webnovel

BAB 4

Suasana kantin sudah sepi, jam makan siang sebentar lagi akan berakhir. Aku bersama Olivia sedang duduk di meja kantin yang kosong, kini gadis itu telah bersedia menceritakan semua masalahnya padaku, tentunya setelah kubujuk rayu berulang-kali padanya. Sebenarnya aku merasa bersalah memaksanya untuk cerita seperti ini, karena ada sebagian orang yang tidak nyaman menceritakan masalahnya pada orang lain, tapi karena aku melihat kejadiannya dengan mataku sendiri, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

"Sebelum itu, apa kau benar baik-baik saja?" tanyaku padanya, karena aku merasa Olivia sangat tertekan, dalam hal fisik dan mental.

"Aku baik-baik saja." Olivia tersenyum tipis padaku, menunjukkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan darinya, meski bibirnya kering sekarang.

"Oke, jadi bisakah kau ceritakan semuanya sekarang?" tanyaku langsung ke intinya.

Hening sejenak, sebelum akhirnya Olivia mulai membuka mulutnya. "Sebenarnya apa yang mereka tuliskan di papan tulis tadi pagi, mereka tidak benar-benar salah soal itu."

Aku mengernyitkan alis, tidak paham dari maksud yang dikatakannya. "Bisakah kau lebih spesifik? Aku tidak—"

"Aku ini seorang pelacur, Crowder," Olivia memelototiku dengan tajam, terlihat tidak bergeming, tapi air matanya menumpuk di kelopak matanya. "Ketua kelasmu ini benar-benar seorang pelacur, Paul Crowder."

"Apa?" Napasku terhenti sejenak, sebelum pikiranku mulai kembali normal. "Jadi hanya karena itu kau dirundung habis-habisan oleh orang lain? Hanya karena kau seorang pelacur? Persetan dengan mereka, aku yakin kau punya alasan sendiri sampai memilih jalan itu. Sekarang katakan padaku, siapa saja orang yang merundungmu?"

Dengan mengelap air matanya yang sudah menetes-netes di pipi, Olivia menjawab pertanyaanku dengan suara yang parau. "Aku tidak tahu. Aku juga kaget. Aku tidak pernah membahas itu dengan siapapun di sekolah ini."

"Tapi kau pernah membahasnya dengan orang lain selain di sekolah ini, bukan?" Aku mulai menyelidiki pernyataan dari Olivia dan menemukan sedikit celah di sana. "Sebutkan siapa saja orang yang pernah kau ajak bicara soal pekerjaanmu. Aku akan senang jika kau mau menulis daftar namanya, jika kau tidak keberatan."

"Kurasa tidak perlu," ucap Olivia, yang jelas membuatku sedikit marah mendengarnya. "Kau tidak perlu bertindak sejauh itu, lagipula, jika aku menulis daftar namanya, kau mau apa? Aku tidak mau masalah ini jadi semakin serius. Biarkan saja mereka, aku yang akan mengurusnya sendiri. Itu bukan urusanmu, Crowder."

Aku mendecih. "Baik, aku mengerti," Menahan kekesalanku, aku berusaha mencari cara lain. "Kau tidak ingin aku ikut campur urusanmu, bukan?"

Olivia hanya diam.

"Kalau begitu, kita alihkan topik ini ke sejak kapan mereka melakukan itu padamu? Aku tidak akan ikut campur, aku hanya bertanya, oke?" Aku mencoba untuk fokus ke titik yang lain, agar setidaknya aku menemukan beberapa petunjuk.

"Tadi pagi adalah pertama kalinya mereka melakukannya secara langsung," jawab Olivia dengan mukanya yang terlihat tegang. "Aku telah mendapatkan ancaman-ancaman serupa dari seminggu yang lalu, lewat pesan singkat di ponselku. Aku tidak bisa mengetahui atau melacak siapa pengirimnya, karena mereka memakai fitur anonim."

"Fitur anonim, ya," Aku mengangguk-anggukkan kepalaku, mencoba berpikir keras. "Apakah ancaman-ancaman yang mereka berikan padamu, nadanya sama dengan apa yang pernah kau bicarakan dengan orang lain soal pekerjaanmu itu?"

Olivia memejamkan matanya sejenak, tampak sedang mengingat sesuatu di kepalanya. "Ya, terkadang, ada beberapa ejekan atau hinaan yang sama persis dengan apa yang baru saja kubahas dengan seseorang sebelumnya, tapi aku tidak yakin soal itu."

"Contohnya seperti apa?" Aku memancing Olivia untuk mengungkapkan masalahnya lebih dalam.

Gadis itu terdiam. Olivia kelihatan agak ragu menceritakan semua detailnya padaku.

