webnovel

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
268 Chs

Ada Apa-apa yang Ada Apa?

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun Saheera masih berada di ruang tamu dekat pintu utama bersama buku-buku dan laptopnya. Sebenarnya jadwal belajar itu sudah selesai satu jam lalu, seharusnya juga Ia sudah tidur malam. Namun ada satu lagi yang harus dilakukannya karena terlanjur mengiyakan permintaan tolong seseorang.

Nalesha, katanya akan pulang sekitar setengah jam lagi dan minta tolong dibukakan pintu. Haduh, awalnya Saheera mengeluh, tapi ya sudahlah, kasihan juga kalau dibiarkan teriak-teriak tengah malam di depan pintu, pikirnya.

Murottal Al-Quran diputarnya, didengarkan melalui ponsel untuk mencegah bosan sekaligus mengantuk. iPad sudah Ia tak lagi gunakan untuk menulis atau membaca, karena sudah lewat batas maksimum kejenuhannya. Beberapa game diinstall Saheera disana, dan di saat-saat menjadi pengangguran seperti inilah game itu bisa Ia mainkan dengan mode senyap.

Sederhana pilihan game Saheera; asah otak.

Iyakan saja kalau deret aritmatika abstrak dan pola figural yang harus dilengkapi itu adalah hiburan untuknya. Kalau Nalesha melihat, mungkin Ia sudah diceramahi lagi seperti kemarin.

"Saheera!"

"Astagfirullah!"

Seseorang memanggilnya dari atas. Suara itu menggema di seluruh ruangan yang memang agak kosong itu. Saheera mendonggak ke sumber suaranya, rupanya itu Iqbaal. Dirinya berdiri balkon lantai dua depan kamarnya, nampak baru selesai shalat atau mengaji atau mungkin juga akan segera tidur dengan mengenakan sarung dan sweater seperti itu.

"Apaan Bang Iqbaal?" tanya Saheera masih agak kesal karena kaget.

"Ngapain Kamu disitu? Udah malem, masuk kamar sana," titahnya. Khas sekali penghuni SP paling tua itu memerintah, sudah seperti bapak-bapak. Beberapa orang bahkan mengatakan kalau sifat Iqbaal itu mirip sekali dengan Haikal.

"Masih nungguin Nalesha, katanya mau pulang, minta dibukain pintu," jawab Saheera.

Iqbaal menggelengkan kepalanya, kemudian melihat jam dinding di lantai dua, "Jam berapa dia pulang katanya?"

"Bentar lagi, setengah dua belas."

Iqbaal mengangguk, kemudian berjalan ke arah tangga, "Biar Aku aja. Kamu ke kamar sana, gak biasa begadang juga," ujarnya. Tau sekali kebiasaan anak-anak.

"Ih, udah janji sama Nalesha," kilah Saheera.

"Udah, nurut aja. Nanti Aku yang bilangin."

"Beneran Bang Iqbaal? Aku ngantuk sih, tapi nanti Nalesha nyariin gimana?" tanyanya polos, membuat Iqbaal terkekeh geli, "Ngapain Nalesha nyariin Kamu? Dia cuma minta dibukain pintu kali, sama siapapun sama aja, gak mesti Kamu," ujarnya yang sudah sampai di ruang tamu dan duduk di sofa seberang Saheera.

"Ya ... tapi kan ..."

"Udah sana buru. Nanti telat subuhannya," potong Iqbaal cepat. Saheera akhirnya menurut saja, sudah ingin tidur juga.

"Yaudah. Makasih Bang Iqbaal. Pamit dulu." Saheera berjalan menuju tangga sayap gedung putri.

"Gak salam dulu?" canda Iqbaal sembari cengengesan.

"Harus emang?"

"Terserah sih. Tapi salam itu kan gak bayar," kode Iqbaal. Memang terkenal iseng.

Saheera memutar matanya malas, kemudian lanjut saja menaiki tangga. Iqbaal tertawa pelan, kemudian memainkan ponselnya. Namun ...

"Assalamualaikum Bang Iqbaal," ujar Saheera begitu sampai di lantai dua depan pintu kamarnya. Iqbaal tak sempat melihatnya, karena Saheera sudah menutup pintu duluan. Alhasil dirinya hanya bisa tersenyum simpul, "Waalaikumsalam warahmatullahi ta'ala wabarakatuh, Saheera," jawabnya pelan. Tak mungkin Saheera mendengar.

Lanjut Iqbaal berselancar di aplikasi sosial media miliknya sembari menunggu Nalesha yang belum menunjukkan tanda-tanda datang. Ya minimal suara deru mobil atau motor yang mengantarnya pulang pun belum terdengar. Lokasi asrama yang sengaja dibuat agak pelosok dan jauh dari jalan raya apalagi pusat kota membuat diluar sudah sangat senyap. Hanya angin dan gerakan masal daun-daun yang terdengar.

Iqbaal mulai bosan, kembali Ia menguap kesekian kalinya. "Nalesha Lo ngerjain banget asli," gumamnya pelan. Jam digital ponsel sudah menunjukkan 23.34. Itu satu jam lebih lama dari waktu tiba yang diberitakan oleh Nalesha.

