Mungkin akan terlihat konyol jika aku kabur ketika melihat Huddwake. Kurasa hanya itu yang bisa kulakukan saat ini, walaupun aku tidak tahu jelas atas dasar motif apa jika Huddwake ingin melakukan hal yang sama padaku—seperti yang ia lakukan pada Sergei. Setidaknya aku harus waspada, aku juga tidak ingin membuat Sergei seakan merasa bertanggung jawab atas keamanan diriku.
"Kau sudah bangun, Serina?" Dara menggeliat di kasurnya. Ia bangkit, kemudian mengusap-usap matanya sambil menguap lebar. Dara sudah tertidur ketika aku sampai di kamar tadi malam. "Kau bilang tidak ada acara kemarin, aku terkejut karena kamar kosong ketika aku pulang."
Aku mengangkat bahu. "Acara mendadak."
"Dengan?"
Aku melengos. "Sergei."
Sinar mata Dara berubah usil. "Kenapa kau melengos? Bukankah itu hal bagus?"
"Ada sedikit masalah, Dara." Aku membenamkan wajah ke guling.
"Oh, kau hanya gugup," hibur Dara. Aku tersenyum, lebih baik Dara hanya mengetahui masalahku sebagai efek rasa gugup sebagai fans Sergei. "Sampai kau menghasilkan kantong mata itu? Kau terlihat sepuluh tahun lebih tua, sayang."
"Benarkah?" Kuraba kantong mataku.
"Itu mimpi burukmu, Serina. Hari ini adalah pesta penyambutan murid baru." Tiba-tiba Martha ikut nimbrung. Matanya masih terlihat kemerahan, aku tahu ia pulang tepat ketika jam malam bersamaku.
Aku nyengir pada Martha. "Maaf mengganggu tidurmu."
"Lebih baik kau urusi kantong matamu atau kau akan dikenal selama tiga tahun di Roxalen High sebagai si mata berkantong." Martha bergidik melebih-lebihkan.
Aku nyengir makin lebar.
"Aku yang akan menanganinya." Dara menimpali, "Sedikit make up akan menyamarkan kantong matamu, Serina."
"Make up??" suaraku meninggi.
Dara dan Martha menatapku aneh.
"Ini pesta, Serina. Make up bukan sesuatu yang aneh."
Dara menaikkan satu alisnya. Aku ber-oh ria, tidak ingin berdebat dengan mereka berdua walaupun aku merasa agak ngeri. Yang kubayangkan adalah make up super tebal yang terasa berat dan akan membuat kulitku gatal-gatal.
Martha menyibakkan selimutnya. "Ayo, kita bersiap untuk pesta!"
***
DEAR JACOB,
BAGAIMANA KABAR DI RUMAH? AKU SEDANG MENDAPAT SEDIKIT MASALAH DENGAN TEMAN-TEMANKU, TAPI KAU TAK PERLU KHAWATIR. AKU BAIK-BAIK SAJA. HANYA SEDIKIT BINGUNG TENTANG APA YANG HARUS KULAKUKAN UNTUK MENGAKHIRINYA. AKU MERINDUKAN RUMAH. SAMPAIKAN SALAMKU PADA ALLEN, AYAH, DAN IBU.
-SERINA-
***
Aku menatap wajah di cermin.
"Ke mana kantong mataku?" tanyaku pada Dara.
Dara dan Martha tertawa terpingkal-pingkal. Aku melengos, pertanyaanku yang barusan itu serius tapi mereka menganggapnya lucu.
"Masih di tempatnya, Sayang." Dara menyeka air matanya yang sedikit keluar akibat tertawa. "Aku hanya menyamarkannya dengan kosmetik."
"Itu make up minimalis." Martha menambahkan.
Aku mengangguk-angguk tanda mengerti. Baru kali ini aku mendapatkannya di wajahku.
"Kau terlihat cantik. Oh, apa yang akan terjadi pada Sergei?" Dara menggodaku. Aku melemparnya dengan bantal bulu milik Martha.
"Sergei si penyanyi café itu?" tanya Martha mengklarifikasi.
"Yeah, dia bahkan mengajak Serina keluar semalam." Dara berkata penuh semangat seperti ibu-ibu yang sedang menggosip.
"Oh, jadi kau tidak membusuk di kamar kemarin?" Martha tertawa.
Aku hanya memutar bola mata, kemudian membuka kloset untuk memilih baju.
"Oh, tidak! Aku melakukan kesalahan!" Dara menubrukku dari belakang.
"Kesalahan?"
