webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
53 Chs

Chapter 45 "Pohon Hanarusa Raksasa"

"Kakak? J-Jadi kau... adiknya Almira? Maksudku Elywien?" tanyaku dengan nada tinggi.

"Elywien adalah kakakku. Dulu dia adalah anggota intelijen Kerajaan Elvian Barat. Sebelum akhirnya meninggalkan pekerjaan dan keluarganya setelah menikah dengan manusia. Apa kita sedang membicarakan orang yang sama?"

Aku langsung menutup mulutku yang terbuka lebar. Tak bisa menahan keterkejutan akan kebetulan yang begitu tidak terduga, aku beringsut sedikit ke belakang.

"Ya, kau benar. Almira temanku memang Elvian yang kawin lari dengan suaminya."

"Bagaimana kabarnya sekarang? Sudah bertahun-tahun aku tak pernah bertemu lagi dengannya," tanya Elzhar dengan antusias, seakan tak peduli dengan kondisi tubuhnya yang belum pulih total.

"Dia baik-baik saja, kok. Memang ia hidup secara sederhana, tapi ia kini bahagia. Aku memang tak pernah bertemu dengan suaminya, kurasa suaminya penyayang. Ah, iya! Dia juga punya anak laki-laki berusia lima tahun yang menggemaskan, namanya Cedric."

Elzhar seketika tersenyum simpul, ekspresi lega begitu lekat pada wajahnya kini. "Syukurlah kalau dia bahagia. Aku turut senang mendengarnya."

"Memangnya kau tidak pernah bertemu lagi dengan kakakmu?"

Elzhar menggeleng lemas. "Jangankan bertemu. Sejak ia memutuskan pergi meninggalkan segalanya, aku tak pernah tahu kabarnya lagi."

"Apa kau tidak ingin bertemu dengannya?" tanyaku lirih, mencoba bersimpati padanya. Cerita Elzhar tentang terpisah dari Almira membuatku merasa sangat iba.

"Kau seharusnya tahu bagaimana hubungan antara manusia dan Elvian. Tidak mungkin kami bisa saling bebas mengunjungi satu sama lain dengan bebas." Elzhar terdiam sejenak, lalu menghela napas dalam-dalam. Mungkin bersedih menyayangkan dirinya tak bisa bertemu lagi dengan kakaknya.

Aku sedikit paham situasinya. Ketika seorang Elvian memutuskan untuk menikahi manusia dan meninggalkan keluarganya, mereka takkan bisa bertemu lagi. Seakan-akan titik itu adalah saat di mana kau harus melepaskan semua yang kau miliki di sini tanpa bisa meraihnya lagi. Baik itu kedudukan, harta, dan keluarga. Itulah harga yang harus dibayar mahal untuk Elvian yang menikah dengan manusia.

Tidak mungkin jika manusia yang tinggal di Kota Elvian. Jadi satu-satunya cara adalah Elvian yang harus pergi meninggalkan keluarganya dan berbaur di kota manusia.

"Kakakku adalah satu-satunya anggota keluarga yang masih kumiliki," jelas Elzhar dengan suara kecil dan kepala tertunduk. "Kami berasal dari keluarga cabang 'Kri' yang tersohor di ibukota Kerajaan Elvian Barat. Saat kakakku pertama kali mengutarakan niatnya untuk menikah dengan manusia, seluruh anggota keluarga utama tegas menolak.

"Itu karena kakakku dipersiapkan untuk menjadi penerus kepala keluarga selanjutnya. Asal kau tahu saja, kakakku itu anggota militer kehormatan," ujarnya dengan sedikit sombong. "Dia mampu bertarung dan menguasai Esze dengan sangat baik. Karena kemampuannya itu ia dipercayakan menduduki posisi tinggi yang terpandang di kemiliteran. Kepala keluarga Kri saat ini yang bernama Kharzall, kagum dengan prestasi kakakku dan berniat menjadikannya sebagai penerus keluarga Kri."

Ekspresi Elzhar kini mengeras dengan rona kesedihan yang nampak jelas di wajahnya. "Tapi itu berubah saat kakakku memutuskan meninggalkan semua yang dimilikinya. Kharzall pun murka dengan tindakannya. Beliau kemudian menendang keluar kami berdua dari mansion utama." Raut wajah Elzhar semakin gelap dan melankolis. "Aku sempat menahan kakakku agar tidak pergi. Namun dia tetap pada pendiriannya. Sejak saat itu, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi hingga saat ini."

Elvian muda itu menundukkan kepala dalam-dalam dan merrmas tangannya sendiri. Kesedihan serta kerinduan mendera sukmanya saat ini.

