webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
53 Chs

Chapter 31 "Kebimbangan Shella"

Begitu selesai merapal mantra, aku merasakan kekuatan mengalir dari dalam dada ke arah lengan, kemudian diteruskan menuju viglet yang kupegang. Pada kedipan mata berikutnya, gumpalan angin terbentuk di ujung tongkat berwarna gading ini. Membentuk bola angin yang padat sekecil genggaman tangan. Kupusatkan fokus dan konsentrasi lagi dengan cepat. Bola angin itu membesar hingga beberapa kali lipat dengan cepat.

Dalam satu hentakan, aliran magis yang kukeluarkan langsung menyambar serangga raksasa di hadapanku. Efek Esze yang dihasilkan oleh viglet ini begitu kuat. Monster laba-laba itu terpental beberapa meter ke belakang, rerumputan yang ada di sekitar tercabut berantakan.

Kekuatan sebesar itu nampaknya masih belum sepenuhnya menumbangkan monster laba-laba. Ia masih mencoba bangkit walau harus bersusah payah dengan kaki-kakinya.

"Vitr Blast!"

Tak ingin memberinya waktu untuk pulih, aku kembali menghantamnya dengan Esze serupa. Bersamaan dengan gumpalan angin yang meledak, tubuhnya terpelanting beberapa meter. Bahkan ruas kakinya patah hingga mustahil membuatnya bangkit kembali dalam waktu dekat. Sesaat setelahnya, laba-laba itu berhenti bergerak.

Tubuhku seketika itu juga menjadi lemas, setengah berlutut sambil menahan agar tidak pingsan saat ini juga. Viglet ini menyedot daya Esze dari sirkuitku dengan jumlah yang tidak sedikit.

Mungkin benar kata Almira sebelumnya, viglet spesial ini bak pedang bermata dua. Memang alat ini dapat mengeluarkan magis yang sangat kuat, namun berbanding lurus dengan penggunaan daya Esze-nya yang terlampau di atas rata-rata. Karena itulah wanita itu menyarankanku agar tidak terlalu sembrono menggunakan viglet ini.

Pangeran Keylan bisa saja menggunakan benda ini tanpa masalah. Berbeda denganku yang masih belum bisa mengontrol Esze-ku dengan baik, viglet ini begitu menyerap habis kekuatanku.

Aku menoleh ke samping di mana monster laba-laba yang lain terdiam mematung ke arahku. Aku menaikkan sudut bibirku. Dengan sedikit hawa intimidasi, mengarahkan tongkat viglet pada binatang itu. Monster itu tampak ketakutan, bergerak mundur perlahan sebelum akhirnya mengambil langkah seribu meninggalkan kami berdua.

Dimas langsung berlari dan menopang tubuhku yang tak kuat berdiri sendiri.

"Kau baik-baik saja?" tanya pria itu dengan khawatir.

"Hanya sedikit kelelahan," jawabku. Kemudian mengalihkan pandanganku pada viglet yang ada di tangan. "Menggunakan benda ini benar-benar menguras tenaga."

"Kalau boleh berkomentar, tadi itu hebat sekali! Kau benar-benar menyelamatkan kita kali ini."

"Kita masih belum 100% selamat jika terus berada di sini. Ayo lekas pergi!"

"Biarkan aku membantumu berjalan." Dimas meminjamkan bahunya guna membuatku berdiri.

"Terima kasih," balasku sembari memberi senyum kecil.

Kami berdua lalu menjemput Kak Shella yang masih bersembunyi di dalam tingginya rerumputan kering. Gadis itu baik-baik saja, namun tubuhnya gemetar dengan hebat. Barulah setelah melihatku dan Dimas, otot-ototnya mengendur dan menghembuskan napas lega. Ia menawariku untuk mengobati luka dan mengembalikan stamina dengan meracik ramuan, namun aku menolaknya dan berkata bahwa kami harus segera pergi dari sini.

Dari padang rumput itu kami berjalan menuju kaki gunung yang ada di depan. Menembus barisan pohon yang tumbuh lebat di dataran yang melandai. Setidaknya tempat ini tidak berbeda dengan hutan dekat kota Glafelden. Struktur pepohonan di sini cukup rendah, tidak besar-besar seperti hutan yang kami lalui sebelumnya. Ini memberiku suasana yang tidak asing sehingga membuat perasaanku jauh lebih rileks. Karena saat berada di hutan Elvian yang lalu, bulu kudukku selalu berdiri dan merasa bahaya selalu dekat mengintai kelompok kecilku.

Setelah satu jam perjalanan dari padang rumput, kami memutuskan untuk beristirahat di mulut gua dekat dengan mata air. Tentu saja setelah memastikan gua tersebut kosong dan tidak sedang dihuni binatang buas. Ini tempat yang cukup bagus. Sepertinya kami akan bermalam di sini, lagi pula matahari sudah berada di ufuk barat dengan cahayanya yang melembut, seolah tengah bersiap untuk melakukan istirahat panjang.

Dimas pergi keluar berburu sesuatu untuk makan malam, sementara Kak Shella mengoleskan obat salep pada luka di tubuhku. Entah terbuat dari apa itu, punggungku terasa sejuk seketika. Rasanya mirip seperti ketika kulitmu terluka karena cipratan minyak panas, lalu mengolesinya dengan pasta gigi. Dingin-dingin sedap, namun hal itulah yang menekan rasa perihnya.

