Waktu bergulir cepat, Rembulan dan Adrian bicara banyak hal, tanpa terasa Rembulan sudah menghabiskan dua cangkir kopi. Rembulan sungguh merasa bahagia bisa bertemu Adrian dan mengenang masa-masa sekolah dulu.
Sebenarnya mereka berdua tidak punya banyak cerita yang sama namun karena mereka berdua punya beberapa teman yang sama, mereka lebih banyak menceritakan si A atau si B dengan segala tingkah dan kisahnya. Satu yang pasti mereka berdua menghindari untuk menceritakan tentang Ari. Rembulan juga tidak merasa nyaman bila soal kisah cintanya dengan Ari disinggung.
Sesaat mereka berdua seperti kehabisan bahan obrolan dan hanya saling memandang kemudian terasa canggung. Adrian menyentuh jari-jari Rembulan yang ditangkupkan diatas meja. Menggenggamnya dan tak ingin melepaskan. Rembulan terkesiap, dia tidak menduga Adrian akan menyentuhnya. Matanya memandang Adrian lekat.
"Aku selalu mencintaimu, perasaan ini tidak pernah berubah. Mungkin aku terlalu bodoh berharap banyak padamu. Mengharapkan kamu mengerti dan mau membalas perasaan cintaku. Ternyata ketika kamu kemarin mengenalkan aktor itu sebagai pacarmu, aku menyadari bahwa aku harus tahu diri dan mengubur semua harapanku. Sama seperti saat kamu memiliki Ari dalam kehidupanmu." Adrian berkata perlahan, dia mengucapkan setiap patah kata dengan jelas.
"Dari dulu kamu adalah perempuan yang istimewa dimataku dan itu tidak pernah berubah hingga sekarang. Kamu selalu istimewa untukku. Hanya itu yang mau aku katakan." Adrian menatap Rembulan lama dengan tatapan matanya yang teduh dan tenang. Kemudian Adrian melepaskan genggamannya, "Terima kasih kamu mau datang dan bicara denganku."
***
Raditya mengutuk jalanan Jakarta yang tak pernah ramah. Andaikan bisa terbang, dia ingin terbang agar segera sampai. David yang duduk disampingnya hanya tersenyum kecut mendengar Raditya memaki-maki entah kepada siapa. Sepertinya dengan mengumpat bisa mengeluarkan semua kejengkelan yang sedari tadi mengendap di dada.
Begitu memasuki halaman kafe, David memberi perintah untuk mencari parkir di halaman depan kafe. Raditya hendak melepaskan sabuk pengaman ketika matanya melihat Adrian menggenggam tangan Rembulan. Dia terpaku, matanya menatap tajam. Ingin rasanya dia segera turun dari mobil dan memukul Adrian. David menoleh ke arah Raditya, merasa khawatir kalau-kalau Raditya menjadi kalap dan membuat keributan di kafe.
Posisi Rembulan dan Adrian yang duduk di dekat kaca dan terlihat dari samping sangat jelas untuk mereka berdua bisa melihat.
David menepuk punggung Raditya pelan memintanya untuk bersabar.
"Gue nggak ikut masuk, gue takut nggak bisa menahan diri."
"Trus gimana?" David bisa bernapas sedikit lega, berarti tidak akan terjadi keributan di dalam sana. David takut kalau Raditya mulai menggila dan menghantam laki-laki yang duduk bersama Rembulan.
"Besok Lo bisa tanya Rembulan, mungkin cerita sebenarnya berbeda jauh dari apa yang kita berdua pikir." David berusaha menenangkan Raditya. "Ya, mungkin saja yang terlihat berbeda dengan kisah sebenarnya. Ya kan?"
"Gue pulang!" Raditya turun dari mobil, berjalan keluar halaman kafe. David hanya bisa menghela napas.
***
Sarah melihat David yang turun dari mobil dan sedang berjalan masuk ke kafe. Kebetulan Sarah juga baru sampai. Cepat dia lepaskan sabuk pengamannya dan membuka kaca mobil, kemudian berteriak memanggil David. Sarah melongokkan kepalanya, berharap David melihat dan mendengar suaranya. David menghentikan langkahnya, melihat kesekitar mencari-cari. Dia sedikit lupa dengan raut wajah Sarah. Mereka baru bertemu satu kali, itupun tak lama. David melihat seseorang melambaikan tangan dan tersenyum manis. David membalas dengan senyuman, berjalan mendekati mobil Sarah. Dia ingin masuk ke dalam kafe bersama Sarah. Dia tidak ingin menghadapi Rembulan seorang diri dengan perasaan canggung. Hal itu sungguh sangat tidak mengenakkan. Sebenarnya ada hubungan apa Rembulan dengan laki-laki itu? Kalau hanya berteman biasa, mengapa Rembulan harus memandang laki-laki itu dan diam saat laki-laki itu menggenggam tangannya?
