Jaket bomber biru navy, celana panjang denim dan kemeja serta sebuah topi pelindung yang membuat dirinya terlihat misterius menjadi empat elemen pendukung yang penting bagi Leo saat berada di area kampus. Tidak tertinggal, sebuah smartwatch dan pasokan darah dua botol di ransel miliknya menjadi booster khusus untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Menyusuri jalan besar menuju ke gedung fakultas ditemani oleh tarian bergemuruh dari para pohon rindang di sisi kiri jalan, serta oksigen segar yang melimpah di pagi hari, menjadi bentuk self healing untuk Leo. Ia hanya punya satu tujuan hari ini, yaitu pergi ke kelas dan pulang dengan selamat.
"Kenapa sepi sekali? Apa aku datang terlalu pagi?" Leo tidak melihat teman-teman sekelasnya.
Leo tidak langsung masuk ke gedung B, Fakultas Teknik Sipil. Ia memilih menuju ke kantin teknik yang tidak jauh dari fakultasnya.
"Leo!"
Ada seseorang yang berteriak dari arah belakang. Leo yang mendengar langsung menoleh ke arah suara itu.
"Mau sarapan?" tanya Dani.
"Hmmm, aku cuma mau duduk sambil Wi-Fi gratisan." Leo melanjutkan jalannya.
"Kau datang pagi hanya untuk Wi-Fi? Dasar!" Dani tertawa.
Kantin teknik di pagi hari hanya beberapa pedagang yang buka. Dan terlihat hanya ada dua hingga lima mahasiswa yang duduk menikmati sarapan pagi mereka.
"Yang lain sedang di jalan. Kau sudah mengerjakan tugas ekonomi teknik?" tanya Dani.
"Sudah, kenapa?" Leo langsung membuka notebook miliknya. Ia mengaktifkan Wi-Fi miliknya dan segera mengunjungi situs download anime favoritnya.
"Aku boleh lihat?" Dani meringis.
"Nyontek? Dasar …."
Leo mengambil lembar A4 miliknya yang berisi jawaban dari tugas ekonomi teknik. Ia menyerahkannya kepada Dani yang duduk di seberang depan dirinya.
"Thank you, bro." Dani langsung menyalin jawaban Leo.
Leo mengunduh beberapa episode terbaru dari anime favoritnya, lalu ia membuka sebuah situs khusus yang hanya bisa di akses oleh para anggota royal blood. Situs Central Capitol.
Di situs Central Capitol banyak menyajikan beberapa berita mengenai kehidupan dunia bawah. Dan highlight hari ini adalah pemberontakan dua keluarga royal blood. Leo coba mengakses pesan chat ke bagian administrasi, ia memasukkan ID keluarga Constantine dan bertanya :
"Tolong sampaikan pesan ini kepada tuan Noblesse. Segera hubungi aku, Leo Constantine."
Leo mengakhiri pesannya. Tapi, membuat pemimpin Central Capitol yang merupakan pimpinan tertinggi dari dewan vampir atau dunia bawah untuk menghubungi dirinya, bukankah itu terlalu kurang ajar?
Leo segera menutup situs Central Capitol. Bila ia harus menghubungi pemimpin tertinggi, ia bisa melakukannya menggunakan nomor khusus keluarga utama. Namun karena Leo berpikir bahwa keluarga Constantine bukan menjadi bagian dari royal blood lagi, ia lebih suka berurusan dengan para petinggi Central Capitol seperti para vampir kalangan bawah.
"Thank's, bro." Dani mengembalikan kertas jawabannya.
"Cepat juga, kau menggunakan jurus menyalin tingkat tinggi?" canda Leo.
"Untuk urusan nyontek, tanganku sudah terlatih dan bersertifikat." Dani tertawa geli.
Ponselnya berdering, ia melihat grup kelas. Ternyata yang lainnya sudah datang dan berkumpul di kelas 113. Mereka berdua segera menuju ke gedung B.
"Hari ini kita akan satu workshop dengan senior, aku berharap tidak ada hal buruk," ungkap Dani.
"Hal buruk seperti apa?" Leo merasa bingung.
"Entahlah, tapi aku tidak terlalu suka berdekatan dengan para senior," pikir Dani.
"Aku juga," timpal Leo.
Gedung B, Fakultas Teknik Sipil mulai ramai. Banyak mahasiswa lalu-lalang melihat mading dan menuju ke koperasi untuk jajan dan berfoto copy. Leo dan Dani menaiki tangga menuju ke lantai dua. Mereka segera pergi menuju ke kelas 113 yang berada di sisi kiri dari tangga.
"Yo, bro!"
Sapaan dari Dani membuat beberapa laki-laki yang sedang berkumpul langsung buyar seketika.
"Pagi-pagi sudah pada rajin, perlu aku abadikan?" Dani menyindir sambil memotret mereka semua yang sedang menyontek.
Leo langsung duduk di bagian paling belakang sebelah kiri. Ia langsung merebahkan kepalanya ke meja kecil dari kursi lipat yang didudukinya.
Tiba-tiba beberapa senior masuk ke dalam kelas, mereka meminta semua mahasiswa untuk pergi ke kursi masing-masing. Lima orang senior mulai bicara, salah satu dari mereka membawa sebuah kotak dengan tulisan 'sumbangan untuk korban bencana.'
"Semuanya, tolong perhatiannya. Saudara kita di Bogor mengalami musibah bencana tanah longsor, untuk itu aku sebagai ketua BEM ingin mengajak kita semua untuk menyumbang. Sisihkan uang jajan kalian, tidak perlu banyak, yang kaya cukup menyumbang sejuta, dan yang tidak punya cukup 5000 saja," kata Fana.
Seketika semua mahasiswa tertawa mendengarnya.
