webnovel

Drama

Lombok

Karina POV

Restoran tampak lengang saat aku masuk untuk makan malam. Aku masih memikirkan Ka Rangga. Aku tidak suka mengecewakannya karena sudah menolongku, tetapi permintaannya tidak mungkin aku kabulkan. Aku jelas tidak akan berada di sini saat Juan mengambil alih kepemilikan.

"Apa yang kamu rekomendasikan dari menu yang ada?" Juan menarik kursi dan duduk di depanku.

Aku pikir dia akan meminta makanannya diantar ke vila. "Tergantung kamu mau makan apa."

Aku menatapnya lekat. Apa yang ada dalam pikirannya? Kenapa dia begitu yakin aku mau bertahan di tempat ini dengan menggunakan Ka Rangga untuk menyanderaku? Dia pasti bercanda. Aku pikir dia cukup mengenalku karena meskipun hubungan kami singkat, kami sempat bekerja bersama. Interaksi kami memang tidak terlalu intens, karena kami hanya akan berkomunikasi lama kalau itu menyangkut pekerjaan atau masalah kesehatan ibunya.

"Kamu tahu makanan kesukaanku."

Entah kenapa, aku kehilangan semangat menarik urat leher. Ini mungkin akan menjadi pertemuan kami yang terakhir kalau aku meninggalkan tempat ini. Lebih baik dia menganggapku sudah menerima semua yang terjadi di masa lalu sebagai takdir, dan sekarang aku sudah tidak merasakan apa-apa lagi karena perpisahan itu.

"Aku tidak ingat semua hal yang kamu suka." Aku berusaha terdengar santai. "Kita sudah cukup lama berpisah."

"Sate ada?" Juan tidak membantah. Dia menyebut salah satu makanan kesukaannya.

Aku melambaikan tangan memanggil pelayan untuk memesan makanan untuk kami berdua. Selera makanku sebenarnya sudah turun, tetapi melarikan diri tidak akan membuatku terlihat dewasa.

"Semoga cocok dengan seleramu. Hati-hati dengan sambalnya."

"Kamu masih ingat aku tidak terlalu suka makanan pedas."

Sial!

"Oh ya, sudah bicara dengan Rangga tentang penawaran yang kuajukan?" Juan mengalihkan percakapan dan menyebut nama Rangga tanpa embel-embel 'Kak' lagi.

Aku kira dia tidak akan membicarakan ini denganku. Toh main aman dengan menggunakan Ka Rangga sebagai pion akan lebih nyaman untuknya. Kalau dia belum lupa, aku bukan teman bicara yang menyenangkan saat emosi.

"Kalau kamu tertarik sama tempat ini, silahkan ambil alih." Aku memasang ekspresi tidak peduli. "Tidak ada urusannya denganku."

"Tentu saja ada. Kamu yang akan mengelolanya."

"Aku mengelola tempat Ka Rangga." Aku mengulas senyum, semoga tampak tulus. "Aku tidak akan mengelola tempat ini untuk kamu."

"Kenapa tidak? Apa bedanya aku dan Rangga?"

Tentu saja berbeda. Ka Rangga tidak pernah membuatku sakit hati dan merasa ditipu habis-habisan. Ka Rangga tidak pernah membuatku merasa kasihan pada diriku sendiri. Ada banyak alasan lain kalau mau disebut.

"Kamu sendiri yang bilang kalau kamu suka tempat ini. Kenapa kamu harus berhenti dari sini hanya karena tempat ini berganti pemilik?"

Aku tidak yakin bisa menjawab pertanyaan itu dengan jujur, jadi aku diam saja.

"Kamu masih sakit hati dengan ak..."

"Bukan sakit hati," potongku cepat. "Aku kecewa. Tapi seperti yang aku bilang, kita sudah lama berpisah. Aku sudah melanjutkan hidup. Kita sudah jadi bagian dari masa lalu."

"Aku minta maaf."

"Kamu sudah minta maaf dulu." Aku tidak ingin membicarakannya. "Itu sudah cukup."

"Tapi kamu tidak pernah bilang sudah memaafkanku."

"Karena dulu aku kecewa." Aku benar-benar ingin mengakhiri pembahasan tentang masa lalu itu. "Sekarang aku sudah memaafkanmu."

"Kalau begitu, kamu tidak seharusnya pergi dari sini, meskipun aku akan membelinya dari Rangga."

