Aisyah memohon, tangannya bergetar,dia takut Dirga akan menceritakannya dan melaporkannya ke kedua orangtuanya.
"Memangnya harus nikah dulu, baru boleh kuliah?" tanya Dirga, dia masih penasaran dengan jawaban konyol istrinya.
"Tidak, tidak seperti itu, cuma kalau aku nggak nikah, pasti Aby akan masukin aku ke kampus miliknya, karena aku nggak boleh kemana-mana tanpa muhrim, lagian di teknik kebanyakan cowok, pasti Aby tidak akan mengijinkan. Makanya aku mau nikah, kan kalau aku nikah, aku nggak perlu minta izin Aby lagi." jawab Aisyah polos.
"Apa kamu yakin kalau aku bakal ngijinin?" tanya Dirga, dia masih ingin menggoda istrinya.
"Memang, Om nggak ngijinin?" Aisyah bertanya balik, matanya membulat, sepertinya dia baru sadar kalau dia harus minta izin suaminya dulu.
"Yakin nggak?" tanya Dirga lagi.
"Yakin!" Aisyah mengangguk, walaupun dia sedikit tidak yakin dengan kata-kata nya.
Dirga menarik napas panjang, dia tak ingin mengecewakan istrinya, apalagi gadis di depannya itu mengambil resiko yang sangat besar untuk mengejar cita-citanya. Namun, dia tidak boleh gegabah, Aisyah harus punya batasan dan dia yang harus memberi batasan kepada istrinya.
"Aku ijinkan dengan syarat, kampusnya di tempat Om mengajar, nggak boleh ikut kegiatan tanpa ijin, tidak boleh pulang telat kecuali ijin, IPK tidak boleh di bawah 3,00. Yang paling penting tidak boleh berinteraksi dengan cowok, selain tugas kampus."
Wajah Aisyah berbinar, dia segera mengangguk, baginya semua aturan Dirga, sama dengan aturan orangtuanya, sehingga dia sudah dengan sikap otoriter Dirga.
"Satu lagi, nggak boleh menolak kalau aku mau, dengan alasan capek kuliah atau banyak tugas."
Wajah Aisyah memerah, sedari tadi dia sudah merasa nyaman dengan pembahasan yang tidak menyerempet ke hal-hal yang berbau porno.
"Bagaimana?" tanya Dirga.
"Iya," jawab Aisyah ketus.
"Nah, kalau gitu, sini." Dirga menepuk kasur, meminta Aisyah mendekat kepadanya.
Ragu, Aisyah mendekat, sekujur tubuhnya kini mulai dingin.
"Om, kita mau ngapain?" tanya Aisyah polos.
"Loh, kok masih panggil Om?" tanya Dirga.
"Rohi ku, kita mau ngapain?" tanya Aisyah, mengulangi pertanyaannya.
"Sini dekat-dekat." Dirga menarik tangan Aisyah, agar badannya lebih mendekat ke arah Dirga.
Aisyah kembali menggeser tubuhnya, kini dia dan Dirgay tak memiliki jarak lagi, bahkan tangannya kini bertumpu di paha Dirga.
Lelaki itu menggumam, membaca doa, lalu mencium kening Aisyah, gadis itu tertunduk malu.
"Mati aku, apa benar malam ini kami akan melakukan malam pertama?" tanya Aisyah dalam hati, degup jantungnya terdengar oleh dirinya sendiri saking paniknya.
"Tidurlah, besok pagi kita akan mencari rumah." Dirga membaringkan Aisyah, gadis itu menurut, matanya dia pejamkan.
Aisyah menuggu sentuhan Dirga dengan mata tertutup, dia telah mempersiapkan diri, kalau malam ini Dirga menginginkan nya, dia harus rela, bukankah untuk mencapai cita-cita, harus butuh pengorbanan?
Hampir lima menit Aisyah menuggu Dirga menyentuhnya, tapi rabaan yang telah Aisyah pikirakan ternyata tidak terjadi. Gadis itu membuka mata, dia mencari sosok Dirga, ternyata lelaki itu telah berbaring di sampingnya, namun dia membelakangi Aisyah.
