webnovel

Bab 34 (Terakhir)

Hari menjelang sore ketika Raja menyaksikan dengan hati bergetar ketika rombongan kereta kencana berbelok masuk gerbang Pesanggrahan Bubat. Dia berada di atas pohon besar yang terdekat dengan pagar pesanggrahan sejak siang hari. Raja yakin di dalam kereta kencana paling besar dan mewah itu di dalamnya berisi Baginda Raja Lingga Buana dan Putri Dyah Pitaloka.

Rombongan agung itu disambut dengan penuh hormat oleh pembesar-pembesar Majapahit yang memang ditugaskan oleh istana. Baginda Raja Lingga Buana turun dari kereta kencana diiringi oleh Putri Dyah Pitaloka setelah sebelumnya para pengawal yang terdiri dari tokoh-tokoh sakti Galuh Pakuan turun terlebih dahulu dari kereta-kereta yang lain.

"Yang Mulia Baginda Raja Lingga Buana dari Kerajaan Galuh Pakuan tiba!" terdengar suara lantang juru suara yang membahana di seantero padepokan.

Citra memandang dengan gugup ke kanan kiri. Meskipun sudah berketetapan hati, namun kekhawatiran Citra nampak jelas. Sebelum turun dari kereta kencana tadi, putri raja ini menyembah dan mencium tangan ayahandanya dengan penuh takzim.

"Ayahanda, ada beberapa hal yang ingin ananda sampaikan sebelum kita turun dari kereta ini. Ketahuilah bahwa hamba sungguh bersyukur menjadi putri dari ayahanda. Hamba juga sangat bersyukur menjadi bagian dari rakyat Galuh Pakuan yang dipimpin oleh raja bijaksana seperti ayahanda." Dari pipi yang halus itu mengalir anak sungai kecil air mata. Citra seolah sedang mengucapkan kata-kata perpisahan kepada ayahandanya.

Baginda Raja Lingga Buana menghapus airmata itu dengan ujung jarinya. Hatinya terharu mendengar kata-kata lembut dan menyentuh yang diucapkan putri satu-satunya ini. Baginda Raja paham mungkin putrinya ini sedih karena tak lama lagi akan berpisah dengannya dan harus tinggal di tempat jauh. Di Istana Majapahit yang berjarak beberapa hari perjalanan berkuda. Tapi dia tidak boleh terlihat lemah. Dia adalah seorang raja besar dari sebuah kerajaan besar.

"Putriku, ayahanda tahu mungkin kau merasa sedih karena sebentar lagi harus memulai kehidupan yang baru. Kehidupan yang menjauhkanmu dari keluarga. Menjauhkanmu dari Istana Galuh Pakuan. Tapi percayalah nak, kau akan tetap selalu berada di hati ayahanda. Kau akan tetap selalu berada di hati rakyat Galuh Pakuan."

Semakin deras anak sungai di pipi Citra mendengar perkataan ayahandanya. Namun dia lega karena telah menyampaikan apa yang ada di dalam hatinya.

Sambutan meriah dari para pembesar Majapahit diiringi dengan suara tambur dan genderang yang bertalu-talu. Mengiringi langkah Baginda Raja Galuh Pakuan dan rombongannya berjalan menuju balairung pesanggrahan di mana hidangan telah disiapkan.

Sebelum Baginda Raja menaiki balairung, terdengar pintu gerbang pesanggrahan dibuka. Suara derap kaki kuda dari kejauhan menunjukkan ada rombongan yang datang.

"Mahapatih Gajah Mada tiba!" terdengar pengumuman dari juru suara.

Rombongan itu turun dari kuda-kudanya. Mada berjalan di depan diiringi oleh Putri Calon Arang, Pendekar Santi Aji, Hoa Lie dan Giancarlo. Serta beberapa orang pengawal yang terlihat gagah dipimpin sendiri oleh Panglima Haryo Sembodo.

Mahapatih Gajah Mada berlutut dan menyampaikan hormat. Citra memandangnya dengan penuh perhatian.

"Mohon ampun hamba terlambat datang untuk menyambut Paduka Raja." Mada berkata dengan tutur kata sopan dan sangat hormat. Citra menjadi terheran-heran. Benarkah ini Mada yang telah berusaha mati-matian menghalangi rencananya?

