webnovel

Bagian 12 : Perasaan yang Sulit

Pria berperawakan gagah itu tengah melamun sembari duduk pada kursi di ruang kerja kantornya. Pikiran masih bergeliria akan peristiwa tadi pagi yang berhasil membuat Liam terdiam setengah mati. Entahlah, ia tidak mengerti dengan jantungnya yang terus berdetak cepat kala memikirkan peristiwa itu.

Tangan menyentuh pipi kanan kemudian berdecak. Menyadarkan diri untuk menatap komputer di depannya. Jari-jari ingin mengetik, tetapi tidak fokus membuat ia salah ketik. Pandangan beralih pada jendela besar tepat di sebelahnya, bangunan berdiri tinggi dan cuaca yang lumayan dingin.

Namun, tiba-tiba ketukan pintu membuat Liam sedikit tersentak. "Masuk."

Setelah itu berdehem pelan dan membenarkan duduk dengan tegak.

Pintu terbuka menampilkan seorang wanita dengan kacamata bulat menghampiri.

"Permisi, Pak. Ada beberapa dokumen yang harus Anda setujui."

Wanita berpenampilan sederhana dengan baju berwarna krem di padukan jas hitam bersama celana longgar. Surai pendek sebahu, ia menggunakan kacamata kotak.

Liam mengambil dan mulai membaca isi dokumen. Di samping itu, ia mengeluarkan suara.

"Bagaimana dengan pertemuan?" tanyanya yang masih fokus.

"Mereka menyetujui untuk mengundurkan jadwal pertemuan minggu depan," jelasnya.

"Jangan sampai terlambat. Kerja sama dengan mereka sangat penting."

Liam menyerahkan dokumen pada sekretaris yang langsung di tanggapi dengan sopan.

"Baik, Pak. Saya permisi."

Wanita itu ingin berbalik, tetapi terhenti kala sang direktur utama memanggil.

"Elva."

"Iya, Pak?" Wanita itu kembali menghadap Liam.

"Buatkan aku kopi tanpa gula."

Elva mengangguk dan berkata, "Baik, Pak."

Sekretaris Elva keluar ruangan meninggalkan Liam yang melanjutkan lamunannya. Pria itu merasa banyak pikiran di tambah peristiwa tak terduga tersebut.

"Harusnya aku tidak memarahinya."

Seketika bayangan Liam memarahi sang istri dengan keras tadi pagi perihal dia mencium pipi Liam. Pada dasarnya kejadian itu tidak pernah terpikirkan, tiba-tiba saja terjadi. Liam mengerti bahwa semuanya bukanlah salah Liora, tetapi mereka berdua. Liam sadar bahwa ia juga tidak melihat jalan dengan benar.

Entahlah, akhir-akhir merasa sedikit tidak nyaman jika ia bersikap dingin kepada istrinya. Di pikiran Liam ingin menjadi sosok suami yang baik, tetapi mengingat mereka berdua menikah karena Liam tidak ingin pernikahannya gagal dan memakan malu, apalagi di hadapan sang ayah. Sehingga perasaan untuk Liora tidak ada atau mungkin belum ada.

Ponsel di atas meja bergetar, segera Liam menjawab.

"Hallo."

"Bos, dia sudah sadar dan saya sudah menemukan pelurunya."

"Jaga dia, jangan sampai dia pergi."

"Baik, Bos."

Liam mematikan sambungannya sepihak, ia berdiri sedikit merapikan dasi dan jas. Kemudian menuju pintu dan terbuka menampakkan Elva yang baru datang membawa nampan berisi kopi.

"Pak Direktur, kopi—"

"Aku pergi dulu, pastikan semuanya sudah selesai. Aku tidak akan kembali."

"Tapi, Pak."

Liam berhenti melangkah, menatap dan berkata, "Jika ada dokumen yang penting, kirim saja ke rumahku."

"Kopi ..."

Elva berhenti bersuara kala sang direktur sudah berlalu pergi. Menghiraukan ucapan Elva yang selalu di potong oleh Liam. Wanita itu mendengus menatap jejak kosong Liam kemudian beralih pada kopi.

