webnovel

She's Comeback

Ruby's Store

Gwen POV

"Aku perlu pendapatmu tentang ini..." Kevin meletakkan kertas yang berisikan arransemen musiknya. Aku yang sedang menatap ponsel segera meletakkan ponsel ke dalam tas. Meraih kertas musik itu dan mengamatinya.

"Ada yang aneh denganmu." Ujar Kevin memerhatikanku.

"Apanya?" Aku mengangkat wajah.

"Kamu sakit?" Kevin bertanya cemas.

"Tidak, kenapa?"

"Wajahmu merah. Akhir-akhir ini sering begitu. Kamu yakin tidak sakit?"

Aku menahan tawa, berusaha memberikan senyum yang singkat meski rasanya ingin sekali tersenyum lebar.

"Aku baik-baik saja."

"Sejak bulan madu dia memang begitu." Celetuk Ruby secara tiba-tiba.

"Siapa yang bulan madu?" Keduanya bertanya secara bersamaan.

"Siapa yang baru kembali dari Bali minggu lalu?"

"Aku hanya menemani Mas Rangga kesana. Lagipula dia disana bekerja."

"Bekerja tidak mungkin selama dua puluh empat jam kan?" Ruby bertanya dengan suara santai.

"Ruby, tolonglah..." Aku memohon dengan wajah memerah. "Bisa kita lupakan percakapan ini?"

"Memangnya ada apa?" Kevin yang tidak mengerti menggaruk kepalanya.

"Hanya yang sudah menikah yang paham. Orang seperti kita memang belum pantas untuk paham masalahnya." Ruby melirik Kevin yang langsung menampilkan wajah datar.

"Sudahlah, kurasa aku harus ke toilet." Ujarnya mengalihkan percakapan dan pergi dari tempatnya.

Aku dan Ruby terkikik geli. Kevin selalu menghindari topik tentang pernikahan, sepertinya pria itu sangat membenci mambahas itu.

"Jadi kapan mbak mau mengundurkan diri?"

Aku mendelik kepada Ruby. "Kamu ingin aku resign? Jahat sekali."

"Mbak sudah menikah, suami mbak kaya raya, kenapa mbak harus capek-capek bekerja?"

"Aku suka dengan pekerjaanku. Dia saja tidak melarang, kenapa jadi kamu yang sewot?"

Ruby mendesah dan menatapku. "Mbak harus fokus pada kehidupan rumah tangga. Aku senang mbak bantu disini, tapi menurutku mbak lebih baik di rumah saja."

"Ruby... kenapa jadi ngusir begini?"

Ruby tertawa pelan. "Pokoknya pikirkan saja perkataanku. Mbak lebih baik di rumah dan mengurus suami. Siapa tahu setelah ini mbak akan memberiku keponakan yang lucu-lucu."

Tapi perkataan Ruby terngiang-ngiang di benakku setelah aku sampai di rumah.

***

Wardana's House

Author POV

"Ada masalah?" Rangga datang dan memeluknya dari belakang saat ia hanya berdiri sambil melamun di depan kulkas.

Gwen menoleh dan membiarkan Rangga mengecup bibirnya. Saat ini Rangga sudah pindah ke kamarnya karena Gwen menolak pindah ke lantai dua.

"Aku hanya memikirkan perkataan Ruby sore tadi."

"Tentang?" Rangga membuka kulkas dan mengambil sebuah apel lalu mencucinya.

"Resign."

Pria itu menoleh kaget. "Kamu mau resign?"

Gwen mengangkat bahu. "Entahlah, aku bingung. Aku suka pekerjaanku."

"Lalu masalahnya dimana?" Rangga menarik Gwen mendekat. "Kalau kamu suka dengan pekerjaanmu, maka jangan resign, aku tidak melarang kamu bekerja."

"Tapi Ruby bilang harusnya aku fokus mengurus Mas."

Rangga tersenyum. "Jangan menjadikannya beban. Aku hanya minta kamu jangan lembur dan pulang tepat waktu bersamaku. Kurasa itu tidak terlalu sulit."

"Mas benar tidak apa-apa kalau aku masih tetap bekerja?"

"Tentu saja." Rangga menggandeng Gwen menuju ruang TV. "Dari pada memikirkan itu, lebih baik kita menonton film saja."

"Aku tidak mau nonton film zombie lagi." Ujar Gwen cepat meraih remot. "Aku jadi tidak bisa makan karena mengingat darah-darah itu."