"Kak, di sini tidak ada crazy rich, yang ada cuma crazy people …."
Seluruh mahasiswa kembali tertawa.
Fana melirik ke arah Leo yang sedang nikmat tertidur. Ia mengenali setelan khas bertopi Leo.
"Kau! Yang sedang tidur!" Fana menunjuk Leo.
Leo yang merasa itu adalah dirinya, ia langsung bangun dan menegakkan badannya. Ia terkejut ternyata yang memanggilnya adalah Fana.
"Aku mau bicara denganmu, bisa ikut aku sebentar?" Fana keluar dari kelas.
Leo merasa bingung, ia penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Fana. Leo segera bangun dan mengikuti Fana dari belakang.
Mereka berdua pergi ke kelas kosong yang berada di samping kelas 113. Fana berdiri membelakangi Leo yang baru tiba di depan pintu kelas.
"Terima kasih, untuk yang kemarin malam. Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu pada malam hari." Fana tersenyum.
"Tidak perlu dipikirkan, bagaimana kabar operasi ibumu?" ucap Leo.
"Kau masih ingat perkataanku?" Fana sangat terkejut dan sekaligus senang.
"Kenapa kau tidak menemaninya?" tanya Leo.
"Aku masih punya tugas di kampus, sebenarnya saat ini aku merasa khawatir, tapi ayah bilang dia dan adikku bisa menemani ibu sekarang, jadi aku merasa sedikit lega." Fana tersenyum.
"Oh, begitu. Lalu apa yang ingin kau bicarakan? Hanya mengucapkan terima kasih saja?" tanya Leo.
"Kau itu sangat berbeda, tadi malam kau tidak mengenakan topi, lalu kenapa saat di kampus kau seperti nerd?" Fana merasa bingung dengan kepribadian Leo.
"Kenapa? Ada yang aneh dengan caraku berpakaian?" pikir Leo.
"Bukan aneh, tapi lebih seperti memiliki dua kepribadian." Fana mendekat dan melihat wajah Leo yang sedang menunduk malu.
"Ja-jangan terlalu dekat." Leo coba mundur selangkah.
"Kenapa? Aku tidak akan berbuat macam-macam denganmu." Fana nampak senang mengganggu Leo.
"Ti-tidak ada …."
Leo balik badan dan keluar dari kelas. Ia pergi menuruni tangga dan ke arah kantin teknik. Fana yang ditinggal olehnya di kelas kosong hanya bisa merasa bingung. Lalu dengan cepat ia kembali ke kelas 113, tapi ia tidak menemukan Leo di sana.
"Sial! Kenapa dia terlalu dekat! Aku bisa merasakan detak jantung dan aliran darahnya." Leo duduk di sebuah bangku beton di depan lapangan bulu tangkis dekat dengan gedung workshop di belakang kampus.
"Udara di sini sangat menyegarkan, aku suka dengan bau embun pagi yang masih terasa jelas." Tiba-tiba Ares muncul dan berdiri di belakang Leo.
Leo langsung terkejut dengan kemunculan Ares. Ia segera bangun dan menoleh ke arahnya.
"Sedang apa kau di sini?" Leo terus menatap mata Ares.
"Aku hanya mengunjungi sepupu saja, kenapa? Tidak boleh?" Ares benar-benar sangat menjengkelkan.
"Kau menggunakan ransel dan berkemeja rapi, jangan bilang kau berkuliah di sini?" Leo mulai curiga.
"Instingmu masih sangat tajam, ternyata aku datang ke vampir yang tepat." Ares tersenyum.
Fana yang mencari Leo hingga harus bertanya kepada orang lain di sepanjang jalan, akhirnya ia bisa bertemu dengan Leo yang sedang berdiri di depan Ares.
"Kau! Kenapa kau kabur!" Fana menghampiri Leo.
"Kenapa kau ke sini?" Leo nampak bingung.
"Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kau pergi?" Fana merasa lelah, ia langsung duduk di lantai lapangan bulu tangkis.
"Siapa dia? Makananmu?" tanya Ares.
Leo langsung menoleh cepat, "Hah? Apa kau gila!"
"Hei, Nona? Bisa pergi dari sini? Aku sedang bicara dengan bocah ini." Ares terus menatap Fana yang masih saja duduk.
"Siapa kau? Berani sekali menyuruh ketua BEM untuk pergi!" Fana bangun dan mendekatkan wajahnya ke Ares.
Ia benar-benar kesal saat melihat ekspresi Ares yang datar dan seakan-akan meremehkan dirinya.
"Hey, apa kita bisa bicara di tempat lain?" Ares tidak memperdulikan Fana, ia pergi melewati Fana dan berdiri di dekat Leo.
"Dia tidak memperdulikanku!" Fana sangat kesal.
"Hey, bocah!"
Fana menarik ransel dan memutar badan Ares. Ares merasa kaget, ia tidak menyangka bila Fana bisa seberani ini.
"Kau itu hanya kulit kacang di kebun kacang! Jangan sombong dan berlagak bila kau itu permata!"
Ares merasa bingung dengan ucapan Fana.
"Apa dia budakmu?" tanya Ares, ia menoleh ke arah Leo.
"Hentikan, kalian berdua membuat kepalaku sakit." Leo memilih untuk duduk kembali.
"Keluarga Hassasin baru saja hancur, mansion mereka dibakar dan semua anggota keluarganya dibantai." Ares melemparkan satu bundel foto ke Leo.
Fana yang mendengar tentang pembantaian langsung melirik ke arah kumpulan foto yang di lempar oleh Ares.
"Senang melihat kedua tuan muda akrab seperti ini …."
Tiba-tiba ada yang muncul dari sisi kiri mereka bertiga. Ia sedang bersandar di tiang ring basket.
"Kau!"