webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
53 Chs

Chapter 37 "Mendaki Pegunungan Lintang Utara"

Ini adalah hari ketiga sejak meninggalkan Glafelden. Entah kami sudah berjalan sejauh apa. Yang jelas semakin mendekat ke tujuan, yaitu Kota Arnest. Saat ini kami sudah tiba di lereng gunung setelah melewati padang rumput.

Menurut peta tua yang kubeli dari pedagang di pinggir jalan, Kota Arnest seharusnya ada di balik Pegunungan Lintang Utara. Di dunia yang tidak ada teknologi canggih seperti GPS, peta dan kompas adalah hal terpenting untuk menentukan arah.

Pembuatan peta di dunia ini dibuat dengan seni kartografi kuno. Biasanya para penjelajah menggambar tempat-tempat yang sudah pernah mereka datangi di atas kertas. Aku cukup takjub ketika melihat ada peta wilayah Elvian yang dijual. Itu artinya, siapa pun yang membuat peta ini pernah datang ke wilayah Elvian. Entah datang dengan baik-baik atau menyusup seperti kami, tapi berkat dia lah kami berada di arah yang benar.

"Peta ini cukup akurat juga," sahut Dimas sembari melihat ke arah kompas dan mencocokkannya dengan peta yang terbentang di atas tanah. "Jika kita melewati puncak gunung ini, seharusnya kotanya sudah dapat terlihat."

Mataku melihat ke arah jari telunjuk Dimas yang berada di atas peta. Titik yang ditandai pria itu adalah posisi kami sekarang. Berdasarkan peta, letak Arnest sejajar dengan lokasi kami. Benar katanya, kita akan langsung melihat kota itu begitu berada di puncak gunung.

Yang jadi masalah adalah barisan Pegunungan Lintang Utara ini begitu tinggi. Aku bahkan tidak bisa melihat puncaknya karena tertutup kabut yang begitu tebal. Tidak ada celah atau lembah yang bisa dilalui. Jarak antar gunung dan bukit begitu rapat seakan membentuk dinding yang melindungi sebuah kota. Jadi mau tak mau kami harus mendaki ke puncak untuk melewatinya.

"Anggi, ini bagianmu!" seru Kak Shella sembari menyodorkan sepotong roti kering. Aku langsung menyambarnya dan memakannya.

Saat ini kami bertiga tengah beristirahat untuk makan siang. Sepotong roti kering khas Glafelden yang keras dan air putih yang baru saja diambil dari aliran sungai. Dua menu itu adalah makan siangku hari ini. Tidak banyak perbekalan yang dibawa dari Glafelden, kami sengaja melakukan itu agar barang bawaan tak terlalu berat. Lagipula ini bukan perjalanan piknik.

Bekal yang dibawa sudah hampir habis, mungkin masih sisa untuk dua atau tiga hari lagi. Sisanya kami harus mencari bahan makanan sendiri. Itu bukan masalah selama masih ada hewan liar di sekitar.

"Menurutmu, apa yang akan kita hadapi nanti di Kota Arnest?" tanyaku pada Dimas dengan sedikit cemas. "Aku tidak yakin semua akan mulus tanpa hambatan."

"Harusnya kau sudah memikirkan itu sebelumnya, Bodoh!" jawab pria itu dengan ketus.

"Aku kan cuma bertanya."

"Kita akan segera tahu jika sudah sampai. Karena itu sebaiknya kita tidak perlu terlalu lama di sini."

Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, tim yang terdiri dariku, Dimas, dan Kak Shella melanjutkan perjalanan. Mendaki gunung di bawah terik matahari memang sulit. Apalagi dengan medan yang semakin lama semakin curam. Pegunungan ini memiliki lereng yang cukup landai di kaki gunung, tapi semakin curam dari tengah gunung hingga puncak.