Rangga tertawa, seharian kemarin mereka memang menghabiskan waktu menonton film pilihan Rangga yang tentu bukanlah film yang disukai Gwen. Gwen pecinta film drasa romantis dan tidak akan pernah suka dengan film bertema kekerasan ataupun sejenisnya. Ia terus mengeluh sepanjang film itu di putar.

"Tolong jangan bilang kamu menonton film Romeo dan Juliet lagi." Rangga mengerang saat Gwen membuka aplikasi Netflix di layar TV.

Rangga memberikan tatapan murung.

"Kalau begitu mau nonton apa? Kalau tidak aku mau tidur saja." Gwen menghempaskan remot ke sofa karena kesal. Rangga buru-buru meraih tangannya dan mendudukan Gwen di pangkuannya.

"Aku hanya bercanda, sayang. Kita nonton film apapun yang kamu mau. Terserah."

"Dasar menyebalkan." Gwen memukul dada Rangga dan memilih tetap duduk disana, ia enggan untuk beralih tempat. Lagipula kedua lengan Rangga sudah memeluknya erat-erat, tidak mengizinkan ia kemana-mana.

Ia akhirnya menonton film yang entah sudah berapa kali, tapi tetap menikmati alurnya. Sedangkan Rangga yang sudah sangat hafal dengan jiwa romantis yang istrinya miliki, mau tidak mau ikut menonton dan terpengaruh dengan film-film itu.

Mereka tengah fokus pada layar TV saat ponsel Rangga berbunyi. Pria itu meraih ponsel yang ada di saku celananya. Matanya menatap nomor tidak dikenal yang memanggilnya.

"Siapa?" Gwen ikut mengintip layar ponsel Rangga.

"Tidak tahu."

"Angkat saja. Siapa tahu penting."

Rangga akhirnya mengangkat dan terdiam saat mendengar apa yang disampaikan oleh penelponnya.

Serena telah siuman.

Gwen tahu ada yang salah dengan Rangga sejak menerima telepon itu. Pria itu tampak tidak banyak bicara.

"Aku tahu ada yang Mas sembunyikan dariku." ujar Gwen bergelung di dada Rangga.

Rangga menghela napas. Ia sudah berjanji untuk tidak berbohong kepada Gwen. Tapi ini adalah masalah yang cukup rumit dan sensitif untuk Gwen.

"Kalau Mas tidak mau jujur padaku, besok Mas tidur di lantai dua saja." Ancam Gwen pura-pura.

Rangga menarik napas dengan berat. Lalu mengecup puncak kepala istrinya. "Kamu janji tidak akan marah?"

"Tidak, memangnya ada apa?"

"Serena siuman."

Mendengar nama itu, Gwen seketika menjauhkan tubuhnya.

"Kamu janji tidak akan marah." Rangga buru-buru mendekap istrinya erat-erat.

"Aku tidak marah." ujar Gwen pelan.

Gwen dan Rangga sudah sepakat untuk tidak akan berpisah meskipun Serena telah siuman. Rangga bersumpah tidak akan menceraikan Gwen apapun yang terjadi, karena yang ia inginkan adalah Gwen, bukan Serena.

"Kenapa wajahmu mengatakan kalau kamu marah?"

"Bagaimana aku bisa marah? Sahabatku akhirnya siuman setelah satu tahun koma, bukankah itu berita baik?"

"Tapi kamu tidak tampak bahagia."

"Mas juga."

"Sejujurnya aku tidak peduli. Aku hanya memedulikanmu, selebihnya,aku tidak peduli."

"Tapi bukankah Serena adalah orang yang Mas cintai?" Gwen bertanya dengan suara serak.

"Sayang," Rangga menarik dagu Gwen agar menatapnya. "Aku sudah mengatakan padamu kalau aku hanya mencintaimu. Hanya kamu. Apa kamu lupa?"

Setelah percintaan mereka yang pertama, pagi hari ketika Rangga menangis di punggung Gwen, setelah mereka mengungkapkan perasaan masing-masing, Rangga mengatakan kepada Gwen bahwa pria itu mencintainya.

"Aku hanya takut." bisik Gwen pelan, menahan airmata yang hendak jatuh di pipinya.

"Tidak ada yang perlu kamu takutkan. Kamu milikku sebagaimana aku adalah milikmu."

Tapi bagaimana Gwen mampu mengabaikan Serena dan fakta bahwa sebenarnya ia hanya pengganti sementara?

To Be Continued