Hingga saat ini aku tidak pernah mengetahui masa lalu Almira. Itu karena dia tidak pernah membicarakannya. Sewaktu mencoba membahasnya pun, ia langsung mengalihkan topik pembicaraan ke hal lain.

Sekarang aku tahu betul, masa lalunya bukanlah hal yang cukup menyenangkan di mana ia terpaksa meninggalkan adik satu-satunya yang ia miliki. Almira adalah orang yang lemah lembut, wanita itu pasti merasa sangat berat harus meninggalkan Elzhar di sini. Ia mungkin merasakan rindu yang sama dengan yang Elzhar rasakan.

Entah apa yang kupikirkan, tiba-tiba saja aku mencengkram kedua tangannya dengan lembut dan menatapnya lekat-lekat. "Elzhar, setelah semua ini selesai... aku akan berusaha mempertemukanmu dengan kakakmu."

Elvian muda itu terhenyak sesaat dan memandangku tidak percaya. "Benarkah itu?"

"Aku berjanji akan melakukan apa pun agar kalian dapat bertemu kembali."

"Terima kasih," jawabnya lega. "Meskipun aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi aku akan menunggu."

Selepas itu kami saling berpandangan satu sama lain. Kulihat matanya seakan menaruh harapan padaku. Tatapan milik Elzhar bak ratapan anak kucing liar yang meminta makan. Siapa pun yang masih mempunyai nurani pasti tidak akan sanggup menolaknya.

Seiring dengan larutnya malam, akumulasi rasa kantuk dan lelah semakin besar. Ditambah tenaga yang terkuras ketika melawan Elzhar sebelumnya, membuatku tubuhku lunglai dan lesu.

Aku mencoba untuk beristirahat, berbaring dan memejamkan mata di atas karpet anyam di ruang tamu. Karena tidak ada ruangan lagi, Dimas dan Shella turut tidur di samping. Elzhar meminta maaf karena tak bisa menyiapkan kamar yang layak. Namun bagi kami, ini sudah cukup bagus dibandingkan tidur di alam terbuka yang kami alami beberapa hari belakangan.

Malam pun berlalu dengan cepat. Begitu aku membuka mata, ruangan ini sudah terang benderang. Sinar matahari menelusup masuk melalui jendela yang berada di atas kepala. Terasa begitu hangat membelaiku dengan lembut.

Aku bangun dan mendapati Dimas dan Shella sudah terbangun dan duduk di sisi ruangan. Mereka tengah memakan sepotong roti kering yang dibungkus daun. Seingatku roti kering yang kami bawa dari Glafelden sudah habis. Dari mana mereka mendapatkannya? Apa mereka diam-diam menyimpannya tanpa sepengetahuanku?

Shella yang bertatap mata denganku seketika melempar senyum tipis. "Anggi, kau sudah bangun? Ini... makanlah!"

Sebelum aku sempat menjawab, Shella menyodorkan sepotong roti yang masih dibungkus daun. Aku bangun dan mengusap kedua mataku, mencoba mengembalikan kesadaranku sepenuhnya.

"Maaf aku cuma bisa memberi kalian ini. Hanya roti kering ini yang ada di rak penyimpanan makananku," ujar Elzhar yang duduk bersila di seberang Dimas. Kelihatannya ia sudah pulih hingga bisa menggerakkan seluruh tubuhnya.

Ada sedikit jeda waktu dalam keheningan, sebelum Dimas menoleh dan menepuk lenganku. "Apa yang dia bicarakan?"

"Dia meminta maaf karena hanya bisa menyediakan roti ini."

"Ooh begitukah?" balasnya antusias. Kemudian pria itu melemparkan pandangan ke arah Elzhar. "Tidak apa-apa, ini sudah lebih dari cukup. Justru kami yang seharusnya berterima kasih padamu," ujar Dimas dengan percaya diri dalam bahasa Lurivia, meskipun ia tahu Elzhar takkan mengerti apa yang dikatakannya.

Sekarang giliran Elzhar yang kebingungan, ia memandangku dan Dimas secara bergantian. Ekspresinya seakan memintaku untuk menerjemahkan ucapan Dimas.

Aku yang mengerti maksudnya pun langsung membantunya, "Dimas berterima kasih karena sudah menjamu kami. Ini saja sudah lebih dari cukup."

"Oh, begitu," jawab Elzhar yang sedikit tersipu malu. "Oh iya, Anggi!"

"Iya?"

"Kemarin kau bilang ingin mencari tanaman langka, kan?" tanya Elzhar dengan nada berat, raut wajahnya menjadi serius. Aku mengangguk memberi jawaban positif. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku bisa menyebutkan satu tempat untukmu."