Ada yang terasa perih di hati Aisyah, dia memegang dadanya, lalu berbalik menghadap Dirga, dia menatap punggung lelaki yang menjadi suaminya. Hatinya sakit, melihat lelaki itu kini telah terlelap dengan suara napas yang terdengar teratur.
Tak terasa bulir bening mengalir di sudut mata gadis tersebut, tadi dia merasa ketakutan kalau Dirga meminta haknya. Tapi, ketika melihat Dirga memunggungi nya, ternyata jauh lebih sakit.
"Apakah dia tak bergairah dengan ku? Apakah dia marah? Apakah dia kecewa? Apakah aku tidak menarik?" berbagai pertanyaan terlontar di pikiran Aisyah, membuat air mata gadis itu semakin mengalir, sesekali Isak tangisnya terdengar.
"Ya, Allah. Kok aku seperti ini, harusnya aku senang, karena Om Dirga tak menyentuhku, berarti aku masih perawan," bisik hati Aisyah.
Dirga yang sudah terlelap, mendengar Aisyah sesenggukan, dia berbalik, lalu mendapati istrinya sedang menghadap ke arahnya, walaupun lampu temaram, tapi Dirga masih bisa melihat air mata di wajah Aisyah.
"Kamu kenapa?" tanya Dirga, dia mengelus lembut lengan Aisyah. Gadis itu semakin menangis, mendapat perlakuan Dirga yang begitu lembut, tapi tak berniat menyentuhnya.
"Hey, kamu sakit?" Dirga bangun dari tidurnya, dia kini menatap Aisyah dengan seksama, nada khawatir terdengar dalam suaranya.
Aisyah menggeleng, tapi suara tangisnya semakin kencang.
"Kalau begitu, kenapa menangis?"
"Apa Rohi tidak ingin menyentuhku?" tanya Aisyah, wajahnya tertunduk.
Dirga tersenyum, mengetahui alasan Aisyah menangis.
"Memangnya Albi mau di sentuh malam ini?" tanya Dirga, senyum tak bisa dia sembunyikan dari wajahnya.
"Kata Ummi, malam ini aku harus melayani Rohi, karena Rohi sudah menjadi suamiku, aku harus memenuhi semua kebutuhan Rohi." Aisyah menjawab masih dengan posisi kepala menunduk.
"Itu kan kata Ummi, kalau Albi sendiri bagaimana?" tanya Dirga, dia ingin mengetahui kesiapan dari istri keduanya itu.
"Sebenarnya aku takut, aku belum siap." Aisyah menjawab cepat, dia memang tipe gadis yang tak bisa menyembunyikan sesuatu.
Dirga memegang kedua lengan Aisyah, lalu membaringkan wanita itu ke kasur, Dirga merasakan seluruh tubuh Aisyah bergetar. Setelah berbaring, Dirga mencium dahi Aisyah, kemudian mengecup kedua matanya dan terakhir mencium lembut bibir gadis itu.
Aisyah menegang, dia membuka mata, tangannya mencengkram seprei. Dirga membiarkan beberapa saat bibirnya bersentuhan dengan bibir Aisyah, dia tidak menuntut gadis itu untuk membalas. Perlahan, Aisyah sepertinya pasrah, dia mulai membalas ciuman Dirga dengan membuka mulutnya, membiarkan Dirga menjelajahi bibirnya.
Dirga tersenyum, dia mengigit bibir bawah Aisyah sedikit, lalu melepaskan tautan bibir mereka, dia mengelus lembut kepala Aisyah.
"Tidurlah, cukup untuk malam ini, aku ingin melakukannya ketika kamu sudah siap."
Aisyah terdiam, entah mengapa dia masih ingin menikmati ciuman dari Dirga, ada setitik kecewa di hatinya. Tapi, dia tak bisa protes, karena sebagian lain hatinya juga masih takut.
