webnovel

Langit Musim Hujan

Kampus

Anika menurunkan lengan. Tubuhnya mengejang karena teriakan

keras tadi. Namun dia tak berniat berbalik, terlalu hafal dengan

si pemilik suara itu. Ya, dia terlalu hafal. Ditatapnya pagar pembatas

yang berada tepat di hadapannya dengan nanar. Reaksi macam

apa yang dikeluarkan tubuhnya saat ini? Perasaan perih yang

ingin dimuntahkan.

Satya berlari menuju Anika, lalu menarik napas lega karena bayangannya tak terjadi. Gadis itu terpaku, menatap lurus ke depan, tak berniat sedikit pun melihat ke arah Satya.

Satya tersenyum lega, dan berjanji takkan pernah membiarkan

Anika berbuat semaunya lagi.

Satya menoyor pelan puncak kepala Anika dua kali saat berdiri

di sampingnya. Arah pandang kedua manusia itu berbeda. Satya

bersandar di pagar pembatas.

Hati Anika berdesir. Sudah berapa lama dia tak berada sedekat

itu dengan Satya?

Satya melipat tangan, melirik Anika. "Mau berbuat nekat lagi?"

ujarnya sinis.

Anika mengernyit. Apa?

"Kamu mau terjun dari sini?"

Anika melirik Satya, tak mengerti. Oh! Ia paham. Bodoh, teriaknya

dalam hati, mana mungkin aku melompati pagar setinggi ini?

Lelaki ini kebanyakan berkhayal.

Satya menarik napas panjang, merapal setiap kata yang ingin

dilontarkannya, yang ternyata malah keluar sebagai kata-kata

bernada keras. "Kau sudah bosan hidup?! Kapan sih kamu menghargai

hidup? Seharusnya kamu merasa beruntung karena masih hidup!

Banyak orang di luar sana yang ingin hidup! kamu malah..."

Satya menghentikan ucapannya saat Anika sedikit mundur dan

menatapnya. Gadis itu tersenyum meremehkan."Kamu... tidak sedang mengkhawatirkanku, kan?" Telak.

Anika mengucapkan kalimat yang membuat ucapan Satya

mati. Mati kutu, tepatnya. Pemuda itu tak mampu menjawab. Satya

berpikir keras, kenapa gadis ini begitu jujur? Bicara langsung dan

apa adanya. Lalu kenapa pula dia gugup?

"Iya, Om Sultan khawatir kamu kenapa-napa. Gwen, Rangga, Devan,

Lukas khawatir dan..." Satya berusaha melanjutkan kata-katanya.

Anika berbalik, bersandar di pagar pembatas gedung itu, bersebelahan dengan Satya. Kesal karena Satya bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa di antara mereka. Kesal karena Satya menjauhi dan mendekati dirinya sesukanya.

"Aku sedang bertanya tentang kamu! Aku tahu mereka khawatir tentang aku. Kamu tuli? Aku tanya itu kamu! Bukan sama mereka. Kamu mengkhawatirkanku?"

Anika menahan tawa saat melihat semburat merah mengalir di

telinga Satya. Pemuda itu tak bisa menyangkal lebih lama lagi. Ia

merasa menang.

Satya merasakan darahnya mendidih. Rasanya sudah lama sekali

ia tak berkomunikasi dengan Anika, tepatnya pasca kejadian itu.

Jujur dia begitu merindukan Anika. Kalau saja diizinkan, dia ingin

memeluk tubuh mungil itu dengan sekuat tenaga. Lalu meneriakkan

kata rindu.

Apa?

Satya menghela napas, kemudian mengacak rambut Anika pelan.

Dia tak bisa membohongi diri lagi. Ah, dia jengah membohongi

diri sendiri di depan gadis itu. Toh seberapa pun dia mengelak,

Anika gadis serbatahu yang tak bisa dibodohi.

"Iya. Puas?"

Anika menengok ke lain arah. Dadanya panas. Ia ingin berteriak.

Tanpa sadar, senyum manis terukir di wajahnya. Ia menarik napas,

kemudian menantang manik mata Satya. Ekspresinya kembali datar.

