webnovel

Bagian 6 : Asing

Burung-burung pagi berkicau memperlihatkan betapa ramainya mereka. Mentari tengah memunculkan sinar seolah tersenyum indah. Kedua mata kecil yang terpejam mulai bergerak lirih seiring kesadaran kembali. Tatapan yang memburam semakin terlihat jelas kala tangan bergeliria pada tempat di sebelahnya yang kosong.

Liora mengalihkan pandang ke seluruh kamar, tetapi tidak menemukan siapapun. Seseorang yang dicarinya tidak ada. Ia terduduk di ranjang lalu melangkah pada kamar mandi yang tidak memunculkan suara air. Itu berarti suaminya tidak juga ada di kamar mandi.

"Apa dia tidak tidur di kamar ini?"

Pasalnya, sampai tengah malam Liora sudah menunggu kehadiran Liam. Namun, pria itu tidak datang ke kamar mereka hingga Liora tertidur sampai pagi.

Tok. Tok.

Ketukan pintu mengalihkan pandang, segera ia membuka pintu menampilkan sosok Grizel yang tersenyum.

"Nona, sudah bangun?" Yang di tanya mengangguk pelan.

"Sarapan sudah siap, Nona."

Liora tanpa sadar sedikit membulatkan kedua mata. "A-apakah dia ada di ruang makan?"

"Maksud Anda, Tuan Liam?"

Melihat anggukan dari sang Nyonya, Grizel tersenyum simpul. "Tuan Liam sudah menunggu kedatangan Anda di ruang makan."

"Apa?!"

Seketika gadis itu membulatkan kedua mata, ia segera menutup pintu tanpa mempedulikan Grizel yang terkejut. Tidak butuh waktu lama bahkan hanya 5 menit saja Liora sudah berpenampilan rapi di depan pintu kamar.

Ia segera menuruni tangga dan mendapati beberapa pelayan di sana. Ditambah seorang pria yang tengah duduk di kursi ruang makan seraya membaca koran. Kali ini Liora melangkah pelan hingga sampai di sebelah kursi. Tidak lupa memberi salam kepada Diomira dan para pelayan wanita di sekitar mereka.

"Selamat pagi."

Bukan mencoba untuk menyapa Liam, pandangan juga jatuh pada Grizel yang meletakkan gelas di atas meja makan.

Sedangkan Liam hanya diam, ia melipat koran kemudian membenarkan duduknya dengan tenang di kursi.

"Duduk dan sarapan."

Suara berat Liora dengar dan senang hati ia turuti. Kedua tangan melayang guna menghentikan Liam yang ingin mengambil nasi.

"Eum, biar aku saja yang menyiapkannya."

Liam tanpa melirik segera ia menarik tangan. Membiarkan sang istri yang mengambilkan nasi untuknya. Melihat punggung tangan Liam yang masih memerah seketika membuat Liora sangat menyesal. Disebabkan kecerobohannya membuat Liam terkenal teh panas miliknya.

Sekarang dengan cekatan Liora tidak membuang kesempatan hingga nasi tertata rapi di piring. Namun, ketika ingin mengambil lauk tangan Liam menghentikannya.

"Tidak perlu."

Gadis itu tercekat, ia menjauhkan tangan. Perlahan menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri. Suasana sarapan pagi yang mencekam dingin, tidak ada yang bicara. Hanya keheningan yang Liora rasakan, sampai detik dimana sang pria menghabiskan makanannya. Menegak segelas air dan mulai berdiri.

"Grizel, siapkan kebutuhanku hari ini. Seperti biasanya."

Liam membenarkan dasi, ingin meraih tas kerja di kursi sebelah. Namun, kalah cepat dengan Liora yang sudah berdiri membawa tasnya.

Tanpa sadar mereka saling menatap sebentar, tetapi Liam menghancurkan kala si gadis mulai menyunggingkan senyuman simpul.

"Aku antarkan sampai di depan pintu."

Mendapat tatapan tajam dari kedua bola mata biru itu sedikit membuat Liora menunduk.

"Berikan kepada Wyman."

Setelah itu Liam berlalu begitu saja menuju pintu utama rumah besar tersebut. Sedangkan Liora langsung menurunkan raut senyum di kedua sudut bibir. Tidak lama Wyman berdiri di depannya.

"Nona ..."

Kedua mata gadis itu mulai berkaca-kaca mendongak menatap Wyman.

