webnovel

Second Chance, First Love

Haruskah aku membuka hati untuk memberi kesempatan pada cinta pertama? ---- Langkahku terhenti, melihat pemandangan di depan mataku. Perasaan apa ini? Adit yang sedang menggendong seorang gadis kecil berambut ikal kecoklatan. Gadis kecil itu memeluk Adit erat sambil menyandarkan kepala mungilnya ke bahu Adit. Sisa-sisa tangisan masih tampak dari punggung kecil yang bergerak naik turun, dan Adit menepuk-nepuknya dengan lembut. Saat kuputuskan untuk mendekati mereka, tiba-tiba seorang pria dengan langkah cepat setengah berlari menghampiri Adit. Kaki ini mendadak kehilangan kekuatan untuk melanjutkan langkah. Jantungku berdetak cepat, tanganku tanpa sadar mengepal. Gadis kecil yang berada di gendongan Adit langsung mengulurkan tangan pada pria yang baru saja menghampiri sambil merengek memanggil, "Daddy!" Pria itu menepuk bahu Adit, wajahnya yang semula cemas terlihat bahagia. Siapa dia? Dari jarak ini aku bisa melihat matanya, hidungnya, rambutnya, tiba-tiba nafasku terasa sesak. Kenapa wajah pria asing itu terlihat seperti Adit? ---- "Selama ini aku pikir yang punya akun Instagram ini perempuan." Kataku sambil tertawa. "Oya? Postinganku kurang maskulin?" Tanyanya sambil tersenyum. "Ahaha, gak sih. Cuma caption-nya seringkali terlalu manis, gak cocok untuk ukuran pria dewasa seperti kamu," jawabku. "Aku juga ga pernah nyangka, kalau pemilik akun Instagram yang aku follow ternyata masih muda. Soalnya caption-nya terlalu berat buat ukuran perempuan seumuran kamu." "Muda? Maaf ya pak. Kebetulan saya sudah hidup selama 35 tahun." Kataku sambil menyebutkan usia asliku tanpa ragu. Entah kenapa, berbincang dengan pria ini terasa nyaman. Mungkin karena selama ini interaksi kami di Instagram seakrab sahabat. "Ya, aku tahu. Dibanding umurku, kamu tetap lebih muda, Dyan." Katanya sambil tersenyum. Kuraih cangkir kopi di depanku, sesaat cangkir hampir mendekat bibirku, dia berkata. "Karena itu, Dyan. Aku harap kamu bisa mempertimbangkan pria dewasa di depanmu ini untuk jadi calon suami." Uhuk!

Vividly_Dawn · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
58 Chs

Konspirasi Alam Semesta

"Kata si Abang, dia lagi bantuin cari calon suami untuk Bunda-nya."

Adit bahkan memberi tahu dua karyawanku –yang sudah dianggapnya sebagai kakak; tentang niat 'mulia'-nya. Apa artinya dia serius tentang ini? Bukan minta gadget baru atau minta tambahan uang bulanan, tapi minta bundanya mempertimbangkan untuk menikah. Tambahan lagi, dia juga mau bantu mencarikan calon jodoh bundanya?

Sampai tadi pagi, aku masih merasa kata-kata Adit cuma sekedar memberitahukan aku kalau dia ingin aku untuk mulai membuka hati. Meyakinkanku bahwa dia sudah cukup dewasa dan bisa menerima kalau suatu saat aku bertemu dengan orang yang bisa jadi calon suami, dia tidak akan cemburu. Malah memberi dukungan.

Tapi sekarang dengan memberitahukan niatnya untuk 'mencari jodoh buat bunda' ke kakak-kakak karyawan toko, ini maksudnya apa? Kenapa kedengarannya jadi 'hal yang mendesak'?

Aku tidak habis pikir. Sebenarnya apa yang membuat Adit bisa punya ide 'mencari jodoh buat Bunda' ini?

--

--

Tidak banyak yang harus dikerjakan setiap pagi, setelah membuka rolling door, anak-anak hanya perlu melakukan pekerjaan bersih-bersih sedikit. Karena biasanya mereka sudah membereskan ruang butik di sore hari sesudah kita tutup.