Menit menit berikutnya, hampir saja Iqbaal beranjak ke dapur untuk mencari air saking bosan dan mengantuknya kalau Ia tidak mendengar suara klakson mobil di depan gerbang. Iqbaal hafal, itu suara klakson mobil Haikal, dan Ia tahu kalau Nalesha itu pergi-pulang dengan Haikal. Langsung saja Iqbaal membuka pintu utama.

"Lah? Kok Maneh? Saheera mana?" Nalesha melepas sepatu outdoornya yang sudah kotor penuh tanah itu.

"Yeee dateng dateng bukannya salam atau terimakasih Gue bukain pintu malah nanyain Saheera. Kelamaan lah dia nungguin Lo, Gue suruh tidur," jawab Iqbaal mengomel panjang lebar.

Nalesha tak peduli, langsung saja melenggang ke dalam. Keterlaluan, Iqbaal malah disuruh sekalian menutup pintu sementara dirinya langsung duduk nyaman di sofa.

"Si Ayah kenapa gak nginep sekalian? Jauh kudu ke Jakarta," tanya Iqbaal kemudian kembali duduk di sofa mengangkat kakinya. Lelaki bersarung itu kembali dengan ponselnya. Dasar, generasi supermilenium.

"Bunda lagi di Bogor katanya, jadi pulang ke rumah Baranang Siang. Biasa, bucin," cibir Nalesha dengan mata setengah memejam. Iqbaal menggelengkan kepalanya, "Sanes bucin Lesh, sieun eta mah. Sieun dicarekan ku si Bunda mun nginep lagih."

"Nah berarti si Bunda nu bucin teh," timpal Nalesha dengan aksen Sunda seadanya. Melawan Iqbaal yang memang asli warga Bandung.

Hening kemudian, Nalesha nyaris tertidur karena kelelahan di sofa, dan sebaliknya Iqbaal jadi tidak mengantuk karena menemukan beberapa hal menarik di media sosialnya. Namun tetap Ia memilih untuk kembali ke kamarnya.

"Bebersih sana Lesh. Tidur abis itu, bangun pagi lah jogging bareng Gue," ujar Iqbaal, memeriksa kembali kunci pintu dan jendela sebelum ditinggal ke atas.

"Hmm capek Saya. Ajak yang lain aja sana," jawab Nalesha.

"Siapa? Jerry? Pret! Wacana doang dia mah, pas di tagih, pasti bilang 'punten euy Kang mau belajar' gitu. Pasti da eta teh." Iqbaal menirukan gaya bicara Jerry sama persis, membuat Nalesha tertawa pelan, "Yaudah lah siapa kek asal jangan Saya."

"Hmmm." Iqbaal sudah menaiki tangga dengan mata pada ponsel. Semoga saja sarungnya itu tidak mencelakai si pemakai.

"Bal!" panggil Nalesha.

Iqbaal menoleh, "Kenapa?"

"Tadi Saheera sempet nungguin Saya gak?" tanyanya dengan ekspresi serius. Random, membuat Iqbaal mengerutkan dahi dan berbalik, berjalan mendekat ke arahnya. "Penasaran Gue, sebenernya udah lama mau nanya ini sama Lo," ujarnya menggebu.

Nalesha membuka matanya lebih lebar, mendapati Iqbaal sudah berdiri disampingnya dengan ekspresi setengah jengkel.

"Apa?"

"Lo ada apa sih sama Saheera?" tanyanya dengan suara dipelankan. Bahaya, bisa langsung jadi gosip kalau terdengar.

Nalesha bingung, "Ada apa yang ... ada apa? Kenapa nanyanya ambigu?"

"Gue nanya serius Nalesha, Lo ada apa apa ya sama Saheera?"

"Bal Saya gak ..."

"Lesh, Gue saranin hati-hati, ini asrama, dan Lo tau sendiri anak-anak gimana. Ayah sama Bunda gimana peraturannya, dan lebih jauh lagi, Lo paham Saheera itu gimana," potong Iqbaal beruntun setengah menggebu meski pelan suaranya.

Nalesha mengedipkan matanya cepat, "Kamu ... curiga Saya ... ada ... apa ... apaan sih Bal! Gak jelas!"

"Gak jelas gak jelas, kenapa nanyain Saheera terus? Orang orang itu mungkin udah mulai bergosip sejak hari pelantikan kalau Lo itu ..."

"Saya apa?" tantang Nalesha.

Iqbaal mulai kikuk sendiri, "Ya ... gitu. Masa gak paham?"

"Astagfirullah ..." Nalesha geleng-geleng kepala dramatis sembari mengusap dadanya. Iqbaal terdiam.

Nalesha lantas menunjukkan satu eco bag berwarna coklat, "Saya mau ngasih oleh-oleh Bal. Oleh-olehnya cuma Saya beli satu, buat dia doang, makanya Saya minta dia nunggu, biar yang lain gak iri dengki. Tau sendiri anak-anak gimana."

Iqbaal tersenyum menyeringai, "Nah ... ini dia yang Gue maksud. Saheera tuh spesial banget ya buat Lo? Sampe khusus dibeliin?" lanjutnya.

PRAKK!

Nalesha memukulkan tangannya ke paha tanda frustasi. Tak berniat menjawab karena pasti diperpanjang, Nalesha akhirnya beranjak, membawa carrier dan bingkisan tadi ke kamar.

"Lesh!"

"Diem. Julid Kamu udah kayak perempuan Bal. Kurang-kurangin."