Mada dalam kehidupan yang sebenarnya sebagai Mahapatih Gajah Mada memang selalu menaruh hormat kepada para raja yang dianggapnya punya kedaulatan terhadap rakyatnya. Diakui dan dihormati oleh rakyatnya. Serta memperoleh cinta dari rakyatnya karena berhasil memakmurkan kehidupan rakyatnya. Baginda Raja Lingga Buana adalah salah satu dari raja-raja itu.

Walaupun kemudian Majapahit berperang dan menaklukkan kerajaan dan raja-raja yang bijaksana itu, Mahapatih Gajah Mada tetap tidak berkurang rasa hormatnya. Jauh di dalam lubuk hatinya, Mahapatih Gajah Mada berharap Baginda Raja Lingga Buana memenuhi apa yang menjadi permintaannya. Dia tidak mau raja yang bijaksana ini takluk dengan kekerasan. Dia sudah menyaksikan sendiri betapa rakyat Kerajaan Galuh Pakuan adalah rakyat yang makmur dan bahagia.

Sekali lagi Mahapatih Gajah Mada memberikan hormat sambil berlutut. Mahapatih yang kesohor ini kemudian bangkit berdiri lalu berkata tegas namun dengan sikap yang sangat menghormat.

"Mohon ampun Baginda Raja yang mulia. Terimakasih telah datang memenuhi undangan kami untuk melakukan upacara seserahan di Istana Majapahit nanti. Namun sebelumnya hamba harus sampaikan bahwa seserahan ini bagi kami juga merupakan pengakuan dari Baginda Raja Yang Mulia bahwa mulai saat nanti setelah upacara seserahan dilakukan, Galuh Pakuan adalah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit."

Baginda Raja Lingga Buana seperti mendengar petir di siang hari yang terik begitu mendengar ucapan Mahapatih Gajah Mada.

"Maksud andika Mahapatih upacara seserahan adalah tanda takluk begitu?" Suara Baginda Raja Lingga Buana meninggi. Citra menghela nafas panjang. Inilah saatnya.

Mahapatih Gajah Mada menganggukkan kepala dengan tegas.

"Mohon ampun Baginda Raja Yang Mulia. Benar demikian maksud hamba. Mohon pertimbangan Paduka yang bijaksana bahwa hal ini akan menghindarkan pertumpahan darah yang sia-sia bagi rakyat Galuh Pakuan dan Majapahit apabila takluk diartikan sebagai takluk dalam peperangan." Nada suara Mahapatih Gajah Mada tidak berubah sedikitpun. Tetap dengan penuh penghormatan.

"Mahapatih yang perkasa! Kalau begitu aku memilih takluk dalam perang daripada menyerahkan putriku sebagai jual beli perdamaian!" Baginda Raja mencabut kujang emas yang ada di pinggangnya dan mengacungkannya ke atas dengan sikap gagah. Resi Papandayan, Resi Pangrango, Ki Galih Prawira, Ki Jagad Tirta dan para prajurit pengawal langsung bersiaga.

Untuk terakhir kalinya Mahapatih Gajah Mada berlutut memberi hormat lalu berdiri dan meloncat ke atas kuda yang segera dilarikan kencang meninggalkan Pesanggrahan Bubat. Dia tidak tega menyaksikan raja yang dihormatinya itu berkubang darahnya sendiri. Mahapatih Gajah Mada pergi sendirian. Semua yang mengikutinya tadi tetap di tempat dengan sikap siaga perang.

Gerbang besar pesanggrahan langsung ditutup kembali begitu Mahapatih Gajah Mada pergi. Puluhan prajurit bersenjata lengkap bersiap siaga di gerbang untuk mencegah siapapun melarikan diri. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan karena Baginda Raja Lingga Buana telah mengeluarkan titah bagi semua anak buahnya Hidup atau Mati. Lebih baik mati dalam mempertahankan harga diri daripada lari dan hidup sebagai pecundang yang kehabisan hati.

Diiringi suara tambur dan genderang membahana yang ditabuh dalam nada-nada peperangan yang garang, pintu gudang di dekat mereka terbuka lebar. Ratusan pasukan Majapahit bersenjata lengkap mengalir keluar sambil meneriakkan yel-yel peperangan yang menggiriskan.