Aku masuk ke ruang kantor di sudut kanan belakang butik. Ruangan ini sebenarnya dirancang kak Mahesa sebagai sudut semi-private untukku. Dimana aku bisa menerima pelanggan yang ingin berkonsultasi saat ingin memesan baju anak untuk acara-acara khusus. Dan juga memberi karyawanku privasi saat melayani pesanan online di marketplace.

Walau ruangan ini tertutup sepenuhnya, tapi kak Mahesa membuat dua sisi dinding berupa sederet jendela kaca bening setinggi 1 m, mulai dari pinggang keatas. Sekilas ruangan ini dari luar terlihat seperti pondok kecil di dalam butik. Dinding dibawah jendela kaca dilapisi dengan kayu dan pada bagian atas jendela dibuat rak kecil memanjang dengan sekat-sekat, di tiap kotak ada aneka pajangan berupa boneka, bunga plastik, frame dengan desain unik, buku dongeng dan beragam jenis mainan yang secara rutin diganti.

Dari luar interior kantor yang di desain minimalis dengan konsep warna monokromatik memberi efek ruangan terasa lebih lega walau dalam dimensi terbatas. Nuansa warna yang dipilih kak Mahesa adalah gradasi warna kuning dengan dominasi light yellow. Menurut kak Mahesa secara psikologis warna kuning memberi efek semangat, ceria dan hangat. Nuansa warna yang cocok untuk pelanggan anak-anak.

Walau kelihatan melebur dengan ruangan butik karena dinding yang semi transparan, ruang kantor cukup kedap suara. Sehingga perbincangan yang terjadi di dalam ruangan atau pun suara dari luar kantor tidak saling mengganggu.

Menurut kak Mahesa, dia merancang konsep dinding seperti itu untuk 2 tujuan. Pertama memberi efek ruangan menjadi tidak sempit walau ruangan yang ada tidak terlalu luas. Kedua adalah pertimbangan faktor keamanan. Karena aku dan karyawanku perempuan semua, ada saatnya tamu yang datang adalah laki-laki. Dinding yang tidak masif menutup pandangan dari luar, bisa mencegah hal yang tidak diinginkan untuk terjadi. Kejahatan bukan hanya karena niat tapi juga karena ada kesempatan. :)

Hal pertama setelah menyalakan laptop adalah memainkan playlist lagu untuk menyambut hari ini. Rose sudah membuat playlist berdasarkan kategori 'hari'. Karena sekarang hari Selasa, aku langsung meng-klik folder 'Selasa'. Seketika suara musik mengalun dari speaker bluetooth yang dipasang kak Mahesa di sudut dinding kantor dan di salah satu rak pajang di butik.

'Ding'

Kulihat handphone menyala. Waktu kulihat notifikasi pesan Telegram* dari nomor tak dikenal, alisku mengernyit. Siapa?

[Dyaaan!!! I miss you!!!]

Alisku tanpa sadar mengernyit lebih dalam, siapa ini tiba-tiba bilang 'I miss you'? Orang iseng? Tapi kok dia tau namaku?

Lalu masuk pesan berikutnya.

[Yan! Sorry karena baru ngabarin lagi. Tiga bulan terakhir aku sibuk banget sampe gak sempet online. Maklumlah tugas sebagai tenaga kerja impor disana cukup padat merayap.]

Tenaga kerja impor? Ini laki atau perempuan?

[Aku baru balik nih, kontraknya udah selesai. Kayaknya gak nyambung dulu deh. Capek. Mau liburan dulu. Kamu sibuk?]

..... Jangan-jangan ini...

[Alesya?] Tanyaku.

[Emang kamu kira siapa?]

Ya Tuhan! Ini anak hilang, apa dia tidak sadar kalau saat ini dia mengirim pesan dengan nomor yang berbeda?

[Nomor kamu tuh gak dikenal, Al.] Tulisku. Lalu memperhatikan nomor Alesya, +62...

[Kamu mudik ya, Al? Nomornya udah +62] Tulisku lagi.

[Ahahaha, sorry aku lupa kalo udah pake nomor baru. Nyawaku belum balik seutuhnya nih. Landing tadi pagi aku agak jetlag.] Jawab Alesya.

