webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
53 Chs

Chapter 42 "Sergapan Kala Senja Menjelang"

"Kau yakin?" tanya Shella dengan antusias.

"Sangat yakin," jawabku dengan percaya diri. "Kalian mungkin tidak dapat bisa. Mataku bisa melihat ada banyak orang yang berjalan di atas dahan dan beraktifitas di sana."

"Mereka membuat kota di atas pohon?" kini giliran Dimas yang tampak sangat bersemangat.

"Kau dapat melihatnya sendiri nanti."

Mendengar adanya sebuah kota dibangun di atas pohon, membuat mereka berdua menggelora. Itu adalah reaksi normal untuk orang-orang yang berasal dari dunia lain seperti kami. Bahkan saat pertama kali tiba di Kota Ruvia pun, aku sama antusiasnya dengan mereka. Melihat ke sekeliling dengan mata berbinar seperti orang kampung. Jika diingat-ingat, reaksiku malah lebih parah.

"Ayo kita segera turun!" seru Dimas yang langsung meninggalkanku, diikuti oleh Shella di belakangnya.

Ya ampun! Mereka berdua seperti anak kecil yang tidak sabaran menanti hadiah ulang tahun. Aku turut mengikuti keduanya di belakang, menyesuaikan langkah kaki dua orang itu yang bergerak cepat.

Tim kecil ini menuruni lereng gunung dengan cukup cepat. Tidak sampai satu jam kami sudah tiba di pertengahan kaki gunung yang medannya kini melandai. Setelah aku memperingatkan mereka agar tidak terlalu antusias dan selalu waspada, Dimas dan Shella lalu memperlambat laju mereka.

"Aku tahu kalian begitu kesenangan ingin segera sampai di sana. Tapi jangan lupa kalau kedatangan kita ke Kota Arnest bukan untuk bertamu. Mereka pastinya tidak akan mengizinkan manusia masuk ke wilayahnya," terangku pada mereka.

"Kau benar," balas Dimas, lalu ia terdiam selama beberapa saat. "Lebih baik kita melihat-lihat dahulu dari jauh dan menemukan cara untuk masuk ke dalam kota."

"Setuju."

Kami bertiga melanjutkan perjalanan dengan waspada, takut jika berpapasan dengan Elvian yang mungkin berada di sekitar gunung. Ini adalah wilayah mereka. Elvian mungkin sesekali keluar untuk mencari buah-buah atau melakukan hal lain di sekitar kota. Seperti yang biasa kulakukan saat berlatih dengan Almira di hutan dekat kota. Karena itu, kemungkinan bertemu dengan Elvian lain di gunung ini cukup besar.

Satu jam kemudian, kami sudah tiba di tepi hutan bonsai raksasa. Aku tidak tahu nama asli pepohonan ini, kukatakan saja seperti itu biar mudah.

Kota Arnest masih beberapa kilometer jauhnya di depan. Kini giliran aku yang berjalan paling depan. Sembari mengaktifkan Indera Super-ku guna mewaspadai siapa pun yang datang kemari.

Kami bergerak cukup pelan. Melewati daratan yang banyak akar-akar raksasa melintang bukanlah perkara mudah. Akar-akar ini terbilang tinggi, mungkin setinggi orang dewasa. Untuk melewati satu akar saja, kami harus memanjatnya seperti hendak masuk ke pekarangan tetangga dengan melompati pagar. Itu baru satu.

Sementara di sini ada ratusan akar raksasa yang melintang tak beraturan dan membentuk seperti labirin. Terkadang aku memilih akar yang rendah untuk dilalui, meski harus memutar sedikit lebih jauh. Tapi jika yang melintang adalah akar yang ujungnya tak tahu di mana, mau tak mau kami harus melompati akar raksasa ini. Ditambah dengan tas bawaan kami yang besar. Hal ini sama melelahkannya dengan mendaki gunung kemarin.

Sudah satu jam berlalu, kami belum mendapatkan kemajuan yang besar. Saat ini kami beristirahat sejenak guna melepas lelah dan makan roti kering Glafelden untuk mengisi perut. Tentu saja kami tak memasak untuk makan siang, karena khawatir dapat mengundang Elvian dengan aromanya yang kuat.

