webnovel

Tom and Jerry

"Apakah perlu waktu sampai seharian penuh hanya untuk pemotretan iklan?" Suara Gwen terdengar penasaran dari balik ponsel. Ruby sudah berganti kostum untuk sesi terakhir hari itu. Ia merasa sudah sangat lemas saat salah satu asistennya masih menata ulang rambutnya.

"Iya. Memang biasanya seperti ini. Mereka melakukannya sekali jalan untuk beberapa gaya. Tapi ini sudah hampir selesai."

"Apa kamu tidak bosan seharian di sana?"

"Tidak. Hanya perutku selalu bergemuruh melihat makanan yang dipampang di meja. Aku hampir frustasi karena itu. Untung saja pemotretan dengan makanan sudah selesai beberapa waktu yang lalu. Aku benar-benar bosan harus makan ayam rebus."

"Apa Lukas muncul lagi di lokasi?" tanya Gwen penuh selidik.

"Hmm sepertinya tidak..." Ruby menoleh tanpa memedulikan protes asistennya yang tengah menata rambut. Telinganya menangkap suara yang ia kenal di kejauhan. Kali ini dia sudah berganti penampilan, hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Yang paling berbeda, dia membawa seorang wanita yang Ruby kenali sebagai model professional.

"Sepertinya bahan pembicaraan kita baru saja datang," desah Ruby sambil memperhatikan Lukas yang berjalan menghampirinya. Lukas tersenyum lebar dan menatap Ruby dengan congkak.

"Apa? Lukas di sana?!" teriak Gwen membuat telinga Ruby berdengung.

"Ya. Dan si playboy itu sedang menggandeng Nisya," jawab Ruby cuek. Ia kembali menatap ke depan dan membiarkan asistennya melanjutkan pekerjaannya. Ingin secepatnya ia pulang ke kossan dan menikmati buah-buah segar sebelum jam sembilan malam. Kemudian ia melirik tidak sabar ke arah jam dinding di meja riasnya.

"Nisya siapa? Bukannya di teman kamu waktu ospek?" Gwen makin penasaran. "Kuat juga daya tarik Lukas sampai bisa menggaet supermodel itu."

"Oh, Tuan Lukas!"

Ruby mendengar sapaan sang sutradara yang sedikit berlebihan.

"Sudah sampai di mana?" Suara riang Lukas terdengar sangat dekat dengan Ruby.

Ruby masih menempelkan ponsel di telinga, sambil berbisik, "Sepertinya si bos sudah tidak bad mood lagi. Malam ini sudah ada Nisya yang akan menemani makan malam."

"Aku jadi cukup tenang kamu tidak terpancing daya magnet Lukas. Devan dan Lukas itu ibarat duet maut heartbreaker kelas kakap. Oh iya satu lagi, Ibu sudah sampai Jakarta dan sekarang sedang menginap di kossanmu, jadi kalau bisa jangan pulang terlalu larut."

"Tenang saja. Sudah ya mbak, aku harus cepat selesai supaya bisa pulang sebelum jam sembilan."

Ruby menutup ponselnya tanpa menunggu jawaban Gwen. "Apa aku sudah siap?" tanya Ruby sambil mencondongkan badan ke depan cermin. Ia harus mencermati penampilannya sedetail mungkin. Saat ini setiap detik sangat berarti untuknya.

Ruby bergegas meraih sebagian ekor panjang gaunnya dan berdiri. Sepatu high heels yang ia kenakan membuat tingginya bertambah sekitar lima belas senti. Ketika hendak berjalan, tanpa sadar kakinya menginjak ekor gaun, membuat tubuhnya limbung ke depan. Dengan langkap sigap, Lukas menangkap Ruby. Kedua tangan laki-laki itu menarik Ruby ke dalam dekapan tubuhnya. Ruby menyipitkan mata saat memperhatikan cengiran usil Lukas.

Mereka tidak mendengar pekikan terkejut orang-orang di sekitar. Lukas semakin mempererat dekapannya sementara Ruby masih menatap wajah laki-laki itu. Tangan Ruby mencengkeram erat kedua sisi bahu Lukas.

Lukas masih terdiam menatap Ruby, ini kesempatan, batin Ruby. Tanpa menunggu lebih lama tangan Ruby bergerak menjambak rambut Lukas. Ia berusaha menarik rambut laki-laki itu dengan kuat. Dalam batinnya, ia berpikir harus balas dendam pada Lukas yang sudah mengingkari janji.

Semua orang di sekelilingnya terkejut, tidak percaya dengan sikap Ruby. Si sutradara segera memberi kode kepada asisten-asisten Ruby yang masih ternganga. Mereka termangu beberapa saat sebelum akhirnya ikut maju untuk melerai.

