webnovel

SC45 - When the Terra Falling Down

Bumi, tahun 2525 Masehi. Di masa itu kehidupan yang ada sudah sangat tidak terkendali. Kehidupan orang banyak tak lebih baik dari anjing jalanan. Seiring waktu, Bumi tak lagi bersahabat. Eksploitasi berlebihan menghancurkan semua hutan yang ada. Tanah tandus. Sungai mengering, danau menghilang, dan lautan tak lebih dari tempat pembuangan sampah raksasa di mana poluisi dan polutan bercampur baur menjadi racun mematikan. Teknologi memang sudah sangat maju, bahkan perjalanan antar bintang bukanlah sebuah kemustahilan lagi. Dan kala Bumi tak lagi bisa untuk ditinggali, para penguasa baru berbondong-bondong meninggalkan planet kelahiran mereka. Meninggalkan mereka yang tidak berdaya menunggu kematian datang menghampiri. Apakah Bumi akan benar-benar hancur? Lalu, bagaimana dengan nasib mereka yang tertinggal dalam perjuangan mencari keselamatan? Well, temukan semuanya di dalam cerita ini. Selamat membaca.

Ando_Ajo · Khoa huyễn
Không đủ số lượng người đọc
314 Chs

Perselisihan Kecil

Aldi semakin membawa motornya mendekati daratan pulau, meski keberadaannya tidak terlihat dari daratan. Bukan karena gelap saja, tetapi juga karena tumpukan sampah yang menggunung di permukaan laut. Dan itu, menjadi tempat favorit seseorang untuk satu kepentingan. Namun laki-laki tersebut tetap menjaga kewaspadaannya.

Terpaut hanya beberapa meter dari bibir pantai, Aldi tidak menemukan hal yang janggal di daratan itu—setidaknya, di sisi utara Pulau Deli ini. Aldi meneruskan laju chameleon, menyisir sedikit lebih ke barat. Untuk berapa menit kemudian Aldi baru bisa menemukan sebuah bengkel. Well, itu bisa diketahui dari bunyi perkakas yang saling beradu dari arah bangunan tersebut.

Tidak ingin mendapat masalah, Aldi kembali menyelidik lewat teropong. Ia bisa tersenyum lega, sebab hanya mendapati dua orang saja yang tengah memperbaiki sesuatu di bengkel itu.

Dua orang yang sedang sibuk di bengkel sama menyadari kehadiran sebuah chameleon di hadapan mereka. Keduanya saling pandang. Seorang yang lebih tua di antaranya memberikan kode dengan gerakan alis, dan seorang yang lebih muda segera berlalu menuju pintu belakang. Sedangkan pria yang tadi memberikan kode mendekati Aldi yang telah turun dari atas tunggangannya.

"Ada yang bisa kubantu, anak muda?" ujar pria tersebut sembari menyipitkan pandangan untuk bisa melihat lebih jelas wajah orang yang menghampirinya itu.

Aldi mengumbar senyum, namun sepasang mata liar mengawasi sekeliling. Tadi ia melihat ada dua orang, lalu ke mana yang seorang lagi? Dua tangannya berada di pinggang. Sedikit kecurigaan tidak ada salahnya, pikir Aldi. Demi selembar nyawa di badan.

"Hmm, aku punya 50K," sahut Aldi tersenyum lebar. "Sebagai gantinya—" Aldi mendekati chameleon dan mengaktifkan windshield. Sisa dari kaca pelindung itu menyembul di bagian terdepan kepala chameleon. "—Aku ingin yang baru. Bisakah aku mendapatkannya, Pak tua?"

Pria setengah baya itu tertawa kencang. Melipat kedua tangannya ke dada. "Kau tidak sedang bercanda kan, anak muda?"

"Hanya segitu yang aku punya," Aldi mencoba untuk mengakrabkan diri, ia melangkah semakin mendekati pria itu. Hingga terpaut lima langkah saja. "Ayolah, Pak tua. Kau mau bermurah hati?"

"Kecuali surga itu ada," dengus pria tersebut. "Bawa saja chameleon-mu itu ke tempat lain."

Klek!

"Sorry, Bro…"

Pemuda yang tadi bersama pria tua itu tahu-tahu muncul dari balik tumpukan peti usang di sisi kanan Aldi. Senjata laras panjang berjenis Shotgun mengarah pasti ke kepala Aldi. Perlahan, bidikannya turun dan mengarah ke dada orang.

"Kau tidak akan kemana-mana. Diam di sana!"

"Wo-wo-woo, santai, Bung. Relax…" Aldi terpaksa mengangkat kedua tangannya.

Pria setengah baya melirik pada pemuda itu. Ia hanya berpikir, mungkin pemuda–yang adalah anaknya sendiri–itu hanya mengancam saja. Tidak lebih. Ya, kewaspadaan terhadap orang-orang yang tak mengenal kata ampun—setidaknya begitulah hidup di zaman sekarang ini, pikirnya.

Hanya saja dugaan pria tua meleset.