"Roti kering ini adalah yang stok terakhir. Setelah ini, kita harus mencari sendiri makanan kita," jelas gadis bersurai sepunggung, nadanya terdengar berat dan tampak khawatir.

"Tenang saja. Kau juga sudah lihat saat kita melewati tempat ini, kan? Kalau soal hewan buruan, di hutan ini ada banyak. Kita tinggal pilih mau makan apa," balasku yang mencoba menenangkan Shella.

Gadis itu terdiam sejenak, lalu memanggut. "Kau benar, mungkin aku terlalu cemas."

Di sekitar sini memang ada beberapa hewan liar, aku melihat beberapa saat masuk ke hutan bonsai raksasa ini. Contohnya saja tadi ada rusa yang tengah memakan dedaunan yang tumbuh di dekat akar raksasa. Lalu ada tupai yang bersarang di dahan pohon. Meski ukuranya besar, pohon ini cukup pendek dan mudah dipanjat. Jadi apabila kita butuh makanan, kita hanya tinggal naik ke atas untuk mendapatkan beberapa ekor.

Setelah menghabiskan roti kering dan mengisi tenaga, kami bertiga melanjutkan perjalanan. Melalui hutan bonsai raksasa ini memang berat. Kami tidak ingin memaksakan diri seperti yang terjadi di hari sebelumnya. Jika ada salah satu anggota yang tidak kuat, kami beristirahat.

Sempat juga pergerakan kami terhenti karena hujan turun. Sebuah hal bodoh jika melanjutkan perjalanan saat hujan yang membuat tanah dan akar pohon menjadi licin. Hingga akhirnya, kami tiba di pinggir Kota Arnest saat petang menjelang.

Kami bertiga bersembunyi di balik akar pohon raksasa dan mengintip ke arah kota. Tempat ini memang cukup jauh dari kota, tapi masih dapat melihat jelas hingar-bingar yang ada di sana.

Menerawang jauh ke dalam kota, aku dapat melihat struktur bangunan yang ada di sana. Persis seperti Kota Ruvia, mereka membuat bangunan-bangunan di dalam batang pohon raksasa. Hal yang membedakan adalah di sini mereka juga membangun beberapa bangunan dari kayu di atas dahan pohon. Tak ada juga bangunan yang didirikan di atas tanah di Kota Arnest.

Baik Dimas dan Shella tampak takjub melihatnya. Mata mereka berbinar-binar dan terpaku selama nyaris sepuluh menit penuh.

Untuk sesaat kubiarkan mereka seperti itu. Aku juga paham karena pernah mengalaminya. Melihat pemandangan menakjubkan seperti itu tentu membuat takjub siapa pun yang berasal dari dunia modern. Karena kota yang dibangun di atas pepohonan mungkin hanya ada di film fiksi atau dongeng saja. Kali ini mereka dapat menyaksikannya secara langsung.

Berbanding terbalik denganku yang sudah terbiasa dengan pemandangan ini, aku mengaktifkan kemampuan Indera Super. Mencoba mengamati keadaan sekitar guna berjaga-jaga ada seseorang yang mendekat.

"Sudah puas melihatnya?" tanyaku dengan pelan.

Dimas yang tersadar dari dunianya sendiri langsung tersentak dan menoleh padaku. "Ah, maaf! Ini pertama kalinya aku melihat kota seperti itu. Jadi aku—."

"Aku tahu. Sekarang lebih baik kita mencari cara masuk ke dalam kota tanpa ketahuan. Ada ide?"

Dimas termenung sejenak, tangannya menopang dagu. Dia tampak memikirkan sesuatu, pandangannya dilemparkan ke arah kota dan ke sekeliling berulang kali.

"Sebaiknya kita mengelilingi pinggiran kota untuk memeriksa celah yang bisa kita gunakan untuk masuk," usulnya.

"Aku setuju. Jalan masuk ke kota di depan kita terlalu banyak orang. Kita harus mencari tempat yang sepi untuk dapat masuk kota tanpa ketahuan."