"Pa-paman Xavier, i-ini tasnya."

Lambat tangan itu mengulurkan tas pada Xavier. Hingga tertangkap lembut dengan kedua tangan pria tua itu. Melihat Liora yang bersedih membuat Xavier sangat prihatin. Ia juga merasa sakit melihat gadis kecil di depannya menangis.

"Nona ... Anda baik-baik saja?" tanyanya.

Liora mengangguk dengan sangat pelan. Wyman melangkah guna mendekati. Ingin menenangkan, tapi teriakan sang majikan menghentikan.

"Wyman! Cepatlah!"

Segera Wyman mengundurkan diri dengan tundukan kemudian berbalik menuju sumber suara.

Meninggalkan Liora bersama para pelayan yang melihat dengan penuh iba. Diomira mendekati dan mengelus pelan kedua bahu sempit itu.

"Tidak apa-apa, Nona. Ini baru awal, yang penting Nona tidak boleh menyerah mendekatinya."

"Tapi Bi ..."

Diomira tersenyum dengan tatapan layaknya seorang Ibu. "Seperti yang saya katakan. Tuan Liam memang sangat sulit, tapi dia pasti memiliki perasaan meskipun kecil."

"Darimana Bibi tahu?" Liora mendongak.

"Tatapan dari bola mata biru yang sedari kecil itu, tidak pernah berbohong."

•••

BRAK!!

Kertas di lapisi map hitam terlempar di atas meja. Menimbulkan tatapan tajam penuh kecewa sang bos di ruangan tersebut.

"Adakan pertemuan ulang dengan perusahaan itu secepatnya, besok."

"Tapi ..."

"Aku tidak mau tahu! Segalanya harus sempurna."

Tok. Tok.

"Baik, Tuan." Karyawan pria menunduk di hadapan Liam.

Detik kemudian berbalik pergi, membuka pintu yang diketuk tadi yang sudah ada seseorang berdiri menunggu. Ruangan CEO perusahaan Lory milik Liam Mallory.

Seorang pria dengan jaket hitam dan memakai topi itu menunduk. Ia masuk ke dalam ruangan Liam dan menguncinya.

"Ada apa?"

Liam yang sudah mengenal langsung bertanya. Pandangan masih pada jendela kaca di sebelah yang menyuguhkan pemandangan kota siang hari.

Pria itu membungkuk sebentar kemudian mengeluarkan foto-foto terbaru dari dalam tas hitamnya.

"Pelacakan berhenti tepat di jalan ini, Bos."

Sembari menunjuk satu foto jalan sempit yang sepi.

"Kami tidak menemukan bukti apapun di dalam foto ini. Ternyata, orang itu bukanlah target kita."

Liam mengerut setelah mendengar penjelasan tersebut. Tangannya mengapit foto jalan sempit yang sudah benar-benar fokus menatap, tetapi tidak menemukan tanda apapun.

"Jadi, maksudmu ... kita salah target?"

"Benar, Bos."

Seketika ia melempar foto itu di atas meja. Mendengus seraya menatap tajam beberapa foto yang berserakan tersebut.

"Sudah 5 tahun aku menunggu, tapi belum juga berhasil. Dia pasti bersembunyi di tempat yang paling aman."

"Bos—"

"Lacak di manapun dia berada. Lakukan apapun dan jangan berhenti! Sampai ... dia berlutut di hadapanku."

Liam mengepalkan kedua tangan dengan tatapan tajam pada jendela lebar di depannya. Ia sudah menunggu selama bertahun-tahun, tetapi target pembunuhan belum juga terungkap.

"Baik, Bos. Saya permisi."

"Tunggu, Carlos."

Pria itu menunda langkahnya.

"Pastikan jangan sampai lolos. Target tidak boleh tahu bahwa dia buronan kita. Kalian harus lebih berhati-hati lagi."

Menatap keseriusan sang Bos membuat Carlos menganggukkan kepala.

"Vincent langsung melacak keberadaannya ketika mendapati target yang salah. Tapi, dari semua bukti untuk dilacak tiba-tiba menghilang."

"Sudah jelas dia tahu sedang menjadi buronan. Jadi, pastikan jangan sampai kehilangan jejak. Kita sudah tidak punya banyak waktu."

Carlos mengangguk. "Siap, Bos."

"Jangan pernah menghadapku, sebelum kalian menemukannya."

"Baik, Bos." Carlos membungkuk dengan sigap melaksanakan perintah.