Aisyah masih membuka mata, melihat hal itu, Dirga memeluk pinggang Aisyah, dia lalu berbisik di telinganya. "Tidurlah, aku akan memelukmu sepanjang malam wahai Albi ku."
Aisyah tersenyum, entah kenapa kata-kata Dirga terdengar sangat merdu, bahkan bisa menjadi pengobat sakit hatinya. Dia memejamkan mata, tak lama berselang dia pun telah terlelap ke pulau mimpi.
Dirga bangkit dari posisinya, ketika tau kalau Aisyah sudah tertidur, dia duduk di pinggir tempat tidur, lalu mengacak rambutnya.
Dia kesal, sedari tadi juniornya tidak bisa berdamai, sejak Dirga mencium bibir Aisyah, hasratnya telah bangkit. Namun, tak mungkin dia memaksa Aisyah yang terlihat ketakutan.
"Hey, bersabar lah dulu, aku tau kamu sudah tak tahan, aku juga sama, ku harap kamu tak membuatku malu." Dirga bermonolog sendiri, dia menatap sesuatu yang sedang tegang di bawahnya.
Dia melangkah ke kamar mandi, Dirga memutuskan untuk mandi, walaupun hari sudah malam, dia harus menenangkan sesuatu yang mendesak untuk di keluarkan.
Setelah mandi, Dirga kembali melaksanakan shalat, setelah itu dia kembali berbaring di samping Aisyah, hanya saja dia memunggungi istrinya, agar tak tergoda, lambat laun dia pun ikut tertidur.
******
Keesokan harinya, Dirga dan Aisyah turun untuk sarapan di restoran hotel, pagi ini Aisyah sudah tak sekaku kemarin, sejak keluar dari kamar dia tak menolak ketika Dirga menggenggam tangannya, dia bahkan kini dengan berani memegang lengan lelaki yang bergelar suaminya itu.
Tak ada kata, keduanya hanya berjalan berdampingan. Beberapa pasang mata terlihat menatap mereka, mungkin ada yang terpesona pada kecantikan dan ketampanan Dirga, atau malah ada yang merasa kasihan melihat Aisyah bergandengan dengan lelaki yang usianya terpaut cukup jauh darinya.
Dirga menarik kursi, lalu mempersilahkan Aisyah duduk.
"Albi ku, kamu mau makan apa? Nanti aku ambilkan."
"Sama kan saja dengan yang Rohi makan," jawab Aisyah.
Dirga mengangguk, kemudian mengambil makanan dan membawanya ke meja mereka.
"Kok hanya satu piring?" tanya Aisyah, dia bingung melihat Dirga hanya membawa satu piring dan satu mangkuk sup, tak berapa lama, pelayan datang membawa buah ke meja mereka.
"Aku ingin makan sepiring berdua dengan Albi ku, tenang saja, makanannya aku muat untuk porsi dua orang, hanya tempatnya yang satu."
Aisyah mengangguk, dia lalu mengambil garpu dan sendok, lalu mulai menyendok makanan, baru saja makan itu ingin dia makan. Dirga memegang tangan Aisyah.
Sini, nanti aku suapin, kamu cukup mengunyah saja." Wajah Aisyah bersemu merah, ketika Dirga menyuapinya makanan.
Saat mereka berdua menikmati momen romantis dengan makan berdua, seseorang mendekat ke arah mereka.
"Assalamualaikum, pak Dirga apa kabar?" tanya wanita yang baru saja mendekat.
Wajah Dirga berubah tegang, wanita itu adalah salah satu rekan kerjanya sebagai dosen terbang di sebuah universitas swasta di kota itu.
"Waalaikumsalam, Alhamdulillah, baik Bu!" Dirga menjawab, dia bangkit lalu menangkup kedua tangannya di depan dada. Wanita itupun melakukan hal yang sama.
"Bapak sedang apa di sini? Ini siapa yah?" tanya wanita itu lagi.
Aisyah menunduk, Dirga bingung harus menjawab apa.
Apakah dia harus jujur pada rekannya itu, ataukah harus berbohong?
"Dia, dia, dia ini ... ."