"Tadi katanya sama Raditya, mana dia?" Sarah menyapa ramah, matanya mencari sosok Raditya.
"Oh itu, dia sudah pulang." David tersenyum salah tingkah. Dia sungguh merasa tidak enak, tadi Raditya yang memaksa untuk merubah tempat pertemuannya dengan Sarah sekarang dia malah pergi.
"Kenapa? Ada keperluan mendadak?"
"Eh, nggak?" David mengarahkan pandangan matanya ke dalam kafe, Sarah mengikuti arah pandangan David dan terkesiap melihat seorang laki-laki sedang menggenggam tangan Rembulan. Tanpa sadar Sarah menutup mulut dengan telapak tangannya. "Tadi Raditya melihat mereka?" Sarah bertanya lirih. David hanya mengangguk.
"Kamu mengenalnya?"
"Aku nggak kenal dengan teman Rembulan yang ini." Sarah melihat laki-laki itu sudah melepas genggaman tangannya.
"Ayo, kita masuk!"
"Apakah nanti di dalam nggak terasa canggung?" David berharap Sarah tidak marah-marah kepada Rembulan karena raut wajah Sarah seperti orang yang akan mengajak perang.
"Aku harus tahu siapa laki-laki itu?Kamu nggak apa-apa kan?"
"Sar, ku mohon jangan marah pada Rembulan."
"Hah!" Sarah terkejut mendengar permintaan David, melihat David dengan tatapan tak percaya. Jelas-jelas Rembulan sudah mengkhianati sahabatnya.
David memegang pergelangan tangan Sarah, dan menahannya untuk tidak masuk "Rembulan pasti punya alasan. Jangan marah padanya. Berjanjilah !" Sarah mengangguk setuju. Dia tahu David hanya merasa tidak enak kalau Sarah harus marah-marah di depan David dan laki-laki itu di tempat seperti ini.
***
Rembulan akhirnya bisa merasa lega, Adrian melepaskan tangan Rembulan. Dia tidak bisa menarik paksa tangannya, dia tidak ingin menyakiti hati Adrian. Laki-laki ini terlalu lembut dan tenang. Adrian laki-laki yang baik.
Sikap mereka berdua menjadi agak canggung, terkesan salah tingkah.
Rembulan sungguh tak menduga sebesar itu rasa cinta yang dimiliki Adrian untuknya. Masa-masa remaja mereka sudah lama berlalu, mereka berdua sudah terpisah jarak bertahun-tahun, Rembulan mengira itu hanya perasaan sesaat saja. Adrian pasti bisa melupakannya. Hari ini dia merasa berduka untuk Adrian. Entah mengapa dia merasa sedih karena tidak bisa membalas cinta Adrian.
Rembulan berusaha menata kembali hatinya, menatap Adrian dengan tenang, mencoba bersikap sebagaimana selayaknya seorang teman.
"Adrian, aku tidak pernah ingin memutus pertemanan kita hanya karena kita tidak bersama. Kamu adalah teman baikku, apapun perasaan yang pernah ada. Kalau kamu tidak ingin lagi bertemu denganku itu adalah hak mu dan aku menghormatinya. Namun satu hal yang pasti aku masih ingin berteman denganmu. Aku...,"
"Seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak akan pernah bisa berteman kalau salah satu dari mereka pernah punya rasa cinta. Aku salah satunya. Selama aku berada di dekatmu aku tidak pernah bisa menganggapmu hanya seorang teman, karena kamu lebih dari itu untukku. Jadi lebih baik kita tidak bertemu lagi. Aku hanya ingin menjaga otakku agar tetap waras," Adrian memotong perkataan Rembulan, raut wajahnya terlihat sedih.
"Karena berada di dekatmu sungguh sangat menyiksaku. Kamu tahu...aku ingin menyentuhmu, memelukmu bahkan menciummu. Aku menahan hasratku untuk melakukannya saat berada di dekatmu. Maafkan aku Rembulan, aku tak bisa untuk bertemu lagi denganmu."
Adrian akan beranjak dari tempat duduknya ketika tiba-tiba dari arah belakang dia mendengar suara seorang perempuan memanggil Rembulan.