Kemudian berbalik kala Liam mengisyaratkan dengan kedua jari untuk keluar ruangan.

•••

"Nona, sebaiknya Anda tunggu saja di mobil."

Grizel berlari kecil mengikuti langkah cepat sang Nyonya. Saat ini mereka tengah berada di depan perusahaan Lory. Grizel menyesal karena membiarkan Liora mengikutinya.

Disebabkan gadis itu menyelundup ke dalam mobil untuk bisa keluar rumah. Alhasil, sekarang istri majikannya itu tidak bisa dicegah untuk menunggu di mobil.

"Grizel, ini perusahaan miliknya?"

Tanpa peduli raut wajah pelayan muda yang sudah khawatir, ia dengan penuh takjub bertanya. Pandangannya menyusuri segala tempat di perusahaan besar milik suaminya. Ternyata, Liam sungguh orang yang sangat kaya raya. Ia percaya bahwa suaminya adalah orang yang sangat penting.

"Nona, saya mohon. Sebaiknya Anda menunggu di mobil saja."

Dengan susah payah mengikuti jejak Liora sembari membawa sebuket jumbo bunga berwarna kuning. Melihat sang Nyonya yang sangat lincah berjalan.

"Nona."

Liora berhenti dengan wajah yang masih sumringah. "Grizel, apa kita boleh masuk ke dalam?"

Pelayan itu meringis, ia cemas jika majikan mengetahui keberadaan Liora di perusahannya.

"Jangan, Nona." Liora menoleh.

"Se-sebenarnya ... Anda tidak boleh keluar rumah. Tuan muda sudah memperingatkan bahwa Anda tidak bisa keluar rumah kecuali mendapatkan izin dari Tuan Liam."

Grizel menunduk seraya menjelaskan alasannya. Ia tidak bisa melawan istri majikan dan juga perintah Tuan Liam.

Gadis berbalut dress putih itu tersadar dan langsung terdiam, raut wajahnya berubah sendu. Di samping itu, ia juga menyesal telah memaksa Grizel untuk membiarkannya mengikuti sampai ke perusahaan sang suami.

"No-nona, bu-bukan maksud saya untuk melarang Anda ke tempat ini. Tapi, ini semua atas perintah Tuan."

Gadis itu mengangguk, masih dengan raut kecewa. "Aku mengerti, Grizel. Maafkan aku."

Pelayan muda langsung menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, tidak, Nona. Jangan mengatakan hal seperti itu. Nona tidak salah, saya yang salah karena tidak memberitahu Nona sebelumnya. Seharusnya—"

"Bukan, Grizel. Aku yang salah."

"Nona, saya mohon. Jangan mengatakan seperti itu."

Liora tersenyum simpul. "Ya sudah, kau bisa melakukan tugasmu sekarang. Aku akan menunggu di mobil."

"Nona ..."

"Cepatlah, Grizel. Dia pasti sudah menunggu."

Dengan anggukkan pelan, Grizel mengeratkan sebuket bunga dalam pelukannya.

"Baiklah. Nona, berhati-hatilah."

Liora mengangguk menatap Grizel menjauh masuk ke dalam perusahaan besar itu hingga menghilang. Detik kemudian ia berbalik guna menepati untuk menunggu di mobil. Namun, tidak sengaja seseorang yang baru saja melewatinya membuat Liora terdiam.

"Hei! Tunggu."

Pria tinggi dengan topi hitam yang menutup setengah wajahnya menghentikan langkah. Liora menyipitkan kedua mata lantas membungkuk guna mengambil sesuatu dan melihat inisial 'C' di badan barang itu. Kemudian berlari kecil menuju tepat di hadapan pria tersebut.

"Penamu terjatuh." Liora mengulurkan sebuah pena hitam.

Pria itu segera mengambil cepat tanpa mendongak. Kemudian pergi begitu saja, tidak peduli kepada Liora yang sedikit terkejut sebab kepergiannya.

Liora bingung kenapa si pria langsung pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa karena sudah menyelamatkan pen miliknya.

"Mungkin dia sedang sibuk."

Gadis itu mengendikkan kedua bahu lantas berlalu pergi menuju mobil mewah yang sejak tadi bertengger di depan perusahaan tersebut. Tanpa menoleh kepada pria asing tadi yang sudah berhenti menatap ke arah Liora dengan terkejut.

"Mobil Bos Liam?"