"Misalnya seperti, semalam aku membicarakan soal klienku yang aneh-aneh, kemudian keesokan harinya, pesan ancaman langsung kuterima dengan kata-kata yang seolah-olah dia mendengar semua yang kubicarakan waktu malam bersama rekan-rekan kerjaku. Itu sangat menyeramkan."

"Oke, tapi apakah kau pernah berpikir bahwa pelakunya adalah seseorang diantara rekan kerjamu?"

Olivia menggelengkan kepalanya. "Tidak, itu tidak mungkin. Mereka bukan orang yang seperti itu."

Aku menganggukkan kepala. "Anggap saja benar, pelakunya bukan salah satu dari mereka. Lalu, apakah ada lagi seseorang yang mungkin kau curigai?"

Baru saja aku bertanya lagi, bel sekolah langsung berbunyi dengan keras, menandakan waktu makan siang benar-benar sudah habis. Aku dan Olivia terpaksa menghentikan pembicaraan, dan berjalan kembali ke kelas. Aku belum puas, informasinya masih sedikit, aku ingin mengorek lebih dalam lagi.

Kulihat, Olivia juga seperti masih ingin mengungkapkan hal-hal lain terkait masalahnya padaku, tapi sayangnya terhimpit oleh jam pelajaran.

Di sore hari, ketika jam sekolah usai, aku mencoba menghampiri Olivia di depan perpustakaan, saat gadis itu sedang berbincang dengan beberapa temannya. "Hey, apa kau punya waktu sebentar? Aku ingin kita melanjutkan—"

"Maaf, Crowder, tidak bisa sekarang," Olivia tersenyum dengan menggelengkan kepalanya padaku. "Aku harus rapat OSIS."

Pada akhirnya, kami tidak lagi punya kesempatan untuk membicarakannya, bukan hanya hari itu, tapi juga keesokan dan keesokan harinya, Olivia tampak menghindar dan menjaga jarak dariku. Sekalipun dia berbicara, hanya soal urusan-urusan kelas dan semacamnya. Itu membuatku semakin kesal karena tidak bisa mendapatkan informasi lain darinya.

Sampai akhirnya, tibalah hari di mana aku berkumpul dengan anggota-anggota organisasiku. Kami sepakat untuk selalu memulai pertemuan dan rapat hanya di Hari Jumat, seusai pulang sekolah. Hanya sekali dalam seminggu. Di luar itu, aku memerintahkan mereka untuk pura-pura tidak saling mengenal.

Seperti minggu kemarin, kami kembali bertemu di belakang sekolah, tepatnya di ruang kelas antah-berantah yang tidak digunakan lagi. Aku senang melihat mereka kembali hadir di pertemuan ini, dengan jumlah yang lengkap, tidak ada seorangpun yang bolos hari ini.

"Jadi, apa yang akan kita bahas hari ini?" tanya Nicholas Smith dengan menekan kaca matanya. Dia melirik tajam padaku, seolah-olah tidak sabar pada sesuatu yang akan kubahas di pertemuan resmi pertama mereka.

"Baiklah, aku akan langsung saja," Saat aku bersuara, kefokusan mereka dalam memperhatikanku jadi semakin serius. "Ada kasus pertama yang akan kuberikan pada kalian, ini mengenai seorang siswi yang dirundung karena pekerjaan paruh waktunya adalah menjadi seorang pelacur."

"Hoooo?" Eleanor Romanes tersenyum lebar saat mendengar kata 'pelacur' yang keluar dari mulutku. "Ternyata ada yang lebih binal dariku, ya?"

Sementara anggota-anggotaku yang lain terkejut mendengar kasus tersebut.

"Tunggu dulu," Tampaknya Nicholas Smith, anggotaku yang satu ini, akan melemparkan sebuah pertanyaan sinis padaku. "Bukankah itu melanggar hukum?"

Aku menaikan sebelah alisku. "Aku tahu arah pertanyaanmu. Kau membahas soal legalitas usia dari siswi tersebut yang terlibat dalam bisnis prostitusi bukan?"

"Tentu saja," Kali ini, nada bicara Nicholas Smith lebih kencang dari biasanya. "Kita masih di bawah umur. Melakukan pekerjaan orang dewasa seperti itu, sangat melanggar hukum. Lupakan soal perundungan, kasusnya akan sangat rumit jika pihak luar tahu dan ikut campur di dalamnya."

Aku terkekeh mendengar penjelasan dari si rambut perak berkaca mata itu. "Jadi intinya kau ingin bilang apa, Smith?"

"Intinya," Nicholas Smith memelototiku dengan tatapan matanya yang sangat tajam. "Aku tidak ingin kita ikut campur ke dalam masalah seperti itu."