webnovel

Bahagia Versiku

Flashback On

Bandung

Hara POV

Aku gusar, tak punya ide tentang apa yang akan aku katakan. "Aku utusan kekasihmu. Dia..." terdengar aneh. "Aku bertugas mengirim pesan. Kekasihmu..." kalimat macam apa ini. Aku bergumam sendirian.

Sesekali mengintip lagi telepon di ujung ruangan, berjalan kesana-kemari, berpikir, tangan kiri terlipat di dada, sedang bibir menggigit ujung jari telunjuk tangan kanan.

Aku melirik warna jingga di ujung langit lewat jendela kaca, hampir memudar. Aku harus bergegas. Tidak akan sesulit apa yang aku pikirkan, ini memang tugaku sebagai karyawan wartel, kan. Melakukan panggilan sesekali, menerima panggilan dan menyampaikan panggiran, aku berusaha menghibur diri.

Tapi ini tidak sesimpel itu, sudut kepalaku berargumen.

Baiklah. Setelah melipat ujung kaos oblong di bagian lengan, tangan kiri kembali meraih gagang telepon untuk ketiga kalinya, berlanjut menekan tombol dial.

Berdering satu kali. Dua kali. Tiga kali. Aku hendak menutup sambungannya saat suara seorang gadis terdengar mengucap sapaan di seberang telepon.

"Halo! Halo! siapa, ya?" lanjut suara di seberang telepon memecah keheningan, bertanya. Suaranya lembut dan teduh, begitu yang aku tangkap.

"Ya, Halo!" Aku merasa canggung.

"Ya? Cari siapa?"

Cari siapa? Bahkan aku tidak tahu nama seseorang yang aku telepon. Aku juga tidak tahu siapa lelaki yang menyuruhku. Bagaimana jika itu gadis yang salah?

Aku menarik napas. "Hai, aku hanya ingin menyampaikan pesan, maaf, malam ini kekasihmu tak bisa menelpon."

Tak ada balasan suara. Hening lagi.

"Halo, kau masih di sana?"

"Iya. Kau, siapa?"

"Aku.... Hara."

"Kau bilang tadi, kekasihku?"

Aku mengangguk, tentu seseorang di seberang sana tak dapat menyaksikan anggukan itu.

"Kau mau menitipkan pesan balik?" tanyaku mencoba memecah ketegangan sendiri.

"Tidak, terima kasih."

"Sama-sama, baiklah, aku akan menutup teleponnya."

Percakapan itu berakhir dengan sapaan yang dijawab pemilik suara teduh tadi.

Selesai. Aku lega. Sesimpel itu. Kemudian aku menghempaskan tubuh ke sofa.

"Kau baik-baik saja?" Ayah mendadak sudah ada di depannya.

"Eh? Iya, Yah."

"Ada masalah?"

Aku menggeleng, sukar menjelaskan situasinya. "Baru menelpon kawan."

"Bagaimana hari pertamamu?"

"Baik, Yah. Ayah tidak perlu khawatir. Hara bisa mengatasinya dengan baik," lanjutku bersungguh-sungguh mengatakannya.

Terlibat menjaga wartel menjadi keinginannya sejak dulu karena lelah merasa kesepian sendiri di rumah. Meringkuk di balik jendela bertahun-tahun setiap senja datang, merasa sedih, takut, sendiri.

Ayah dan ibu adalah orang baik di mataku, aku paham betul apa yang keduanya lakukan ialah demi menopang kehidupan keluarga. Maka aku tak pernah protes pada takdir. Menyimpan sendirian perasaan sepi. Sampai pada kesempatan untuk menjaga wartel tiba, aku tak menyiakan kesempatan. Aku tak berharap hal yang muluk-muluk, hanya ingin menepis rasa sepi dengan hal baru sampai nanti tiba waktu kontraknya ibu habis lalu pulang.

"Hara, kamu mash ingat pesan ayah?" Ayah mendadak terlihat serius, membenahi letak kacamata.

"Soal... teman laki-laki?" Aku menebak, mungkin ayah mendengar percakapanku barusan. Aku tadi menyebut-nyebut soal kekasih. Dan tebakannya tepat.