"Dari pada itu, aku lebih khawatir dengan bagaimana kita mencari informasi tentang Kristal Roh di dalam kota. Aku yakin penduduk di sana takkan berbaik hati untuk mengantarkan kita ke tempat Kristal Roh berada."

Aku tersentak. "Betul juga. Apalagi informasi tentang Kristal Roh cuma diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Pangeran Keylan hanya memberitahuku jika Kristal Roh terletak di bawah tanah Kota Arnest, tapi tidak memberitahu persisnya di mana." Aku menggaruk-garuk kepala belakangku meski tidak merasa gatal. "Sial, harusnya waktu itu aku bertanya lebih jauh. Bodohnya aku tidak memikirkan sejauh ini!"

Kami berdua kembali terdiam dan termenung, mencoba memikirkan cara untuk masuk ke dalam kota dan mendapatkan informasi.

Ada beberapa hal yang muncul di dalam benakku, kebanyakan ide gila dan juga bodoh seperti memaksa tetua Elvian untuk memberitahu letak Kristal Roh berada. Akan tetapi karena aku tidak tahu caranya mengancam dan yang pasti akan menimbulkan keributan di kota, aku mengeliminasi cara itu.

Namun ada satu cara menurutku cukup masuk akal. Berhubung penampilanku yang sangat mirip Elvian, aku mungkin bisa menyelinap masuk ke dalam sana dan mencari informasi. Tentu saja aku harus mewarnai rambutku dengan pewarna keemasan agar tampak seperti Elvian sungguhan. Karena rambut asliku berwarna kecokelatan, mereka pasti akan mencurigaiku jika masuk ke kota tanpa penyamaran. Lalu, aku bisa memakai jubah guna menutupi tubuhku. Warna kulitku yang kekuningan menyerupai manusia pada umumnya. Jadi mereka bisa tahu kalau aku bukanlah Elvian meski telinga panjangku mirip dengan mereka.

Dengan penyamaran yang seperti itu, aku pasti bisa berhasil. Lagipula aku juga dapat berbicara bahasa Elvian yang memudahkanku berbaur dengan penduduk kota.

Tepat di saat hendak mengutarakan ideku pada Dimas, Indera Superku tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang datang dengan hawa mengancam. Seketika aku terperanjat dan mengambil sikap bersiaga.

"Hati-hati! Ada yang datang!" pekikku dengan keras. Dimas dan Shella langsung sangat berhati-hati dan memeriksa ke samping.

Aku pun demikian. Mencoba menajamkan Indera Superku lebih luas lagi, aku segera menengadah ketika sudah mengetahui arah datangnya ancaman.

"Dari atas!!" teriakku kencang, mencoba memeringatkan kedua temanku.

Kami bertiga sontak meloncat ke belakang guna menghindari sosok yang terjun ke bawah dengan cepat. Jika saja kami terlambat satu detik saja, tombak yang dibawa oleh orang itu pasti menghujam ke tubuh salah satu dari kami.

Aku terkejut bukan main. Untuk beberapa saat aku mengamati orang itu. Dia adalah Elvian muda yang mungkin lebih muda dariku, jika dihitung dengan umur manusia pastinya. Elvian remaja itu mengenakan pakaian bercorak gelap seperti seragam tentara. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang tidak bersahabat ketika melihat ke arah kami.

Dengan refleks yang cepat aku segera mengambil anak panah dan bersiap untuk menarik busurku. Namun refleksku kalah cepat dibanding Elvian remaja itu, dia langsung mengambil tombaknya yang menancap di tanah. Kemudian ia menghunuskan pangkal tombak miliknya yang tumpul ke arah perutku.

Serangannya benar-benar kuat hingga membuatku terpental beberapa meter ke belakang. Perutku langsung terasa kebas dan kesakitan luar biasa. Punggungku yang membentur akar pohon raksasa seketika mati rasa.

"Anggi ...!!" teriak Shella melengking melihatku rubuh ke atas tanah.

Meski terasa sakit sekali, aku masih bisa menahannya. Sambil memegangi perut, aku mencoba bangkit. Di detik berikutnya, aku mendapati Elvian remaja itu tengah bertarung dengan Dimas. Keduanya saling mengadu kemampuan dengan niat membunuh.

