, wajah tampan Kenan yang terlihat begitu menggoda dengan tetesan air yang masih menjatuhi rambut basahnya. Perlahan mendekat ke arah wajah Willona yang memerah.
Deru napas segar begitu terasa di kulit wajah Willona. Sudah jangan ditanya lagi bagaimana gugupnya Willona mengatasi kedua kakinya berdiri tegak.
"Kau berbicara apa dengan kakek?"
Hah ... apa?! Dia hanya menanyakan itu? Demi langit dan bumi, aku ingin mengutuk Pak Kenan jadi cacing di atas tanah kering.
"A—aku tidak berbicara apa pun!" Willona mendorong tubuh Kenan untuk menjauh darinya.
Dan berhasil.
Jika Kenan terlalu lama mengukung tubuh Willona, wanita itu pasti bisa mati sesak dengan cara yang akan membuat Willona malu dalam sejarah hidupnya ketika berekrenasi kelak.
"Beraninya kau mendorongku! Aku bisa melakukan apa pun padamu, walaupun kau berteriak di sini, seluruh orang juga akan tau kalau kita sedang bercinta sebagai pasangan suami istri." Kenan menekan kalimat terakhirnya.
"Jangan harap!"
"Pak Kenan sendiri yang mengatakan tidak akan menyentuhku. Jadi jangan lakukan apa pun, aku bisa hamil dengan lelaki lain dan mengatas namakan anakku kelak adalah anak Pak Kenan."
"Dan kita akan segera bercerai. Lalu Pak Kenan bisa menikahi Bu Zoya. Mudah kan?"
Willona mengangkat kedua bahunya dengan senyum simpul tergelar di sana.
"Selamat malam, Pak Kenan."
"Kau!"
BRAK
Pintu kamar sudah lebih dulu tertutup sebelum Kenan berhasil melanjutkan kalimatnya.
"Dasar wanita gilaa!"
***
Kakek Bimo menggeleng sembari berdesah lelah melihat apa yang sekarang menjadi tontonannya. Ia melihat Willona yang keluar dari kamar sang cucu diikuti pekikan tajam Kenan yang jelas menandakan mereka berdua tidak sedang baik-baik saja.
Lagi-lagi terjadi seperti ini.
"Tuan Bimo, keluar saja. Kita tidak perlu bersembunyi seperti ini," kata Renan yang merasa aneh harus bersembunyi di balik tembok besar di samping sebuah kamar kosong di samping kamar Kenan.
Kakek Bimo dan Renan bersembunyi dengan tangan tua Kakek Bimo menompang pada punggung Renan yang menunduk.
"Bersisik kau, Renan. Kau tau bukan aku sudah menduga mereka kembali pisah kamar."
"Pantas saja aku tidak segera menggendong cucu. Dasar mereka berdua menyebalkan. Sekarang apa rencanamu aku ingin segera mendapat hasil yang cepat."
Renan mendadak harus berpikir keras mendengar pertanyaan sang tuan besar. Sudah berbagai cara ia lakukan untuk membuat boss dan sekretaris itu bisa menikmati waktu berdua sebagai pasangan suami istri, tapi nyatanya semua gagal.
"Kita beri obat pada minuman Nyonya Muda dan Tuan Muda."
"Obat? Semacam obat perangsang?"
"Benar, Tuan Besar. Jika mereka disatukan pasti tidak akan bisa ada yang menolak. Dan Tuan Besar akan mendapatkan cucu yang menggemaskan," jelas Renan yang kembali membawa senyum sumringah.
"Oke, lakukan. Tapi, aku yang membuat minuman itu sendiri."
Setelah rencana telah dibuat. Kakek Bimo dan Renan berpura-pura duduk di sofabed dengan drama telivisi kesukaan lelaki separuh baya itu.
"Kau lihat bagaimana lelakinya sangat brengsek kan, Re? Bisa-bisanya melakukan itu pada kekasihnya, memang kalau kaya kenapa? Dasar lelaki bermulut tajam."
Renan bingung harus merespon bagaimana, ia tak pernah menyukai drama. Tapi, tuannya justru selalu meminta dirinya untuk menemani menonton drama tivi yang tak pernah ditinggalkan tuan besarnya.
"Tuan sudah waktunya minum obat. Ayo minum dulu."
"Tidak mau. Aku masih ingin menonton."
Renan menghela napas panjang, terkadang inilah tugas terberatnya sebagai tangan kanan Kakek Bimo melebihi menghadapi rekan bisnis yang sering ia tangani.
"Pak Renan kenapa, kok lesu begitu," tanya Willona yang sengaja datang ke dapur untuk mengisi gelas beningnya melihat Renan yang berjalan tak bersemangat masuk ke dalam dapur.
"Nyonya Muda, sudah turun?"
Willona mengangguk sembari menggaruk tengkuknya bingung dengan pertanyaan Renan yang begitu aneh.
"Memang kenapa kalau aku sudah turun?"