Dengan tangan kirinya yang menyilang ke bawah tangan kanan yang menggenggam senjata, sang anak menyerahkan sebuah selebaran pada sang ayah.

Poster buronan.

Pria itu terkekeh, dari pelan berubah menjadi tawa lebih lepas sembari memandangi poster di tangan, dan beralih ke wajah Aldi.

"350K, ya?" kembali pria setengah baya tertawa renyah, bahkan lebih keras lagi. "Ini di luar dugaan," serunya.

Aldi menyeringai, sedikit memiringkan kepala. "Yaa, seharusnya sih, lebih tinggi daripada itu. Jika kau tahu apa yang tengah kupikirkan," ujung sepatu kanannya perlahan menyusup ke dalam pasir.

"Kau tidak mengerti, anak muda," sahut pria itu dan meraih seuntai kawat. Terkekeh lagi, bagai mendapat durian runtuh, pikirnya. "Segitu saja sudah cukup. Untukku, dan anakku. Kau mau menyerah baik-baik, atau…?"

Pemuda itu semakin bersemangat membidikkan senjatanya mengarah ke jantung Aldi.

"Hei-hei-hei," seru Aldi pada anak si tukang bengkel itu. "Hati-hati. Hentakannya sangat kuat. Kau bisa menangani itu?"

Anak tukang bengkel itu mendengus tak senang mendengar ucapan Adi yang jelas-jelas menyindir, meremehkan dirinya dengan shotgun di tangannya tersebut.

Berengsek, maki Aldi di dalam hati sembari memikirkan cara untuk keluar dari situasi kali ini. Bisa-bisanya mereka merangkap sebagai Pemburu Hadiah. Sialan!

Aldi tetap berusaha mengulur waktu, paling tidak sebelum ia siap untuk mengambil alih situasi.

"Hei, Pak tua," seru Aldi kemudian. "Kenapa tidak kau coba menghubungi anjing-anjing itu? Pulau Tinjil cukup dekat dari sini bukan?"

"Kau berencana mengadaliku?" delik pria tua yang melangkah sangat santai mendekati Aldi sembari merentang-rentangkan seutas kawat di kedua tangannya.

"Hei, ayolah Pak tua…" kekeh Aldi berusaha untuk terlihat wajar. "Kau tidak lihat?" Aldi menunjuk anak si tukang bengkel itu sendiri dengan satu tangan. "Anakmu yang jantan ini mengarahkan moncong shotgun-nya tepat ke jantungku? Kau pikir aku bisa menghindari itu, Pak tua?"

"Sudahlah, Ayah," sahut pemuda itu, geram karena merasa disindir Aldi lagi, dan lagi. "Kita lumpuhkan saja dia dulu—" lalu mengokang senjatanya dan semakin mengarahkan ke dada laki-laki di depannya itu.

"Wo-wo-wooii…" Aldi semakin mengangkat tinggi kedua tangannya. "Relax men. Jangan pake emosi."

Pria tua itu tertawa lagi. "Kau benar. Seharusnya anjing-anjing itu menghargaimu lebih tinggi," pujinya atas saran Aldi.

Pria tua lantas melangkah menuju meja panjang, meraih alat komunikasi yang tergeletak di atas meja itu sendiri di antara banyak peralatan bengkelnya.

"Lihat, kan?" seru Aldi pada pemuda itu sembari menunjuk pria tua.

Begitu si pemuda sedikit menolehkan wajahnya ke arah sang ayah, Aldi menendangkan pasir ke arah pemuda itu.

Kaget, si pemuda dengan cepat melindungi kedua matanya, senjata di tangan meletus tanpa sengaja. Menggema ke segala arah.

Gerakan pemuda itu kalah cepat.

Begitu Aldi menendang pasir, ia langsung merebahkan diri dan tangan kanan dengan sigap mencabut senjata. Hanya sepersekian detik saja setelah senjata di tangan pemuda itu memuntahkan pelurunya, senjata di tangan Aldi berhasil merobohkan pemuda tersebut. Cahaya biru tipis yang dilepaskan senjata Aldi menyengat kuat dada pemuda itu. Ia ambruk dengan tubuh bergetar hebat.

Dentuman senjata mengagetkan Ely yang tengah lelap. Begitu gadis cilik melihat kejadian di depan, sontak saja ia menjerit kencang.

"Tetap di tempatmu…!" teriak Aldi pada gadis cilik itu.

Ely kembali merunduk, bersembunyi di bangku belakang chameleon, membungkus dirinya dengan selimut. Menggigil ketakutan.

Pria tua yang mendengar letusan senjata dari tangan sang anak, segera bereaksi. Ia meraih pistol yang ia simpan di bagian bawah permukaan meja. Dengan cepat pula ia bersembunyi di balik meja tersebut.

Namun, kekhawatiran terhadap kondisi sang anak–lebih-lebih ia mendengar suara seperti seekor kambing yang disembelih–pria tua mengintip lewat beberapa celah benda-benda di atas meja. Amarahnya mendidih saat itu juga, mendapati sang anak terkapar menggelinjang dengan mulut berbusa di atas permukaan pasir.