Ujung tombak musuh dan mata pedang milik Dimas menciptakan kilatan cahaya setiap kali saling beradu. Untung saja saat ini hari masih belum sepenuhnya gelap, jadi Dimas masih bisa mengimbangi Elvian itu. Jika saja ini malam hari, kegelapan total pasti sudah membuat temanku bertekuk lutut.

Aku terpaku seakan menyaksikan adegan laga dalam film. Dimas menyabetkan pedangnya ke depan, namun berhasil dihindari Elvian remaja itu dengan melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya di udara. Ketika Elvian itu mendarat, ia menjadikan kakinya sebagai tumpuan untuk menerjang ke arah Dimas. Ia bersiap untuk menusuk tubuh Dimas yang mati langkah.

Tak ingin temanku mati begitu saja, aku melepaskan anak panah ke depan Elvian itu. Seketika ia menghentikan langkahnya untuk menerjang Dimas. Tanpa melewatkan kesempatan, Dimas memutar tubuhnya dan melayangkan tebasan kuat-kuat. Namun lagi-lagi Elvian itu berhasil menghindarinya.

Tanganku yang sedari tadi sudah merentangkan busur, segera melepaskan anak panah ketika musuh belum sempat mendarat ke atas tanah. Tanpa kuduga, ia melakukan hal yang mustahil. Elvian itu menangkis anak panah yang melesat ke arahnya dengan tombak miliknya.

"Apa!?" pekikku tidak percaya.

Aku langsung mengambil anak panah lagi dari tempatnya dan menariknya kuat-kuat dengan busur. Namun tidak langsung kulepaskan. Aku bersiaga mengamati Dimas dan musuh tengah bertarung, mencoba melepaskan anak panah di saat yang tepat.

Insting pengalamannya dalam bertarung yang luar biasa membuat Elvian itu selalu menutup celah yang terbuka. Dengan lihai ia selalu memposisikan dirinya berada di belakang Dimas. Dengan posisi seperti ini aku tidak bisa melepaskan panah begitu saja karena kemungkinan besar akan mengenai sahabatku.

Tidak peduli seberapa lama aku menunggu, Elvian remaja itu selalu menutup celahnya agar aku tak leluasa melepaskan anak panahku. Meski aku berpindah tempat pun, dia dapat memposisikan dirinya dengan aman. Dimas yang tengah bertarung tidak memperhatikan ke sekeliling. Ia tidak melihatku yang tengah bersiap untuk melepaskan anak panah. Jika saja ia melihatku meski hanya sekilas, ia pasti akan berusaha membuat celah untukku.

Gusar karena tak kunjung mendapatkan kesempatan, aku berniat membuatnya sendiri. Aku langsung melepaskan anak panahku lurus ke arah Elvian itu, meski tubuh Dimas menghalangi.

"Minggir!!" teriakku dengan kencang.

Dimas segera bereaksi dengan membanting tubuhnya ke samping tepat satu detik sebelum anak panah itu menancap ke tubuhnya. Elvian yang tak melihat datangnya anak panah terlambat menghindar dan harus menerima anak panahku menancap tepat di dada kanannya.

Elvian remaja itu langsung tersungkur ke belakang. Dia tidak bisa bangkit lagi, namun masih bernapas. Dia terengah-engah sembari menatap langit senja yang mulai gelap. Aku dan Dimas mendekati tubuh musuh sembari bersiaga mengarahkan senjata kami. Sebagai pencegahan jika ia masih nekat bergerak.

Saat berada dekat dengan Elvian remaja, barulah aku bisa melihat jelas. Anak panahku menembus dada kanannya Darah merah segar mengucur keluar dari luka hingga membasahi tanah. Sepertinya luka yang kubuat padanya cukup dalam, mungkin hingga mengenai paru-paru. Matanya sayu dan nyaris kosong seperti ikan mati. Napasnya mulai terputus-putus.

Di saat itulah aku merinding, kakiku terkulai seketika dan duduk lemas di atas tanah. Bagaimana tidak? Saat ini aku tengah menyaksikan secara langsung orang yang tengah meregang nyawa. Seseorang yang meregang nyawa karena perbuatanku.

Apa aku ... akan jadi pembunuh?