Apa yang membuatnya berubah saat dekat dengan pemuda itu?

"Tadi aku tidak berniat bunuh diri kok"

Satya menelan ludah. Dua kali. Dua kali ia salah sangka terhadap

gadis itu. "Terus?"

"Hanya menikmati ketenangan." Mmm… jawaban sekenanya.

Anika tersenyum. "Mana mungkin aku bisa lompat dari pagar setinggi

ini? Stupid!" Ia menahan tawa yang akan meledak karena melihat

ekspresi Satya.

Satya menghela napas. Lega. Ternyata dugaannya salah. Syukurlah.

Bagaimana bisa ia membayangkan gadis semanis Anika tak

bernyawa? Pasti dia menjadi gila seketika.

Apa? Apa tadi Satya mengikrarkan bahwa dia tak ingin kehilangan

Anika?

Satya meraih tangan kiri Anika. Bekas jahitan masih terlihat jelas

di sana. "Yang ini saja bekasnya belum hilang. Jangan pernah lagi

buat bekas lainnya. Aku khawatir!"

Anika terdiam. Dia tahu ada kesungguhan dalam kata-kata Satya.

Bahkan pemuda itu selalu terlihat serius di depannya. Anika

menggigit bibir bawah. Bimbang.

Ada yang ingin dibuktikan, tapi bagaimana caranya? Ada yang

tak bisa dijelaskan. Karena itulah timbul kebimbangan, sulit

dibuktikan.

Anika berada di situ. Di situasi bimbang.

Jauhi Satya. Pembawa sial.

Selalu. Kata-kata itu selalu terdengar di telinga saat dia melihat

Satya. Kata-kata itulah yang mendorongnya untuk menjauhi Satya.

Dia tak ingin Satya memasuki hidupnya, walaupun merindukan

lelaki itu.

Satya menatap wajah Anika yang diam dan mengeras. Ada yang

dipendamnya. Andai saja dia bisa jadi tumpuan gadis itu.

"Langitnya bagus, tapi bukan kamu. Masih ingat kan, aku pernah

bilang bahwa kamu langit musim hujan?"

Anika mendelik. Tergetar. Ia bertanya dalam hati, tak bolehkah

dia egois untuk sekali saja? Tak bolehkah dia menikmati saat ini

untuk dirinya sendiri? Semua yang terpendam tak mampu dia

tahan lagi.

"Kalau begitu, kamu langit musim semi," cetus Anika.

Satya mengangkat sebelah alis.

"Karena kehadiranmu membuat semua yang ada di sekeliling

bahagia," ucap Anika pada akhirnya.

Satya tersenyum mendengar penuturan tersebut. Hatinya terasa

panas dan jantungnya berdebar-debar. Apa tadi… Anika memujinya?

Ada yang membuncah dalam dadanya. Dia tak bisa lagi

menyembunyikan perasaan. Dorongan untuk merengkuh gadis itu

ke pelukannya tak bisa lebih lama lagi menyiksanya.

Seharusnya mereka sama-sama tak membohongi diri.

Dengan gerakan cepat, Satya menarik tangan Anika, kemudian

memeluk gadis itu erat. Satya membenamkan kepala di bahu Anika.

Darahnya mengalir cepat saat dia menghirup aroma stroberi

sampo Anika.

Anika tersentak saat mendapati dirinya dalam pelukan Satya.

Begitu erat. Dadanya menempel di dada Satya hingga dia bisa merasakan detak keras jantung pemuda itu. Dengan cepat Anika menundukkan wajah. Dia tak ingin Satya melihat semburat merah yang menjalari pipinya.

Satya membiarkan angin mewarnai sorenya bersama Anika, angin

yang mengantar perasaannya.

Tanpa sadar, atau entah memang itu keinginan sejak lama, Satya

mengutarakan, "I miss you."

Anika diam, hanya menikmati paduan rasa yang baru pertama

kali dia rasakan ini. Paduan yang membuatnya tersenyum. Gejolak

emosi yang orang sebut cinta.

Sudahkah hati dingin Anika mencair pelan-pelan?

To Be Continued