"Aku memberimu make up sebelum kau menentukan baju yang akan kau pilih." Dara melengos. "Tanpa sadar aku memakaikan make up yang biasa kupakai padamu."
Martha mengerang. "Warna apa yang kau pakai?"
"Putih, beige, dan sedikit oranye. Plus glitter."
Martha meloncat dari ranjangnya, menggeserku dan Dara dari depan kloset. Beberapa saat Martha menggumam sendirian sambil menjelajahi isi rakku. Aku hanya bengong melihatnya.
"Oh, ini bagus. Aku tidak tahu kau punya selera pada dress seperti ini." Martha mengangkat dress berwarna coklat susu dengan kerutan di beberapa tempat. Aku menjerit lalu merebutnya dari tangan Martha.
"Aku bahkan sudah meletakkannya di urutan terbelakang," kataku ngeri.
"Apa yang akan kau lakukan dengan itu?"
"Aku berencana memakainya di pesta kelulusan."
Martha mendelik. "Pesta kelulusan hanya dengan gaun terbaik, Serina," desisnya serius. "GAUN, oke? Ini dress, dan akan kau kenakan di pesta hari ini."
Akhirnya, aku menuruti Martha seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya.
"Bisa kita berangkat sekarang?" ajak Dara setelah keluar dari kamar mandi. Ia mengaitkan tali gaunnya ke leher. Seperti biasa, warna putih—khas Dara. Mungkin ia cocok untuk memerankan si penyihir putih di film Narnia.
Aku, Dara, dan Martha berangkat ke pesta penyambutan bersama-sama. Kami berjalan beriringan seperti menimbulkan gradasi warna—hitam, coklat, putih. Martha dan Dara sibuk mengomentari dandanan tiap murid yang kami temui sepanjang perjalanan menuju auditorium. Senior tahun kedua dan ketiga juga mengikuti acara ini. Inilah yang membuatku tidak antusias menanggapi obrolan Dara dan Martha. Aku berpikir apa yang akan kulakukan jika bertemu dengan Sergei ataupun Huddwake. Sebisa mungkin aku ingin menyembunyikan diri diantara ratusan murid Roxalen High.
Suara seperti dengungan lebah langsung menyeruak ketika pintu besi menuju auditorium terbuka. Di sisi-sisi auditorium meja-meja panjang penuh hidangan berjajar, lengkap dengan beragam rangkaian bunga dan buah dalam vas yang menyebarkan wewangian khas, juga lilin-lilin yang bertumpu di tatakan perak. Di bawah panggung auditorium disulap menjadi taman indoor, tempat untuk grup live music beraksi. Jantungku langsung berdetak keras—teringat pada Sergei. Mungkin ia akan menyanyi di pesta ini, jadi aku cukup menjauhi taman buatan itu.
Aku mengikuti Dara dan Martha menuju salah satu meja hidangan, kemudian mencomot sebuah pastry isi stroberi sambil mengawasi keadaan sekitar. Oh, aku merasa seperti menjadi buronan yang diintai polisi.
"Serina!"
Mendadak Soo Hyun merangkulku. Jantungku serasa berhenti sejenak, aku tersedak pastry yang baru saja ingin kutelan. Soo Hyun menepuk-nepuk punggungku dengan prihatin. "Maaf, aku membuatmu terkejut."
"Tak apa." Aku meringis, konyol. Soo Hyun mengambilkan segelas air untuk kuminum. "Terima kasih."
"Oh, lihatlah…kau benar-benar meuruti saranku. Kau terlihat cantik sekali." Pipi Soo Hyun memerah ketika menatapku.
"Oh, teman-temanku yang mendandaniku," bisikku malu. "Kau juga manis, Soo Hyun."
Soo Hyun terkikik. "Kau tahu?"
"Tentang?"
"Aku datang bersama Kyu Jin di pesta ini." Soo Hyun berbisik, namun tak bisa menyembunyikan kegirangannya.
"Wow, itu bagus," sahutku antusias.
"Akan kuperkenalkan kau padanya." Soo Hyun menarikku.
"Tu...tunggu! Kita akan kemana?" tanyaku panik. Rasanya aku seperti diseret keluar dari tempat persembunyianku yang aman.
"Kyu Jin menungguku disana, di dekat taman buatan. Dia bersama anggota organisasi lainnya. Dia pembimbing, jadi dia anggota non inti di organisasi siswa." Soo Hyun menyerocos tanpa melihatku yang tersandung-sandung diseretnya.
Aku mengumpat dalam hati ketika mendengar kata-kata Soo Hyun.
Organisasi siswa dan taman buatan?
Sial. Aku punya firasat buruk terhadap dua hal itu.