Baginda Raja Lingga Buana memimpin langsung pertempuran yang tidak seimbang itu dengan gagah perkasa. Tidak sedikitpun nampak rasa gentar dari sorot matanya. Raja besar ini menerjang maju diikuti oleh semua orang Galuh Pakuan yang juga tidak kalah garang meneriakkan yel-yel peperangan.

Terdengar dua kali letusan senjata api yang dibarengi dengan robohnya tubuh Baginda Raja Lingga Buana ke tanah. Raja yang perkasa itu tetap mengacungkan kujangnya ke angkasa meskipun nyawa telah meninggalkan badannya. Citra menjerit keras dan menubruk tubuh ayahandanya. Gadis ini tidak sanggup melihat kematian ayahandanya di depan matanya secara langsung.

Dari depan balairung, terlihat Hoa Lie meniup asap tipis yang keluar dari moncong pistolnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Tanpa menyadari sebuah bayangan merunduk-runduk mendekat dari balik bangunan pos jaga. Sin Liong berhasil menyelinap masuk saat pintu gerbang masih terbuka dan suasana sedang memanas. Pemuda ini langsung bersembunyi di balik pos jaga yang luput dari perhatian semua orang.

Begitu melihat Hoa Lie melepaskan tembakan yang langsung menewaskan Baginda Raja Lingga Buana, Sin Liong menggeram hebat dan dengan amarah luar biasa menerjang agen dari China itu hingga jatuh bergulingan. Kedua pistolnya terlepas dari genggaman. Kedua orang yang sama-sama berdarah China itu langsung baku hantam dengan sengit.

Tak perlu waktu lama bagi ratusan prajurit Majapahit untuk menghabisi prajurit Galuh Pakuan yang berjumlah tak lebih dari 50 orang. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Namun pertarungan seru masih berlangsung antara Pendekar Santi Aji melawan Resi Pangrango dan Putri Calon Arang berhadapan dengan Resi Papandayan. Pertarungan yang berjalan dengan seimbang dan menegangkan.

Sementara itu, Ki Jagad Tirta dan Ki Galih Prawira dikeroyok oleh puluhan prajurit Majapahit yang terus saja mengalir keluar dari pintu gudang tanpa henti. Meskipun berhasil menewaskan puluhan pengeroyoknya, namun akhir dari Ki Jagad Tirta dan Ki Galih Prawira tiba juga. Keduanya tewas dengan mulut tersenyum di ujung pedang para prajurit Majapahit. Tersenyum dengan bangga karena mati sebagai pendekar yang membela tanah airnya hingga titik darah penghabisan.

Putri Calon Arang sebenarnya kalah ilmu kanuragan melawan Resi Papandayan. Tapi hal ini bisa tertutupi dengan bantuan sihir hitamnya yang luar biasa. Perlahan namun pasti Resi Papandayan terdesak hebat. Demikian juga dengan Resi Pangrango. Pendekar Santi Aji terlalu tangguh baginya yang sebenarnya masih menderita luka akibat perang di perbatasan belum lama ini. Resi Pangrango terdesak hebat dan sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk menyusul junjungannya.

Kemanakah Raja? Kenapa pemuda ini tidak ikut terjun dalam peperangan?

Bersamaan dengan kedatangan Mahapatih Gajah Mada, pemuda ini melompat masuk dengan cepat ke dalam pesanggrahan tanpa diketahui oleh siapapun. Melihat semua berjalan seperti yang ada dalam catatan sejarah, Raja tahu apa yang harus dilakukannya. Pemuda itu berlari seperti bayangan dan masuk ke bangunan istana kecil di belakang balairung. Dia tahu apa yang harus dicarinya.

Matanya bertemu dengan sebuah ruangan dengan pintu yang nampak kokoh. Raja mendobrak pintu itu dengan kekuatan tenaganya. Memasuki ruangan dan matanya mulai mencari-cari. Setelah menemukan apa yang dicarinya, seketika itu juga mata Raja berbinar-binar.

