webnovel

Lukisan

"Ini barang terakhir yang bisa kujual padamu, Nak. Belilah!"Ungkap Bapak tua itu sambil menyodorkan sebuah lukisan yang masih dibungkus kertas. Ini untuk kesekian kalinya orang itu datang ke galeriku, menawarkan barang remeh temeh untuk dijual padaku. Sedemikian remeh temeh barangnya sehingga akupun sering cuma bisa menghargai ala kadarnya.

Pernah dibawanya segulung kain putih dan ditawarkannya padaku. Aku yang bingung buat apa kain itu hanya melongo saja tanpa ada niatan membelinya. Namun apa daya, rasa memelas yang muncul setelah melihat penampilannya mendorongku untuk membeli saja kain itu. Namun, hanya seharga tiga bungkus rokoklah aku bisa menghargai barangnya. Di luar dugaan, ternyata Bapak tua itu bukan main senangnya.

Adakalanya dia bawa hiasan rumah, mulai dari kapal-kapalan, patung kecil, sampai vas bunga hanya untuk dituker dengan sedikit uang. Pernah pula ia tawarkan sepatu hitam dengan tulisan ABRI di bawahnya, tapi waktu itu aku tolak karena benar-benar nggak ada selera membeli sepatu. Beberapa bulan sejak itu, Ia tak kelihatan.

Hingga siang ini, Bapak tua itu datang lagi dengan membawa sebuah lukisan.

Aku persilakan dia masuk ke galeriku untuk menghindari sengatan matahari. Ketika perlahan ia membuka lukisan itu, sekilas kutangkap gurat kesedihan di wajahnya. Ada sepercik keengganan untuk melepas lukisan yang mungkin telah dimillikinya beberapa lama itu, menandakan ada rasa sayang atas barang yang ia tawarkan padaku kali ini.

Namun dasar pedagang, pertama kali insting bisnisku mengatakan, ekspresi sedih itu hanya bagian dari bargaining power si Bapak demi menaikkan harga barangnya. Makanya aku juga siap-siap menjadi si pembeli yang raja tega, yang gak bakal terbuai oleh segala macam tingkah penjual dalam proses tawar menawar.

Berkali-kali dielusnya lukisan itu. Lukisan gadis muda. Ya, lukisan setengah badan seorang gadis muda dengan rambut lurus sebahu. Dan, alamak, bener-bener manis gadis dalam lukisan itu, manis dan anggun dengan senyum tipis yang disempurnakan oleh kemunculan sepasang lesung di pipi kanan kirinya. Ah, benar-benar gadis manis. Adakah dia nyata atau hanya imajinasi si pelukis?

Sontak otak dagangku menimbang-nimbang. Lukisan bagus kayak gini pasti cepat laku.

Pasti banyak orang suka. Tinggal aku permak sedikit pasti untung. Ya, aku tahu betul selera pelangganku. Makanya, tanpa negosiasi harga yang rumit, akhirnya jatuh juga lukisan itu di tanganku.

Mantap aku membelinya semantap keyakinanku untuk secepat mungkin menjualnya.

Tinggal aku beri bingkai yang senada dengan warna lukisannya. Bukan warna yang kontras atau warna-warna menyolok yang menggambarkan keceriaan, melainkan warna tua, bisa coklat atau hitam tua yang mengesankan keanggunan. Dan terbayang sudah paras gadis manis yang anggun itu. Sungguh, hasil karya sempurna yang layak diperebutkan orang. Dan keyakinanku semakin mantap, secepatnya akan kujual, pasti untung.