webnovel

Sahabat Tidak Pernah Pergi

    "Emangnya pernah lihat aku gak baik-baik aja?" tanya balik Jessi masih dengan posisi yang sama. 

   Cleo menatap Rere yang sedang menatap Jessi. Hatinya semakin khawatir melihat bagaimana keadaan sahabatnya kini. Selama ini dirinya tidak pernah melihat Jessi sekacau ini. Selalu tampil sempurna dan baik-baik saja. Pantas dirinya ingin cepat bertemu dengan Jessi. 

    Rere semakin erat menggenggam tangan Jessi. Menyalurkan ketenangan agar dia bisa bercerita dengan jujur tentang semuanya. 

   "Tadi di mall aku ketemu Disha," kata Jessi tiba-tiba. 

   Cleo dan Rere mengerutkan keningnya bingung. Mereka tidak tahu harus percaya atau tidak, pasalnya Jessi mengatakannya dengan wajah yang aneh. Seperti sedang memikirkan yang lain. Cleo dan Rere takut Jessi hanya berhalusinasi karena masalahnya. 

   "Kalian gak percaya yah?" Jessi menangkap keraguan di dalam mata kedua sahabatnya. 

   Cleo langsung kembali fokus pada kopinya sedangkan Rere masih menatapnya dengan sama. Ia tidak pernah takut untuk menghadapi apa pun, terlebih lagi membantu sahabatnya yang sedang ada masalah. 

    "Gue juga tadi ketemu Evelyn di minimarket," sahut Rere yang kali ini membuat Jessi terkejut. 

   "Lyn?" 

   "Iya," jawab Rere santai. Ia ingin melihat akan seperti apa reaksi yang Jessi berikan. Bukan hanya Jessi, tapi Cleo juga ikut terkejut. Dirinya jadi berpikir jika sahabatnya ini sedang bercanda. 

   "Aku juga ketemu Vanesha tadi," sahut Cleo yang langsung mendapat delikan kaget dari Rere dan Jessi. 

   "Lo serius ketemu Vanes?" tanya Rere tak yakin. Mana bisa ia langsung percaya pada salah satu sahabatnya ini. 

    Cleo bingung harus menjawab apa. Mengapa situasi jadi serius sekarang? Niatnya kan hanya bercanda dengan menyebutkan satu nama wanita lagi yang tertinggal. 

   "Kalian bukannya lagi bercanda yah?" tanyanya dengan polosnya. 

   "Aku gak bercanda. Aku ketemu Disha tadi di mall waktu sama Fauzan," jawab Jessi cepat. 

   "Gue juga beneran ketemu Evelyn tadi waktu sama Satria," tambah Rere setelahnya. 

    "Oh berarti cuma aku lah yang bercanda. Bercanda aku, Re. Lagipula gimana mukanya Vanesha aja aku gak tahu," balas Cleo kemudian karena takut melihat tatapan tajam dari Rere. 

   Rere dan Jessi menghela nafas secara bersamaan. Kemudian kembali pada kopinya masing-masing. Meninggalkan Cleo yang hanya diam berpikir. Entah juga apa yang sedang ia pikirkan. 

    "Jes, hati lo terbuat dari apa sih? Kenapa lo bisa-bisanya masih terlihat baik-baik aja setelah semua ini?" tanya Rere akhirnya mengatakan apa yang hatinya ingin katakan. 

   Rasanya Jessi sudah terlalu baik pada semua orang dan menyembunyikan sendiri lukanya. Bukan kah manusia terlebih lagi wanita butuh yang namanya teman untuk mencurahkan segala keluh kesahnya? Itu adalah terapi mental terbaik untuk diri sendiri. Tidak menyimpan masalah sendirian dan malah membuat diri sendiri stress. 

   Jessi terkekeh mendengar pertanyaan Rere yang terasa lucu di telinganya. Mereka tidak tahu saja apa yang sudah dirinya lakukan sebelum bertemu dengan mereka. Yang terlihat baik-baik saja belum tentu begitu lah keadaannya. Yang terlihat tertawa lebar belum tentu ua menertawakan lelucon buatan, bisa saja ia sedang menertawakan takdie yang terjadi pada dirinya. 

   Cleo juga ikut menatap Jessi ingin lihat bagaimana reaksinya. Jujur saja, hatinya tidak pernah tenang ketika melihat Jessi terdiam dengan pandangan datar. Jessi memang bukanlah orang yang ceria di setiap saat seperti dirinya, tapi, Cleo tahu dan mengerti keadaan ketika Jessi sedang tidak baik-baik saja. 