"Akk... sakit.... duh... kalau kamu begitu, aku juga bisa begini..." tangan Lukas yang semula menahan tangan Ruby, bergeser untuk menangkup kedua pantat Ruby, sedikit mengangkat kedua tonjolan empuk itu, lalu meremasnya.

Aksi ini membuat Ruby mendelik. Mulutnya ternganga tidak percaya. Sutradara dan para asistennya yang tidak memperhatikan tangan Lukas, tetap fokus untuk menjauhkan kedua tangan Ruby dari rambut Lukas.

Tanpa aba-aba Ruby langsung mengentakkan kepala sekencang-kencangnay ke dahi Lukas.

DAK~

"Sial!" Lukas meneriakkan makian.

"AWWWW!" Ruby berteriak kesakitan.

Seketika Lukas melepaskan kedua tangannya. Tubuh mereka sama-sama terhuyung dan langsung ditangkap orang-orang di belakang mereka. Lukas kemudian tertunduk dengan salah satu tangan memegangi dahi. Ruby yang mendesah kesakitan berusaha melirik Lukas.

Nisya yang sejak tadi berdiri mematung, menghampiri Lukas. Mengelus-elus rambut Lukas.

"Ruby!"

Ruby memalingkan wajah ke sutradara yang sekarang berkacak pinggang. "Saya sudah tidak dapat menoleransi kejadian tadi. Saya akan menghubungi Ibu Anita Wardana atas ketidakprofesionalan anda. Hari ini sampai di sini! Saya benar-benar sangat kecewa dengan kinerja anda." ucap sang sutradara kemudian melangkah ke arah Lukas yang sudah berdiri tegak.

Ruby masih kesakitan, sementara asistennya berusaha membantunya berdiri. "Apa aku tidak salah dengar?" gumamnya pelan.

"Kau harus kembali sekarang," bisik salah satu asistennya.

Ruby hanya bisa pasrah sementara melihat sutradara itu tengah memohon maaf kepada Lukas.

***

Ruby menyuruh salah satu asistennya untuk segera pergi membawa mobil kembali ke kantor. Sementara dia bergerak cepat memasuki pintu gerbang gedung kossannya. Ruby menjaga langkah agar tidak menimbulkan suara. Mungkin agar berharap terhindar dari hukuman ibunya.

"Ruby..." Suara dingin terdengar memanggil namanya. Otomatis, Ruby berlutut di tempat.

"Semakin lama kamu berlutut, semakin parah kerusakan gaun besanku!" Suara dingin itu membuat Ruby spontan berdiri.

Ruby memberanikan diri untuk melihat wajah ibunya. Kinanti tengah berdiri dengan aura bos tepat di ambang pintu gedung kossannya. Ruby hanya bisa menelan ludah. Siapa menerima hukuman.

"Pakai sepatumu, Ruby dan ikut ke dalam."

Ruby baru sadar ketika melihat sepasang sepatunya yang tergeletak di jalanan. Ia bergegas mengambil sepatu itu dan mengekor Kinanti yang sudah berbalik ke dalam kamar kossannya. Secepat kilat ia berdiri. Lututnya yang basah karena air di tanah tidak ia pedulikan.

Saat ia sudah sampai di kamarnya. Kinanti sudah berbalik menghadap Ruby.

"Kamu tadi menghantam kepala Lukas?" Akhirnya pecah juga bom atom yang sudah ditunggu-tunggu Ruby. Kinanti menaikkan suaranya beberapa oktaf.

Ruby berusaha menjelaskan. "Bukan menghantam, Bu. A-aku menyundul kepada Lukas. Seperti ini." Ruby mengerakkan kepalanya ke depan berusaha mempraktikkan.

Hal itu malah membuat Kinanti makin emosi. "Kamu sudah membuat Ibu malu." Kinanti menghela napas kesal. "Apa yang kamu pikirkan sampai harus menyundul kepala Lukas?"

Ruby tidak terima dan langsung membantah. "Si playboy itu sudah kurang ajar sejak pertama kali aku ketemu dia di toko..."

"Sudah. Cukup," potong Kinanti kesal. "Besok malam kamu harus minta maaf pada Lukas. Ibu sudah atur semuanya, kita akan menghadiri perayaan ulang tahun neneknya Satya, Rangga dan Lukas. Emily Wardana. Jangan buat ibu malu lagi apalagi di depan Ibu Anita Wardana."

"Tapi Bu..."

"Besok pagi kamu ikut meeting di depan sutradara. Kamu sudah membuat ibu malu di depan keluarga Wardana." Kinanti mengambil napas sejenak.

"Tapi bu, ibu perlu dengar dulu..."

Kinanti langsung mengacungkan jari, memperingatkan Ruby untuk diam. "Malam ini tidak ada makan malam. Itu sebagai hukuman."

"Tapi Bu...."

Tatapan Kinanti membuat Ruby menutup mulutnya kembali. Sebaiknya ia berhenti membantah sebelum hukumannya semakin berat.

To Be Continued