•••

Ruangan rumah sakit dijaga ketat oleh dua orang berbadan besar yang berdiri dekat pintu. Carlos duduk pada kursi tunggu, tidak lama seseorang datang menghampiri.

"Carlos." Yang di panggil langsung berdiri.

"Bos, dia ada di dalam"

Carlos mempersilakan Liam masuk ke dalam ruangan tersebut. Terdapat seorang pria terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

"Satu jam yang lalu dia sudah sadar, tidak lama dia tidur kembali, Bos."

Liam berjalan mendekati, menatap lekat pasien yang tadi malam ia tolong. Melihat keadaan pria itu yang di temukan dengan luka tembak, Liam penasaran kenapa itu bisa terjadi. Pria itu terlihat memohon pertolongan, tetapi seakan tidak bisa.

"Carlos, jika dia sadar tanyakan tentangnya." 

"Baik, Bos." Carlos membungkuk.

"Apapun caranya agar dia bisa jujur."

"Siap, Bos." Ia berucap tegas, sembari menatap Liam yang belum berpaling.

Sampai pada detik berlalu, sang Bos berbalik dan duduk pada sofa di ruangan itu. Tidak lama suara deheman terdengar lirih, tatapan mereka berdua beralih pada pasien. Carlos menghampiri dan mendapati bahwa pasien telah membuka mata. Liam yang sadar akan tatapan Carlos segera berdiri dan mendekat.

"A-a-air." 

"Air." Carlos bergumam langsung menghambil segelas air di atas meja.

Membantu si pria minum dengan perlahan. Di samping itu, Liam menyipitkan kedua mata menyusuri wajah pasien. Namun, Liam tidak mengenalnya, ia pikir mungkin ia mengenal orang itu. Tetapi, ternyata dia hanya orang asing.

"Sudah selesai?" Pasien mengangguk menjawab pertanyaan Carlos.

"Tenang saja, kau aman di sini."

Kembali Carlos berucap kala melihat pasien menatap bingung mereka berdua.

Carlos berdehem. "Dia Liam. Teman— Ah, bukan, sahabat?" Seraya menatap Liam yang juga menatapnya tajam.

Pria berbalut jaket hitam itu langsung menggeleng dan sedikit meringis.

"Bukan juga. Dia adalah bos ku, Liam Mallory."

Pasien menatap bergantian orang asing di hadapannya, ia belum berani untuk berkata apapun.

Carlos yang mengerti pun mengangguk. "Baik, Liam adalah orang yang menolongmu tadi malam. Beruntung kau selamat dan cepat sadar hari ini."

Mendengar penjelasan tersebut, pasien langsung membulatkan kedua mata.

"K-kau ..."

Carlos bergeser dan mempersilakan sang Bos untuk lebih dekat dengan pasien.

"Asisten ku hampir menabrakmu waktu itu, untungnya kau selamat. Tetapi, karena kau terluka parah karena tembakan aku langsung membawamu ke rumah sakit."

Pasien tersebut mengeluarkan air mata dalam diam, ia mengangguk pelan.

"Te-teri—"

Liam mengangguk. "Tidak masalah. Aku ingin bertanya, kenapa kau bisa tertembak?"

Melihat pasien yang langsung diam dalam tangisnya dan jelas sekali pasien terlihat sedang terkejut. Liam mengambil kertas yang bertengger di meja dan merogoh jasnya untuk mengambil pena.

"Tulis di sini, apa yang ingin kau ceritakan."

Pasien dengan gemetar mengambil pena hitam dari tangan Liam. Menuliskan sesuatu di kertas yang ada dalam genggaman pria gagah itu.

Teliti Liam mengikuti huruf demi huruf di kertas tersebut, meskipun tulisannya tidak rapi. Namun, masih bisa di baca sebab ukurannya yang besar.

"Namamu David?" Pasien mengangguk.

Lagi tangannya bergerak di atas kertas tersebut dan Liam tidak tertinggal untuk mengamati satu persatu.

"Rumah Mawar di ujung kota?"

Liam memandang Carlos yang juga mendengar ucapannya.

"Apa maksudmu?" Carlos bertanya pada pasien.

Tertulis di bawah tulisan tersebut dengan kata 'Tolong.'

"Apa yang akan membuatku percaya untuk menolongmu?"

