webnovel

Anika Pingsan

Kampus

Seperti biasa BINUS terlihat begitu ramai saat empat pemuda itu

masuk. Pandangan kagum kebanyakan berasal dari mahasiswi baru, yang baru saja dinobatkan sebagai anggota BINUS.

Lukas berbisik pelan kepada Rangga. "Pesonaku belum luntur

ternyata," pujinya pada diri sendiri.

Rangga hanya tertawa, kemudian merangkul bahu Lukas. "Kamu

jadi mendekati Sonya ?" tanyanya setengah berbisik.

Satya dan Devan hanya menggeleng-geleng saat dua temannya itu

membicarakan gadis cantik.

Satya berhenti saat menyadari Devan tak lagi berdiri di sampingnya, menengok ke belakang. Merasa ada keanehan, Rangga dan Lukas

turut melihat ke arah Satya.

Satya mengernyit sambil mendekati Devan yang masih berdiri di

belakangnya. "Kenapa?"

Devan terlihat kaget oleh sapaan Satya. Dengan tegas ia menggeleng.

"Tidak apa-apa," ucapnya rada aneh.

Satya menajamkan tatapannya, curiga. "Kamu tidak menyembunyikan

sesuatu, kan?"

Devan tertawa, kemudian melayangkan tinju ringan ke perut Satya,

yang tidak sakit tentunya. "Aku hanya sedang melihat Anika." Devan

menunjuk sembarangan.

Satya memfokuskan pandangan pada arah yang Devan tunjuk.

Benar, gadis itu sedang memainkan ponsel sambil menyandar ke

tembok. Terlihat begitu serius.

"Kamu suka sama dia?" selidik Satya. Wajahnya menampakkan

ketidaksukaan.

"Ckckck…" Devan berdecak tak santai.

***

Anika melihat ponsel. Matanya terus menyusuri layar ponsel yang

bergerak, mencari sesuatu. Ia tersenyum hambar, berhasil

menemukan sesuatu yang dia cari.

Anika berbalik, berniat kembali ke kelas. Yang ia cari sudah ia

dapatkan, dan sepertinya pemuda itu sudah sampai di kampus.

Namun tepat saat Anika berbalik, seseorang menabraknya hingga membuat lututnya mencium lantai yang dingin. Ia meringis kesakitan.

Hati Anika jengkel. Saat melihat pemilik sepatu yang sengaja

mengadangnya itu, Anika meringis.

"Maaf, tidak sengaja," ucap orang itu.

Sebenarnya Anika ingin mencakar, kalau saja tak ingat bahwa

ada hal lebih penting yang harus ia lakukan.

Anika berdiri beberapa detik kemudian, memandang lemah,

seolah ada luka yang dipendamnya saat melihat wajah orang

itu.

"Jangan pasang tampang sok bersalah. Eh, tapi kamu memang

pantas sih merasa bersalah."

Anika mematung. Dia ingin memukul orang itu.

Pembawa sial.

Badan Anika bergetar. Ia tersenyum sinis. "Bukannya kamu yang

bilang bahwa kita tidak usah saling kenal, Elisa?"

Sorot mata kedua gadis itu menajam. Ada kebencian satu sama

lain. Anika ingin melangkah pergi saat Elisa mendorongnya, membuat

bekas jahitan di tangannya robek, tergesek tepian tempat duduk

besi yang tajam.

Anika meringis, menahan sakit. Dulu ia kehilangan kesadaran

sehingga sarafnya tak mampu lagi merasakan sakit.

Elisamengentakkan kaki. "Aku membencimu, pembawa sial!" Lalu

dia setengah berlari meninggalkan Anika, yang mulai berkeringat

dingin karena menahan sakit di tangannya.

Anika tetap berdiri di tempat. Kakinya tidak kuat berjalan.

Badannya kaku karena menahan sakit. Keringat dingin mengalir

di tubuhnya. Darah mulai mengalir deras dari pembuluh darah di tangannya.

Jangan. Aku tak boleh mati sekarang, pinta Anika dalam kesakitan.

Saat hampir kehilangan kesadaran, Anika merasakan seseorang

membantunya berjalan. Tangan kokoh dan aroma maskulin yang begitu dikenalnya. Kemudian ia tak merasakan apa-apa lagi. Pandangannya mengabur, dan seketika semuanya menjadi gelap.

To Be Continued