webnovel

Rasa Iba

Anika POV

Aku dan Om Sultan berjalan perlahan di gedung apartemen ternama di Jakarta Selatan. Mereka masuk lift dan memencet angka 11.

Keluarga Hilmar benar-benar hancur sekarang. Mereka tak punya apa-apa lagi untuk diperjuangkan. Kasus yang menimpa mereka ada setumpuk di pengadilan, tak ada celah untuk berkelit.

Dua hari itu aku sibuk terkait kasus itu. Aku dan Om Sultan ke kantor polisi untuk menyerahkan bukti tambahan, berdiskusi dengan pengacara, dan mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kasus tersebut.

Tak apa lelah sekarang karena aku bertekad, sampai mati pun dia tidak akan menutup kasus itu. Aku bersungguh-sungguh.

Aku tak sempat memikirkan perasaanku yang disakiti Satya. 

Aku tak peduli, hilang bagaikan angin. Mungkin saking sibuk dan sakitnya, hati menjadi kebal. Atau mati rasa?

"Pak, tolong beri saya waktu dua hari lagi."

Om Sultan dan aku berpandangan mendengar suara memohon itu. Mereka spontan menoleh ke depan, tepat di sumber suara tersebut.

"Debt collector dan pihak bank," bisik Om Sultan memahami. 

Aku menyilangkan tangan dan menatap adegan di depannya sambil tersenyum senang, seolah itu acara humor di televisi. 

"Klien lari karena kasus ini. Hutang perusahaan tidak bisa ditutupi," ujar Mika.

"Tidak bisa! Kami sudah menyita semua barang pribadi Hilmar!" ujar orang bertubuh tambun.

Mika menangis sesenggukan. "Saya janji akan melunasi. Tapi tolong beri keringanan waktu."

Wajah Mika memerah karena tangis. Aku menelan ludah melihat Mika begitu tak berdaya. Tubuhnya menjadi lebih kurus.

Aku berbalik, sudah cukup melihat pemandangan di depannya, bukti bahwa usahanya selama itu tak sia-sia.

"Mau ke mana kamu, An?" ujar Om Sultan mengikuti langkahku.

"Pulang," jawabku singkat.

***

Serena POV

"Bagaimana keadaan Nisya?"

Aku mengangkat pandangan dan melihat Tante Anita mengulurkan cangkir berisi teh hangat yang masih mengeluarkan uap.

"Tadi masih di ICU, Tante. Menurut keterangan polisi, Nisya menabrak pohon besar di pinggir jalan hingga tubuhnya terpelanting jauh dan kepalanya membentur trotoar."

Tante Anita memperhatikan tanganku yang bergetar saat meneguk teh buatannya.

"Semoga dia baik-baik saja."

Aku mengangguk lemah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, apalagi mengingat keadaan Nisya yang harus dioperasi. Tadi pagi, saat mendengar musibah yang menimpah keluargaku, aku meninggalkan Nisya begitu saja. Entah bagaimana kabar adikku sekarang.

"Tante Anita, terima kasih atas kesediaan Tante untuk membantu keluargaku, aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikan Tante dan Om Rama," lirihku menatap cangkir di tanganku.

"Kalau kamu ingin membalas semua kebaikanku, maka penuhi permintaanku."

"Tante, sampai kapan pun aku tidak mau menikah dengan Rangga. Dia sudah seperti saudara bagiku. Lagipula, aku tahu pasti Gwen sangat mencintai dia, apa nanti tidak cemburu seandainya aku menjadi istri kedua?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku tidak punya daya untuk berdebat.

"Pasti akan cemburu, Ren. Tapi, tante tidak peduli. Akan lebih sedih jika nanti tidak ada yang mengurus keluarga itu," tutur Tante Anita dengan tatapan menerawang.

Dahi Tante Anita berkerut. "Maksud Tante apa?"

Tante Anita mengajur napas perlahan, lalu menatapku lama. "Tante akan menceritakan sebuah rahasia padamu, tapi aku minta kamu berjanji tidak akan cerita pada siapa pun, termasuk Rangga dan Rama."

Aku semakin bingung mencerna kalimat Tante Anita. Hatiku membisikkan ada sesuatu yang tidak beres, entah apa.

"Apa Tante menyembunyikan sesuatu dari mereka?" pertanyaan itu meluncur juga dari bibirku.

"Tante, divonis kanker rahim stadium empat," aku Tante Anita setelah hening menjeda sejenak.

Mataku melebar mendengar pengakuan yang tidak aku kira. "Tante bercanda kan?" Aku bertanya lagi, mencoba meyakinkan telingaku tak salah mendengar. Aku berharap Tante Anita hanya bercanda, tetapi harapanku itu gugur melihat gelengan lemah dari wanita itu.

"Kenapa Tante tidak jujur sama Om Rama? Aku yakin beliau akan mengusahakan pengobatan untuk Tante." Serak suaraku berucap.

Tante Anita tersenyum getir. "Tante tidak mau menanam harapan palsu. Sel kanker sudah menjangkiti rahim dan organ penting lainnya dan tante tau belum ada obat yang bisa menyembuhkannya. Kematian sewaktu-waktu bisa menjemputku. Tante tidak mau saat tante pergi, keluarga itu kembali merasakan kesepian dan kesendirian."

Aku menggeser duduk lebih rapat pada Tante Anita, meletakkan cangkir ke atas meja kaca berbentuk elips yang ada di hadapan.

"Tante, jangan mendahului takdir Tuhan. Dia yang menentukan hidup dan mati kita. Bukankah sebagai manusia kita wajib berusaha? Jadi, jangan patah semangat, ya...." pintaku sembari mengutus senyum di bibir, mataku mulai berkabut terhalang genangan air di kelopak. Ada iba sekaligus prihatin menyusup ke relung. Aku tak mengira di balik tawa Tante Anita, wanita itu sedang menahan sakitnya sendirian.

Mata Tante Anita mengembun mendengar ucapanku. Dia menggenggam kedua tanganku erat. "Kenapa, Ren, saat banyak wanita berlomba ingin menjadi istri Rangga, kamu justru menolak?"

Aku diam sejenak, aku memikirkan jawaban yang tepat. "Karena aku menyukai orang lain, Tante."

"Boleh tante tahu siapa?" Tante Anita bertanya dengan tatapan menyelidik.

Aku menyandarkan punggungku ke sandaran sofa. "Bukan siapa-siapa, Tante. Hanya seorang yang bahkan saat tidur pun aku tak berani bermimpi menjalin hubungan dengannya, untuk sekedar menyapa selalu gemetar." jawabku dengan tatapan menerawang jauh.

"Ren, berjanjilah padaku. Jika, suatu hari sesuatu terjadi padaku, menikahlah dengan Rangga." Tante Anita menahan daguku yang hendak bergerak menolak permintaanku dengan telapak tangan. "Aku tidak menerima penolakan. Kumohon... hanya kamu yang aku percaya untuk menjaga keluarga Wardana."

Aku mengembuskan napas perlahan. "Aku berjanji, tapi aku juga akan memastikan itu tak akan terjadi. Tante pasti sembuh."

To Be Continued