Pada saat pemuda itu keluar dan sampai di lapangan depan balairung, apa yang dilihatnya membuat tengkuknya merinding. Mayat-mayat dari kedua belah pihak bergelimpangan di hampir seluruh lapangan. Resi Pangrango tergeletak tak bernyawa tak jauh dari Resi Papandayan yang juga telah tewas di tangan Putri Calon Arang. Mayat Hoa Lie nampak tersandar di tangga balairung. Dari hidung, mulut dan telinganya mengalir darah segar. Raja sempat melihat bayangan Giancarlo berlari masuk ke istana yang tadi dimasukinya. Raja tak peduli. Matanya beredar ke sekeliling mencari keberadaan Citra. Ketemu! Raja berlari secepat kilat menuju putri raja yang sedang berduka hebat itu.

Citra memangku tubuh ayahandanya yang telah mulai mendingin. Sin Liong berdiri lunglai tak tahu harus berbuat apa tak jauh dari situ. Putri Baginda Raja Lingga Buana itu mendesiskan kalimat terbata-bata.

"Ayahandaku yang kusayang. Rajaku yang paling aku hormati. Paduka tewas dengan perkasa demi membela kehormatan putrimu, kehormatan kerajaanmu, kehormatan rakyatmu. Ketahuilah bahwa hamba sungguh bersyukur menjadi anak dari ayahanda. Hamba juga sangat bersyukur menjadi bagian dari rakyat Galuh Pakuan yang dipimpin oleh raja bijaksana seperti ayahanda." Citra mencabut kujang di pinggangnya. Lalu dengan gerakan cepat menusukkan kujang itu ke jantungnya.

Tangannya terhenti di udara karena ditangkap oleh tangan kekar yang lalu memeluknya dengan lembut. Tangan Raja yang sekarang menatapnya dengan penuh harap dan kehangatan. Sin Liong ikut mendekat dan menyentuh lengan Citra dengan halus tanpa berkata apa-apa.

"Citra, inilah saatnya takdir menuliskan akhir halamannya untukmu. Inilah saatnya kau memutuskan untuk mati dalam kepedihan atau hidup dalam kegembiraan denganku. Tidak di sini. Tidak di tanah ini. Tidak di zaman ini. Aku mencintaimu. Aku yakin bisa menghilangkan semua kepedihan yang hendak kau hapuskan dengan merubah sejarah. Kau tidak perlu merubah sejarah cintaku. Kau hanya harus membuat sejarah baru yang tidak dilumuri oleh kesedihan dan kepedihan. Bersamaku." Raja terdiam sejenak. Lalu melanjutkan dengan suara yang masih lembut.

"Kalau kau ingin membunuh dirimu sendiri, aku tidak akan mencegahnya. Karena setelah kau mati, aku akan mencabut kujang itu dari jantungmu dan menusukkannya ke jantungku dengan senang hati. Kalau kau memutuskan bahwa kau bisa hidup berbahagia denganku dan pergi dari tempat yang penuh kepedihan ini, aku juga akan sangat berbahagia sekali." Raja melambaikan Manuskrip Utuh di tangannya. Menatap penuh cinta kepada Citra. Menunggu apapun keputusannya.

Citra menatap tubuh ayahandanya yang telah dilepaskan dari pangkuannya oleh Raja. Lalu beralih menatap Raja yang sangat dekat karena dia masih berada dalam pelukan hangat pemuda itu. Dilihatnya ketulusan terpancar kuat di sana. Gadis itu meraih Manuskrip di tangan Raja. Membacanya dengan suara terisak-isak. Sin Liong sampai ikut berkaca-kaca matanya melihat peristiwa ini.

Semua prajurit Majapahit tidak ada yang berani bergerak. Panglima Haryo Sembodo yang merasa pedih dengan peristiwa mencekam ini mencegah siapapun bergerak.

Begitu Citra selesai membaca Manuskrip, terdengar gemuruh angin kencang dan muncullah cahaya luar biasa terang yang sangat menyilaukan dari tempat Citra berada. Pada akhirnya sebuah ledakan cahaya maha dahsyat terjadi. Semua orang tidak sanggup menatap langsung karena cahaya itu terlalu menyilaukan.

Begitu cahaya meredup dan akhirnya menghilang, orang-orang yang berada di Pesanggrahan Bubat tidak melihat lagi Citra, Raja dan Sin Liong. Ketiganya lenyap tanpa bekas.

Ketiganya lenyap kembali ke zaman di mana kepedihan hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu.

T A M A T