Setelah melihat ke sekeliling, pemandangan di wilayah ini tidak buruk juga. Pepohonan begitu rindang memanjakan mata. Barisan pegunungan melintang dari arah utara ke selatan. Mungkin karna itu mereka menamakan Pegunungan Lintang Utara. Karya alam ini sepertinya begitu panjang sampai-sampai aku tak bisa melihat ujungnya. Berdasarkan dari peta yang kubawa, rangkaian gunung ini membentang dan membelah Kerajaan Elvian Barat tepat di tengah. Sama persis dengan Pegunungan Ural di dunia lamaku yang membelah Rusia menjadi dua.

Satu jam berlalu, tas kulit yang kugendong terasa semakin berat. Seakan-akan aku mendaki gunung sembari menggendong seorang bocah berusia sepuluh tahun. Seperti Cedric mungkin. Terik matahari membuat segalanya menjadi lebih buruk. Tim kecil kami jadi lebih sering beristirahat. Kak Shella yang tidak terbiasa berpetualang sepertiku dan Dimas, sering menghentikan langkah kakinya di tengah jalan.

Gadis itu tampak keletihan, tubuh dan dahinya berkeringat, napasnya tersengal-sengal. Kedua kakinya tampak tak sanggup lagi untuk berdiri, apalagi berjalan.

"Minum ini!" seruku pada gadis itu seraya memberikan kantung minumku.

Kak Shella yang duduk bersandar di batang pohon pinus, meneguk banyak-banyak air ke dalam mulutnya. "Terima kasih. Maaf ya, aku hanya jadi penghambat kalian saja."

"Sudah berapa kali kubilang, aku tidak pernah menganggapmu sebagai beban."

"Tapi kalau terus begini, kita tidak akan membuat banyak kemajuan," sambar Dimas yang tak bisa membaca situasi. Bisa-bisanya dia mengutarakan hal seperti itu di depan Kak Shella yang sedang merasa tertekan.

"Maafkan aku," sahut Kak Shella, ia menundukkan kepalanya ke atas tanah. Tampak jelas di sudut matanya, sebulir air mata yang hendak terjatuh ke pipi. "Memang sebaiknya aku tidak usah ikut saja, ya?"

Melihatnya seperti itu, aku langsung menoleh ke arah Dimas dan berteriak, "dasar bodoh! Cepat minta maaf pada Kak Shella! Bisa ngga sih, kau lihat dulu sebelum bicara?"

Namun pria itu tak mengindahkan ucapanku. Ia berjalan tenang mendekati Kak Shella, kemudian melempar tas selempang bawaannya padaku. Masih mengacuhkanku yang protes, Dimas menundukkan badannya dan menghadapkan punggungnya yang lebar dan kekar pada Kak Shella.

Kak Shella mengangkat kepalanya dan tertegun. Ekspresi wajahnya jelas sekali mengisyaratkan sebuah tanda tanya besar.

"Serahkan bawaanmu pada Anggi, biar aku yang menggendongmu," ujar Dimas yang menatap Kak Shella dengan dalam.

"Eh? Tidak apa-apa? Apa tidak merepotkanmu?" tanya Kak Shella dengan terkejut.

"Aku yang menawarkan bantuan, jadi aku tak keberatan."

Gadis itu memandang wajah aku dan Dimas secara bergantian. Kak Shella masih ragu, mungkin merasa tidak enak sudah membuat Dimas kerepotan. Ia mengigit bibir bagian bawahnya dan memulai satu langkah mendekat dengan gugup. Gadis bersurai hitam sepunggung itu akhirnya dengan mantap mendekap punggung Dimas dari belakang.

Dengan satu hentakan, Dimas, bangkit sembari menggendong seorang gadis di punggungnya. Ia berjalan mendaki medan yang menanjak di bawah terik matahari, seolah bukan apa-apa. Aku terkesima melihatnya. Aku memang sudah mengenal sifatnya yang suka menolong orang yang kesusahan. Namun tetap saja masih merasa kagum melihatnya.

Bukan karena sifat Dimas, namun pemandangan ini mirip adegan-adegan komik romansa yang biasa kubaca di Letoon. Adegan di mana protagonis menggendong sang karakter wanita yang tidak bisa berjalan lagi. Lalu keduanya mulai saling menumbuhkan rasa, dan hubungan asmara pun terjalin di antara keduanya. Di saat kedekatan mereka sedang kuat, takdir menguji dengan menambahkan orang ketiga di antara mereka.