   "Rasanya munafik kalo aku bilang aku gak kenapa-napa. Karena nyatanya aku lebih hancur dari yang kalian pikirkan." 

   Rere dan Cleo terhenyak ketika wajah wanita itu diangkat dan hanya terlihat kehampaan yang ada di dalam matanya. Bukan tatapan hangat Jessi yang selalu wanita itu tampilkan di setiap harinya. 

   Cleo segera menyentuh bahu Jessi. Hatinya sakit sekali melihat bagaimana hancurnya dia. Ini adalah yang kesekian kalinya Jessi rapuh di hadapan mereka. 

   "Jess, kamu butuh cerita. Kamu butuh sandaran. Kamu butuh didengarkan. Dan kita siap untuk itu. Kita siap untuk jadi telinga buat kamu, jadi bahu buat kamu, jadi buku diary buat kamu. Gak perlu khawatir kita akan keberatan. Enggak sama sekali kok Jess," ucap Cleo pelan. Bibirnya tersenyum meskipun matanya berkaca-kaca. 

   Rere ikut menggenggam tangan kanan Jessi dan menyalurkan kekuatan serta energi positif melalui tangannya. Ia genggam dengan erat tangan putih pucat yang terasa dingin itu. 

    "Makasih yah. Kalian sudah berusaha keras untuk selalu ada. Tapi, kalian hanya perlu tahu Jessi yang sekarang aja. Bukan maksudnya aku gak percaya sama kalian, tapi akan lebih baik jika kalian memang tidak tahu," jawab Jessi lembut. Ia tidak pernah mau menyulitkan orang lain karena kisah hidupnya yang tak layak diceritakan. 

   Rere dan Cleo mencoba untuk mengerti. Ia tidak ingin memaksa Jessi untuk melakukan hal yang mereka inginkan. Sudah cukup dirinya memiliki banyak beban, jangan tambah masalahnya. Sudah cukup mereka menjadi tempat pulang saja untuk Jessica. 

   ***

    "Kita anter pulang aja yah, Jess!" 

    "Enggak deh, gak perlu. Lagian rumahku juga deket kok dari sini. Udah kalian pulang aja duluan, udah malem juga."

   "Ya udah deh kalo gitu. Kamu hati-hati yah! Kalo udah sampe rumah langsung kabarin kita," balas Cleo yang Jessi angguki kepala. 

   Sebelum memasuki mobil, Rere lebih dulu memeluk erat tubuh sahabatnya. Menggeser segala gengsi yang dirinya miliki. Ia baru sadar jika tubuh Jessi semakin kurus dan kecil saja dari sebelumnya. 

    "Inget yah, Jess! Ada kita. Ada gue sama Cleo, inget itu aja!" 

   Jessi sekali lagi menganggukkan kepalanya terharu. Karena ternyata tuhan masih baik mau memberikannya sahabat yang tanpa pamrih. 

   "Sekali lagi makasih, Re. Aku bahagia bisa kenal kalian," jawab Jessi setelah melepaskan pelukannya. Kemudian membiarkan Rere dan Cleo untuk pergi meninggalkan dirinya sendiri. 

    Keluarganya memang tidak seharmonis keluarga lainnya. Hubungan asmaranya memang tidak semulus orang lain. Tapi, Jessi cukup memiliki alasan untuk tetap bersyukur karena masih diberi kedua sahabat yang sangat pengertian, perhatian, dan selalu ada untuknya. Hal yang paling Jessi takutkan di dunia ini adalah kehilangan. Ia selalu berharap jika biarkan mereka saja yang kehilangan dirinya asal jangan dirinya yang kehilangan mereka. 

    Cleo dan Rere memang tidak tahu semua masalah yang sudah dan sedang Jessi hadapi. Mereka berdua memang tidak pernah tahu bagaimana caranya Jessi tetap bertahan di dunia yang kejam ini. Tapi, mereka cukup memberikan Jessi alasan agar tetap dan terus bertahan. 

   Setetes air jatuh dari pelupuk matanya. Dengan cepat Jessi menghapusnya tidak ingin ada yang melihat. Sahabat tidak akan pernah pergi, Jessi harap seperti itu. Bukan hanya mereka untuk dirinya, tapi juga dirinya untuk mereka.