Setidaknya, Liam menjaga dan percaya bahwa apa yang di beritahu oleh korban itu adalah benar. Percaya bahwa pasien sungguh membutuhkan pertolongan.

Pasien menulis lagi dan Liam yang membaca.

"Orang tuamu ada di sana?" David mengangguk.

Terukir kembali dengan jelas bahkan Carlos dan Liam kali ini bisa membacanya.

"Pembunuhan."

•••

Malam belum begitu larut, kedatangan Liam disambut oleh semua pelayan tanpa terkecuali. Pandangan Liam mengamati satu persatu orang, tetapi tidak menemukan seseorang yang tengah dicarinya. Ia melepaskan jas dan menyampirkan pada lengan. Mendapati Diomira yang masih berdiam diri di sekitar ruang tamu.

"Bibi, buatkan aku kopi saja."

"Baik, Tuan." Diomira mengangguk satu kali.

Namun, baru satu langkah ingin berbalik suara serak membuatnya berhenti.

"Bibi, dimana ..."

"Iya, Tuan?"

Liam berhenti bergumam lalu menggeleng pelan. "Tidak ada."

Mengambil langkah untuk naik pada tangga pertama, tetapi ucapan Diomira menghentikannya.

"Jika, Tuan mencari Nyonya Liora. Beliau ada di dalam kamar, Tuan."

Pria itu menatap terkejut Diomira yang tengah tersenyum. Tanpa sadar tangannya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Liam seperti tertangkap basah sedang mencari sang istri. Namun, pria itu mencoba untuk bersikap biasa meskipun Diomira sangat tahu gelagat Tuan Mudanya itu.

"Iya, Bi. Aku ... tahu."

Segera Liam mengambil langkah untuk menaiki tangga, percepat jalan hingga sampai di depan pintu kamar. Berdiam sebentar dan menghembuskan nafas. Ia menekan gagang pintu lalu mendorongnya. Menatap sekeliling dengan mendapati sang istri tengah terbaring nyaman di atas ranjang.

Liam bergerak masuk perlahan sembari meletakkan jas dan tas pada sofa. Pria itu menatap sekilas istrinya lantas beralih melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Tidak membutuhkan waktu lama, Liam sudah membersihkan diri dengan menggunakan kaos santainya. Sedikit merapikan surai lalu kembali menatap sang istri yang masih tertidur.

Kaki pria itu mendekat sampai di tepi ranjang. Kedua tangan meraih selimut yang tersingkap guna menyelimuti hingga leher si gadis. Dalam pikiran Liam masih bergeliria peristiwa tadi pagi yang terus berputar di tambah perasaan yang sulit ia mengerti. Secara tiba-tiba, Liam merasa sangat ingin melihat gadis di hadapannya itu.

Pergerakan Liora yang terusik seketika membuat Liam menarik kepala yang ingin mendekat. Ia segera berdiri tegak dengan segenap nafas untuk menenangkan diri. Kemudian mengambil langkah, tetapi terhenti kala Liora mencekal pergelangan tangannya.

"Mama ... Papa ..."

Lirihan yang membuat Liam terdiam, kerutan alisnya terlihat. Ia memutar kepala guna menatap Liora yang ternyata masih memejamkan mata. Namun, cekalan di pergelangan tangan semakin erat. Tiba-tiba Liam melihat kening si gadis yang berkeringat.

"Mama ..."

"Hei, ini aku."

Entahlah, Liam sebenarnya tidak ingin bersuara, tetapi mulutnya bergerak dengan sendirinya.

"Papa ..."

Kedua mata yang terpejam bergerak penuh cemas, bibir yang tidak berhenti bergumam memanggil orang tuanya. Semakin membuat Liam tidak mengerti.

"Apakah dia mimpi buruk?" gumam Liam, tangannya tanpa sadar berbalik menggenggam tangan lembut itu.

"Mama ..."

Liam menyentuh kening sang istri yang berkeringat bersamaan tubuhnya bergerak mengigil.

"Dia demam."

Tepat di waktu yang sama, Liam melihat air mata membasahi pipi. Gadis itu menangis yang semakin lama terdengar tangisan lirih. Semakin mencekal erat pada pergelangan tangan Liam.