Arghh, ya ampun! Sepertinya aku terlalu banyak membaca komik. Melihat adegan itu secara nyata membuat hatiku dipenuhi berbagai macam perasaan. Semangat, terkagum, juga malu bercampur menjadi satu. Itu dari sudut pandang pengamat sepertiku. Entah apa yang dirasakan oleh mereka berdua yang mengalami langsung. Mungkin lebih kuat dari apa yang kurasakan.

Berkat Dimas yang menggendong Kak Shella, kami sudah tak sering berhenti lagi. Perjalanan pun jadi lebih efektif. Meskipun aku harus membawa semua bawaan mereka berdua.

Jujur, aku kagum dengan perkembangan fisik tubuhku. Jika dibandingkan dengan saat pertama kali datang ke dunia ini, aku begitu lemah dan mudah lelah. Namun sekarang, aku sanggup mendaki gunung sembari menggendong tas punggung besar milik Kak Shella, juga tas kulit milikku dan Dimas secara bersamaan. Memiliki pengalaman pekerjaan yang mengandalkan fisik selama setahun belakangan, tampaknya membuat kemampuan fisikku turut menguat.

Begitu juga dengan Dimas, fisiknya jauh berbeda dengan dahulu. Sekarang otot-otot tubuhnya mulai terbentuk keras meski masih sangat jauh jika dibandingkan dengan Grussel.

Langit malam sudah akan datang, kabut turun dengan cepat dari atas gunung dan membuat suhu turun dengan cepat. Kutengokkan kepala ke atas, awan kelabu menggantung begitu dekat bercampur kabut tebal yang menurunkan jarak pandang. Pepohonan di sekitar seakan terlahap oleh kapas putih.

Angin bertiup semilir dan menaikkan bulu kudukku. Hawa dingin begitu menusuk tulang dan membuatku menggosokkan kedua tangan pada lengan guna menghangatkan diri. Namun percuma, gabungan dari suasana malam dan kabut gunung menciptakan suhu dingin yang membuat tubuh mengigil. Belum lagi tetesan air hujan yang mulai jatuh satu per satu.

"Kita harus segera menemukan tempat berlindung," ujarku yang berjalan di paling belakang. "Sepertinya hujan akan segera turun. Kita akan mati membeku bila kehujanan di suhu dingin yang gila ini."

Dimas yang masih menggendong Kak Shella, mendongakkan kepala, lalu memperhatikan ke sekeliling. "Kau benar. Tapi kita tidak memiliki tempat untuk berteduh. Di sini hanya ada pepohonan saja sejauh mata memandang."

"Aku punya sepotong terpal di tasku," sahut Kak Shella yang tengah mendekap Dimas dengan erat dari belakang. "Kita bisa menggunakannya untuk membuat tenda darurat."

"Kau membawanya di sini?" Aku menunjuk tas punggung besar yang kugendong.

"Iya."

Setelah mengucapkan terima kasih pada Dimas, Kak Shella turun dari gendongan lelaki itu dan berjalan ke arahku. Aku menaruh tas punggung miliknya di atas tanah dan membiarkan Kak Shella sendiri yang membuka tasnya. Sesaat kemudian ia mengeluarkan sepotong terpal berukuran kira-kira 3 x 3 meter.

Dimas inisiatif mencari pohon pendek berdaun rindang. Lelaki itu mengikat keempat ujung terpal pada dahan-dahan pohon tepat di atas kepala. Sementara aku membantu sembari mengikuti instruksi yang ia berikan. Setelah jadi, terpal itu membentuk seperti kanopi yang menaungi siapa pun di bawahnya. Jika kau menjajakan buah-buahan di atas keranjang, tempat ini akan persis seperti kios kaki lima di pinggir jalan.

Belum ada lima menit selepas mendirikan tenda darurat, hujan mulai mengguyur diiringi kabut tebal. Menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang. Entah mengapa aku mendapat firasat buruk tentang ini.