[Ya udah, mending sarapan dulu trus istirahat. Ga usah chatting gini. Yang ada tambah pusing.] Tulisku sambil tersenyum.

Kami memang sempat putus kontak selama 3 bulan terakhir. Sebelumnya Alesya sempat mengabarkan kalau dia sedang menyelesaikan deadline pekerjaannya. Tidak akan ada waktu untuk sekedar ngobrol.

Alesya sahabatku satu-satunya. Mantan teman sekamar yang sudah seperti saudara sendiri. Dia ikut membantuku untuk bangkit lagi dari kejadian yang paling traumatis dalam hidupku. Terutama setelah hari itu, kalau tidak ada Alesya entah apa yang akan aku lakukan saat itu.

Alesya yang membantuku dan menemaniku pulang ke kota ini, bahkan menghabiskan libur semester bersamaku. Padahal sebelumnya dia sudah punya rencana pergi bersama keluarganya berkunjung ke rumah kakeknya di Australia. Dikorbankannya kesempatan berkumpul bersama keluarga besar demi menemaniku.

[ok! Aku kayaknya tidur lagi deh. Oya, aku bakal lama nih mudiknya. Kita ketemuan ya.]

[Aku ga bisa kesana kapan aja Al. Kan sekarang si Abang sudah SMA, dia sibuk banget. Kasian kalo ditinggal.]

[Aaak! Baru sadar aku. Bukannya 3 bulan yang lalu dia masih SMP?]

[hehehehe, kan waktu itu lulusan SMP.] Aku sebetulnya juga merasa waktu cepat sekali berlalu. Benar kata Alesya, tiga bulan yang lalu Adit masih sekolah pakai celana biru, tiba-tiba sekarang sudah celana abu-abu. Pun tiba-tiba menjulang tinggi membuatku harus memandang keatas kalau berdiri di sebelahnya.

[Ntar aku yang kesana deh. Tapi gak dalam waktu dekat kayaknya. Mama sudah kasih proposal banyak rencana nih. Bakal sibuk lagi...]

[Adalah anak yang berbakti apabila dirimu membantu orangtua dengan tulus ikhlas.] tulisku sambil terkekeh.

[Ya bu! Mentang-mentang ya udah jadi orangtua. Aku jadi pengen punya anak, biar ada yang berbakti.]

[Nikah dulu, baru punya anak...] Miris, yang bikin tulisan ini malah punya anak tanpa menikah. Aku mentertawakan diriku sendiri.

[Jodohku masih tersesat di gurun Sahara, Yan. GPS-nya mati, jadi tak terdeteksi lokasi terakhirnya. Sungguh malang diriku ini.]

Aku tidak bisa menahan tawa membaca pesan Alesya, lalu kubalas lagi sambil masih tersenyum lebar.

[Coba cek jejak digitalnya. Dia terakhir tag lokasi dimana sebelum GPS-nya mati.]

Baru saja aku mengirim pesan ke Alesya, tiba-tiba pintu kantor terbuka. Kelihatan Wendy muncul dari balik pintu.

"Bu, ada tamu pertama nih. Si ibu mau konsultasi bikin dress buat acara ulang tahun anaknya." Kata Wendy.

"Oh, iya. Tolong diajak lihat koleksi yang ada dulu. Sebentar lagi ibu keluar."

Lalu aku mengirim pesan ke Alesya, mengakhiri chat kita pagi ini.

[Al, aku ada tamu nih. Udahan dulu ya. Selamat mencari jodoh yang tersesat.]

[Jodoh kamu juga mungkin masih tersesat di hutan belantara. Coba jangan dibiarkan dia hilang terlalu lama, yuk kita cari bersama jodoh-jodoh kita yang hilang.]

....

Kututup aplikasi Telegram dan buru-buru keluar dari kantor untuk menemui tamu pertama.

Kenapa semua orang mendadak bicara soal jodoh kepadaku? Apakah sedang ada konspirasi alam semesta di belakangku?

*Telegram = aplikasi chatting.

Akhirnya berhasil menyelesaikan 1 chapter lagi. Benar-benar butuh perjuangan untuk bisa konsisten.

Vividly_Dawncreators' thoughts