Ayah mengangguk.

Aku tidak pernah melupakannya. Tentang pesan ayah untuk tidak bermain-main tentang hati.

Ayah berpesan kepadaku, 'Jangan pacaran. Kamu boleh jatuh cinta, Hara, tapi saat itu tiba, kamu juga harus siap patah hati.' Hara ingat betul detail pesan ayah. Itu sebabnya aku tidak punya kesempatan dekat dengan lelaki. Pembawaanku yang lebih banyak diam juga membuatku tak memiliki banyak teman di sekolah.

Lelaki berkaca mata di depanku ini tidak sering bicara banyak padaku, tetapi sekali berbicara, aku tahu itu bukan hal yang sederhana.

"Ayah percaya padaku, kan?" Aku meyakinkan, tidak ingin Ayah berubah pikiran. Lagipula, aku terbiasa sendiri, tak ada bayangan cinta-cintaan dalam pikiranku. Setidaknya untuk saat ini. Maka tadi, saat aku harus berurusan dengan sepasang kekasih yang gagal berkomunikasi karena suatu alasan, ada perasaan aneh di dadaku. Entah apa, aku belum paham.

Flashback Off

***

 Surabaya

Gwen POV

Tuhan Mahabaik sedang menyapaku malam ini, melalui rembulan terang dan udara yang lebih hangat. Lalu seperti biasa, aku mengingatmu lagi.

Aku ingat bagaimana kamu menanyakan di mana tempat kesukaanku selain kamar dan perpustakaan. Kemudian satu pertanyaan itu menjadi obrolan ringan menjelang pagi yang dingin. Kala aku menjadi temanmu berehat setelah membakar lemak sebagai anggota tim basket kampus. Kamu yang menemaniku melempurkan tugas kuliah di kafe, sembari ngopi dan tertawa.

Ketika obrolan sederhana kita diselipi sedikit perhatian dan harapan.

Seperti aku yang bahagia menunggu suaramu terdengar di pertemuan kelas akhir pekan. Aku bahagia ketika kamu memakai kemeja putih yang kusuka.

Aku memang tidak tahu bagaimana bahagia versi dirimu. Tapi kuharapkan, tentangku memiliki sisi bahagia di hatimu. Karena sampai saat ini, aku masih berbahagia jika mengingat betapa konyolnya aku ketika jatuh hati padamu. Meski sesekali aku harus menitikkan air mata, saat aku mulai sadar bahwa kamu hanyalah bayang-bayang yang mengasyikkan tanpa mampu direalisasikan dalam tindakan.

***

Jakarta

Anika POV

Mama sudah sadar.

Hanya kata itu yang terngiang di telingaku. Aku sudah memberitahu Om Sultan, memberi kabar bahagia itu kepada orang yang selama ini 

terlalu berjasa untukku. Om Sultan tampak sangat senang, langsung membolehkanku ke Bandung.

Bahkan saat mengambil beberapa baju dan memasukkannya ke tas, Aku sampai tak menyadari ada orang yang memperhatikanku dari luar kamar.

Setelah semuanya beres, Aku segera berjalan menuju pintu kamar.

Aku kaget menyadari Satya berada di depannya. Tatapan pemuda itu masih... Ah, tidak. Aku sudah kebal dan bisa menghadapi Satya.

"Mau ke mana?"

Aku menyipit. "Bandung," jawabnya enteng, lalu mengambil celah untuk berjalan meninggalkannya.

Satya menahan tanganku. "sudah dapet tiket? aku perlu bicara denganmu."

Tak ada waktu. Aku tak akan membiarkan Satya menghalangiku. 

Benar. Pemuda itu harus menyingkir sekarang juga.

"Satya, busnya udah mau berangkat. Kamu jangan mempersulit deh." Aku melepaskan genggamannya di tanganku.

"Aku perlu bicara sama kamu."

Aku mendengus. "Lain kali, oke?"

Satya dengan cepat mengambil tasku dan berjalan lebih dulu daripada gadis itu. "Kita bicara sambil jalan. Aku antar kamu."

Aku hanya terpaku melihat punggungnya. Dia tak mengerti, apakah begitu cara Satya kembali mempermainkan hatiku?