***

Berbekal informasi yang didapatkan dari Elzhar, kami bertiga melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi ke dalam Hutan Hanarusa. Menurut Elvian muda itu, sekitar setengah hari perjalanan ke timur Kota Arnest ada sebuah pohon Hanarusa yang ukurannya lebuh besar dari lainnya. Konon, pohon itu dikeramatkan oleh warga kota sebagai tempat suci. Setiap hari besar, mereka sering mengadakan upacara dan ritual keagamaan di sana.

Elzhar pernah mengunjungi tempat itu sekali, ia melihat ada beberapa tumbuhan aneh yang tidak pernah ada di sekitar kota. Makanya Elvian muda itu menyarankan kami pergi ke sana.

Baru ada satu jam sejak aku, Dimas, dan Shella meninggalkan kota. Matahari sudah mulai naik ke atas kepala, sinarnya jatuh ke atas tanah menembus rimbunnya dedaunan. Air yang menggenangi hutan sudah surut sejak pagi, jadi timku dapat berjalan di atas tanah. Anehnya, meski tiap hari digenangi oleh air, tanah hutan ini tidak lembab atau lunak seperti habis hujan. Permukaan tanahnya justru keras seperti tidak pernah tersentuh air sama sekali.

Entah apa yang terjadi, terlalu banyak hal di dunia ini yang tidak kumengerti sedikit pun. Kendati demikian, bisa melihat fenomena-fenomena aneh alam itu merupakan hal yang menakjubkan.

"Panas sekali jubah ini!" seru Shella sembari melirik ke arah jubah hitam yang dikenakannya.

Sebelum meninggalkan rumah, Elzhar memberi kami bertiga jubah dan penutup muka untuk menyembunyikan penampilan kami. Khawatir apabila kami berpapasan dengan Elvian lain ketika keluar dari kota. Memang, penampilan itu justru membuat kami tampak mencurigakan. Namun, orang mencurigakan masih lebih wajar di kota itu dari pada keberadaan manusia.

"Lepas saja, tapi jangan dibuang! Jubah ini mungkin akan berguna nanti," ujar Dimas yang berjalan di depan.

Kami bertiga serempak melepas jubah hitam ini dan memasukkannya ke dalam tas masing-masing. Seusai itu aku dan teman-temanku melanjutkan perjalanan.

Sinar Sang Surya mulai terasa panas menyengat, membuktikan jika hari semakin siang. Keringat sedikit menetes dari dahiku. Di sepanjang perjalanan, kami diiringi oleh suara derikan serangga-serangga yang tiada henti. Begitu pula dengan suara kepakan sayap burung-burung yang terbang dari dahan ke dahan.

Barisan formasi kami masih seperti biasa, Dimas memimpin di depan, sementara Shella dan aku mengikuti di belakang. Kami terus berjalan tanpa henti, hingga sampai di tempat yang sepertinya adalah tujuan kami.

Jauh beberapa ratus meter di depan, aku bisa melihat tanah lapang yang luas. Pohon Hanarusa jarang tumbuh di sekitarnya, seolah mereka enggan mendekat ke tanah lapang. Setelah berjalan lagi, barulah aku bisa dengan jelas melihat apa yang ada di sana.

Sebuah pohon Hanarusa tumbuh di tengah-tengah tanah lapang. Ukurannya jauh lebih besar dari yang lainnya. Jika pohon Hanarusa biasa batangnya berdiameter sekitar 50 meter, maka pohon yang satu ini besarnya tiga kali lipatnya. Namun tingginya nyaris setara dengan pohon biasa, mungkin itulah yang membuatnya tidak terlihat mencolok dari kejauhan. Akar raksasa pohon ini menyebar ke segala arah di atas tanah, seolah mengintimidasi pohon lain agar tak saat mendekat.

Aku memandang takjub pada pohon Hanarusa Raksasa itu. Kelopak mataku tak berkedip sama sekali hingga beberapa detik. Tidak hanya aku, Dimas dan Shella pun dibuat terkagum karenanya. Aku mungkin bakal terpaku di tempat itu selamanya, jika Shella tak sembarangan berlari kecil mendekat ke depan.

"Hebat sekali tempat ini!" serunya riang, lalu menundukkan badannya dan meraih tanaman berwarna jingga menyala yang tumbuh di akar Hanarusa. "Bahkan ada Semak Bara yang sangat langka di sini! Ah, lihat! Ada Bunga Gejolak Ungu juga!"

Gadis bersurai sepunggung itu lekas menuju tanaman lain yang tumbuh di sekitar sini. Ia mulai memasukkan beberapa tanaman ke dalam tas kecilnya. Rasanya seperti melihat anak kecil yang kegirangan ketika diajak ke taman hiburan pertama kali. Untuk sementara mungkin kubiarkan saja dia seperti itu. Tanah lapang ini berbentuk seperti atrium raksasa, selama Shella tak kembali lagi ke dalam hutan, aku masih dapat mengawasinya.