Aku tidak merespons.

"Aku membeli tempat ini sebagai investasi. Kalau kamu yang mengelolanya, aku sama sekali tidak khawatir akan risiko merugi. Pikirkan lagi sebelum memutuskan pergi. Ini tempat yang kamu bangun. Kamu pasti merasa terikat di sini. Aku juga tidak akan merasa bersalah karena kalau kamu pergi, alasannya pasti karena aku. Seperti yang aku bilang tadi, Rangga dan aku sebenarnya tidak ada bedanya. Aku juga tidak akan sering berada di sini kalau itu yang kamu takutkan. Aku tahu kamu masih sakit hati meskipun menyangkal. Apa yang aku lakukan dulu memang buruk."

Aku membuang pandangan. Memang buruk. Tidak ada wanita yang suka ditipu. Dan dia sudah menipuku sejak awal saat mengajakku pacaran. Aku percaya padanya. Bahkan sakit itu masih terasa saat aku mengingatnya sekarang.

***

Jakarta

Author POV

Sultan mengunjungi Restoran Wijaya lagi. Sarah yang menemuinya.

"Hara tidak masuk hari ini. Dia mengambil cuti," katanya. "Pulanglah."

"Sampai kapan?" tanya Sultan penasaran.

Sultan sedikit kasihan melihat Sultan yang terus-menerus memperhatikan pintu dapur. Berharap Hara keluar dari sana. Sultan sudah menunggu selama berjam-jam. Akhirnya Sarah bersimpati 

dan mendekatinya untuk memberitahukan bahwa Hara tidak masuk. "Mungkin sampai minggu 

depan." Sultan menatap pria di depannya dengan simpati. "Pulanglah. Kembalilah minggu 

depan."

Sultan membayar pesanannya dan keluar dari restorannya. Hara benar-benar menjauhinya. Sultan

mengambil handphone nya.

"Dimas Satya Wardana," kata suara diujung telepon.

"Satya,ini aku," Sultan menelepon dari balik kemudi. "Kamu ingat tentang tawaran kerja sama yang 

pernah kamu utarakan?"

"Ya. Tentu saja Om," jawab Satya.

Sultan menatap kegelapan malam. "Aku menyetujui tawaranmu."

Satya terdengar senang. "Aku senang Om menyetujuinya."

"Kapan kita akan bertemu untuk membahas soal kerja sama ini?" tanya Satya.

"Kita ada acara keluarga besok sore," kata Satya.

"Baiklah," kata Sultan. "Sampai jumpa besok sore."

Keesokan sorenya, Satya bertemu Satya di restoran apartemen. "Jadi, apa yang membuat Om berubah pikiran?" tanya Satya penasaran.

Hara

Sultan tersenyum. "Aku suka hotelmu. Aku sudah melihatnya. Aku bisa membuat rancangan perhiasan khusus hotelmu. Aku juga ingin membuka cabang toko perhiasanku di hotelmu."

Satya menatap Sultan tajam. "Om benar-benar sudah memikirkannya."

"Tentu saja."

"Om punya dua toko di paris, satu di New York, dan sekarang di sini." Satya menjabarkan apa yang diketahuinya tentang bisnis Sultan. "Keuntunganmu tahun lalu meningkat sangat tajam,bukan?" Satya tidak pernah berbisinis tanpa mengenal calon rekan bisnisnya meskipun itu keluarga.

Sultan tersenyum. "Tapi tidak sampai setengah dari keuntunganmu bulan ini."

Satya tersenyum balik. Dia tahu dia berhadapan dengan orang yang tidak bisa di remehkan. 

Seandainya Sultan menjadi lawan bisnisnya, Satya pasti akan mendapatkan tantangan baru yang menarik. Hal yang sudah lama tidak dia rasakan. Tapi bekerja sama dengan Sultan pun merupakan tantangan tersendiri. Satya merasa masih ada alasan lain kenapa Sultan mau bekerja sama dengannya. Rasanya tidak semudah itu Sultan bisa berubah sikap. Bergabung ataupun tidak, Satya sudah sukses. Dia tidak perlu ketenaran lagi. Satya memutuskan untuk tidak mengetahui alasan tersebut hari ini.

Masih ada lain waktu.

"Aku akan mengajukan proposal kerja samanya minggu depan," kata Satya.

To Be Continued