Beberapa hari telah berlalu sejak Katsuki menyadari bahwa ialah si stalker yang dimaksud itu.
Di hari itu, saking kesalnya Katsuki hampir saja meledakkan kamarnya sekalian bersama asramanya juga, kalo saja tetangga kamar yang suka ngerecokin kehidupan Katsuki tidak menghentikannya.
Gimana gak kesal coba.
Masa orang sekece, hebat, kuat, berbakat, baik hati dan rajin menabung kayak Katsuki dibilang stalker hanya gara-gara ia ngasih hadiah secara diam-diam.
Hello~w
Apa kata emak Mitsuki nanti kalo tau bahwa anaknya dikatain stalker? Bisa-bisa rumah auto kayak kapal pecah deh, gara-gara si emak sibuk ngelemparin dirinya pake barang-barang yang ada di rumah dan Katsuki sibuk ngeledakin barang yang dilempar.
Emangnya salah ya kalo kita mengawasi orang yang kita sayangi?
Kalo beneran salah, maka bakalan banyak para orang tua yang menyayangi anaknya jadi mengabaikan mereka.
Emang apa salahnya kalo kita tau banyak soal orang yang kita sukai?
Kalo emang salah, maka penjara bakalan penuh gara-gara banyak fans artis yang dituntut karena mengganggu privasi si artis.
Emang salah gitu kalo kita ngasih hadiah secara diam-diam?
Kalo iya salah, kakek gendut dari Kutub Utara bakalan udah pensiun jadi Santa Claus dan banting setir jadi tukang pos.
Semua yang Katsuki lakukan semata-mata hanyalah karena rasa cinta. Tapi meskipun begitu, ia juga tau batasannya. Buktinya saja dia langsung berhenti mengirimkan hadiah saat merasakan kalo si penerima tak nyaman dengan semua pemberiannya itu. Makanya, ia sangat menolak keras jika dirinya disamakan dengan penjahat macam stalker.
Sumpah ya, kalo bukan karena Katsuki yang sedang menyembunyikan identitasnya, kalo lawannya bukanlah gebetannya, dan kalo bukan karena cinta, pasti udah Katsuki labrak tuh orang, dan meledakkannya sampe berkeping-keping.
Ha~h
Pada akhirnya Katsuki cuman bisa misuh-misuh dan melampiaskan amarahnya pada orang di sekitarnya.
Tunggu dulu.
Bukankah Katsuki bisa menggunakan cara 'itu' untuk melayangkan protesnya? Selain itu, jika ia menggunakan cara 'itu', ia tak perlu khawatir jika si doi tau akan identitasnya.
Hoho
Tunggu saja kau, Todoroki Shouto.
*****
Ha~h
Kenapa ini bisa terjadi?
Todoroki Shouto sama sekali tidak menyangka kalo curhatannya kepada teman-temannya akan menjadi seheboh ini. Well, ia tidak ingin menyalahkan siapapun atas kejadian ini, dan ia juga bersyukur karena banyak sekali yang peduli padanya. Hanya saja ia berharap jika mereka melakukannya dengan lebih sekretif. Ia tidak ingin jika stalkernya menjadi awas dan bisa saja pelakunya melakukan sesuatu karena terpicu oleh rumor yang beredar.
Tapi apa boleh buat, nasi sekarang sudah menjadi bubur. Ia tidak bisa melakukan apa-apa tentang rumor yang telah menyebar, tapi setidaknya ia harus mempersiapkan diri akan 'serangan' yang bisa saja dilayangkan oleh sang pelaku. Namun, setelah sekian lama dirinya menunggu, ia sama sekali tidak melihat tanda-tanda akan pergerakan dari sang stalker.
Apa orang itu tidak tau akan rumor yang beredar?
Jika memang seperti itu, apa itu artinya asumsinya tentang si stalker tuh adalah teman sekelasnya itu salah?
Shouto harap jika hal itu memang benar. Dirinya tidak mau terus menerus mencurigai orang-orang di sekitarnya. Namun, belum sempat ia merasa lega, sebuah pesan untuknya dari sang stalker tertulis di atas mejanya.
「Aku bukanlah seorang stalker」
Shouto sama sekali tak mengggubris pesan itu. Ia juga tak memberitahukan hal ini pada yang lain, takut-takut jika kejadian tempo hari terjadi lagi, dan membuat situasi semakin gaduh. Namun, meskipun ia tak menghiraukan pesan itu, ia juga tak menghapusnya. Entah apa yang ia pikirkan, mungkin dirinya hanya sedang malas untuk menghapusnya. Well, meski tanpa menghapusnya pun takkan ada orang yang mengetahuinya selain dirinya. Toh jarang ada orang yang mendekati mejanya, makanya Shouto membiarkannya begitu saja.
Tapi ternyata itu adalah sebuah kesalahan. Seharusnya ia menghapus pesan dari orang yang mengaku dirinya bukanlah seorang stalker tersebut. Bukan karena ketauan orang—justru tidak ada yang mengetahuinya sama sekali—, tapi karena tulisan itu justru malah membuatnya semakin concious akan sang stalker. Meskipun ia sudah menghapus tulisan itu, rasa penasarannya akan si penulis sama sekali tidak berkurang. Dan semakin keras dirinya berusaha untuk tidak memikirkannya, semakin kuat juga rasa keingintahuannya terhadap stalkernya.
Well, mungkin ini sudah saatnya untuk Shouto menghadapi stalkernya itu. Ia tidak ingin berdiam diri begitu saja terlebih ketika teman-temannya berusaha untuk membantunya. Selain itu, ia juga ingin tau akan apa yang diinginkan oleh si stalker yang mengaku bukan stalker itu.
Itulah sebabnya ia meniggalkan pesan di mejanya, seperti halnya yang dilakukan oleh sang stalker.
.
.
.
.
.
「Jika kau bukanlah seorang stalker, lalu kau siapa?」