Aku dan Dimas mendekat ke arah batang Hanarusa Raksasa. Ukuran pohon itu terasa membesar setiap kali aku memangkas jarak. Kami berdua naik ke atas akar dan berjalan di atasnya. Melihat ke sekeliling, tak berlebihan jika akar pohon yang saling tumpang tindih ini membentuk labirin raksasa. Kau pasti akan tersesat jika tak memanjat akar dan melihat jalan keluar.

"Ini tempatnya, bukan? Di mana Kristal Roh Angin itu?" tanya Dimas seraya menolehkan pandangannya ke segala arah.

"Mana kutahu! Andai bisa ditemukan semudah itu, pastilah sudah ada orang lain yang mendapatkannya."

Mungkin ini adalah tempat suci yang dikeramatkan oleh warga Kota Arnest. Tapi bukan berarti ini tempat di mana Kristal Roh berada. Pangeran Keylan memberitahuku Kristal Roh Angin ada di Kota Arnest, namun tak menyebutkan letak persisnya. Bisa di tempat ini, atau mungkin di tempat lain.

Tapi... untuk menyimpan benda hebat bukankah tempat ini sesuai?

"Kita harus berpencar dan mencari petunjuk tentang Kristal Roh," usulku.

Dimas bergumam sesaat, kemudian mengangkat kepalanya. "Kenapa kita tidak menggunakan Indera Supermu saja?"

"Kau pikir aku ini pendeteksi logam yang bisa menemukan barang berharga? Kalau bisa, aku takkan hidup menggembel seperti ini!"

"Apa salahnya mencoba, sih?" balas Dimas sewot.

Kupelototi kedua matanya, namun ia membalas seakan hendak mengajak berkelahi. Setelah beberapa detik beradu pandang, aku mengalah. Menghembuskan napas panjang sambil menggerutu.

"Baik, akan kucoba."

Sembari setengah berlutut kutapakkan tangan ke atas akar pohon. Dalam satu tarikan napas berikutnya, kuaktifkan Indera Superku. Gema yang dikeluarkan dari tubuhku menyebar ke segala penjuru, kemudian memantul setelah mengenai sesuatu. Begitulah aku mendapatkan proyeksi 360° di sekitarku.

Meski diam tak bergerak di tempat, aku bisa melihat jauh ke sekeliling. Aku bisa jelas memandang ujung-ujung akar yang berada di balik pohon ini, puluhan burung yang bertengger di atasku, serangga-serangga yang merayap di batang pohon, serta Shella yang asyik mengumpulkan tanaman herbal di belakangku.

Tidak ada yang aneh dari pemandangan itu, tak ada satu petunjuk pun mengenai Kristal Roh. Benar-benar terlalu biasa. Namun seketika aku tersentak selepas mendapat proyeksi dari dalam tanah. Kuangkat tanganku dari atas akar dan perlahan bangkit.

"Hei, ada apa?" tanya Dimas yang menyadari perubahan ekspresiku.

Aku mulai menguasai diriku dan mencoba tetap tenang. "Ada ruangan besar di bawah tanah, dan ada semacam altar di tengahnya."

"Apa mungkin—."

"Aduhh!" Mendadak kami berdua dikagetkan dengan pekikan Shella. Aku panik, sosoknya tak terlihat di mana pun. "Anggiii! Dimass! Tolong aku!"

Aku dan Dimas segera meluncur ke sumber suara berasal yang tak jauh dari tempat Shella sebelumnya. Sesaat kemudian aku mendapati gadis itu terperosok ke dalam tanah, tubuh bagian atasnya masih di atas permukaan tanah.

"Apa yang kau lakukan, Kak Shella?" tanyaku keheranan sembari menahan tawa.

"Aku sedang mengumpulkan tanaman lalu tak sengaja terperosok ke lubang ini," jawabnya dengan tertawa tipis. Ia mengangkat kedua tangannya, berharap kedua temannya dapat membantunya keluar.

"Lain kali hati-hati!" Dimas meraih tangan Shella dan membantunya keluar. "Lama-lama kau seperti Anggi yang ceroboh!"

"Enak saja!" sambarku dengan ketus.

Saat Shella berhasil keluar dari lubang, barulah aku tersadar. Lubang itu sepertinya semacam jalan masuk ke dalam tanah. Dimas ikut mengamati lubang itu bersamaku, kemudian kami saling pandang. Setelah beberapa detik, ia menyeringai.

"Kau pasti tahu apa yang kupikirkan."

"Cara cepat kaya lewat pesugihan?"