"Mantap!" ucapku dengan lega. Kemudian menoleh pada orang yang mengobatiku. "Terima kasih banyak, Kak Shella!"

Gadis itu terdiam sesaat, lalu menyahut, "harusnya aku yang berterima kasih padamu, Anggi!"

"Kan aku yang diobati. Mengapa kau yang berterima kasih?"

"Justru karena aku hanya bisa mengobati saja, jadi tak bisa berbuat apa-apa ketika berhadapan dengan monster hutan. Maaf bila aku hanya jadi penghambat buat kalian."

Suaranya semakin lirih seakan ditelan bumi. Raut penyesalan dan kesedihan tergambar jelas pada wajahnya. Menundukkan pandangan serta menggigit bibir bawahnya, seakan Kak Shella tengah mengakui dosa-dosanya di masa lampau.

"Tentu saja tidak, Kak! Justru karena keahlianmu yang pandai meracik obat yang menolong kami. Coba kau pikir saat ini tidak ada kau! Mungkin si Dimas Bodoh itu yang akan mengobati lukaku, dan bisa saja dia hanya meludahi lukaku lalu berkata, 'diludahi juga nanti sembuh'. Kemudian bayangkan bila aku terluka di sekujur badanku. Kakak mau melihatku berlumuran air liurnya?" tanyaku dengan intonasi yang tegas. "Jelas tidak, kan?"

Mendengar jawabanku, gadis itu tertawa kecil. "Benar juga. Badanmu pasti akan bau sekali nanti, ya."

Aku memandanginya sejenak. Meski tertawanya mampu mengelabuiku, namun sorot matanya tidak.

"Aku tahu apa yang kau rasakan, kok. Kita sudah hidup lama dengan damai di tempat kita berasal. Berangkat ke sekolah, bermain dengan teman, atau pun pergi liburan sesuka hati kita sampai puas. Benar-benar kehidupan yang damai sehingga kita tidak tahu artinya bahaya yang mengancam nyawa. Begitu pula dengan kehidupan di kota Glafelden yang begitu tenang dan damai.

"Namun kini kita berada di jalan yang berbeda, jalur yang akan dilalui akan penuh dengan bahaya dan sesuatu yang tidak bisa diprediksi. Sebelum aku memutuskan perjalanan ini, aku sudah memikirkan hal ini berulang kali hingga otakku sudah lelah karenanya. Aku memang takut mati, kupikir semua orang juga begitu. Siapa sih yang tidak takut mati? Tapi aku berpikir kalau aku ingin meraih sesuatu meskipun nyawa taruhannya. Karena aku tidak mau terus diam di tempat dan melewatkan kesempatan."

Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas, lalu melanjutkan perkataanku.

"Ingat ketika aku mendapatkan informasi tentang Kristal Roh Indemnius di perpustakaan lalu menunjukkannya pada kalian? Kemudian aku tanpa sengaja terbawa ke kota Elvian dan bertemu Pangeran Keylan. Lalu semuanya seakan seperti memang takdir, dia memberiku informasi yang lebih jelas tentang Kristal Roh. Saat itu aku berpikir, mungkin inilah kesempatan yang diberikan kepadaku. Inilah jalan yang harus kulakukan. Karena itulah seberapa besar bahaya yang ada di depan, aku bertekad akan melakukan perjalanan ini sejauh yang ku mampu."

Pandanganku lurus ke depan. Memandangi dinding gua yang terbuat dari batuan alami dan tanah berlumpur. Bukan maksudku untuk mengamatinya. Hanya saja saat ini aku tak tahu ke mana mataku harus melihat.

"Apa kau pernah merasakan takut saat berada di dunia ini?" tanya Kak Shella. Dia memandangiku dengan tatapan lembut.

"Tentu saja pernah. Saat pertama kali datang ke dunia ini misalnya, siapa coba yang tidak takut saat melihat penampilanmu sendiri berubah? Atau saat pertama kali ikut dalam perburuan liar. Jujur, itu aku sangat takut bila nanti akan tertangkap tentara Elvian seperti yang Grussel sebutkan sebelumnya."

"Menjadi pemburu liar begitu berat, ya?"

"Ya, begitulah. Apa kau mau kuceritakan perburuanku selama ini? Mungkin ini bisa membunuh waktu selagi kita memulihkan tenaga di sini," ujarku dengan antusias.

"Boleh juga. Coba ceritakan pengalaman berburumu yang paling berkesan selama ini, Anggi!"

Selama setengah jam setelahnya, aku menceritakan berbagai kisah perburuanku selama bekerja di Kelam Malam. Mulai dari perburuan pertama, ketika aku baru saja mengangkat senjata sungguhan. Itu adalah hal yang berkesan bagiku, karena kupikir dengan itu aku bisa menjadi tumbuh kuat seperti yang selalu kuidamkan.

Lalu aku bercerita lagi pada Kak Shella bagaimana aku bisa menggunakan Esze angin, serta jurus-jurusku yang ampuh melumpuhkan musuh. Aku juga memberitahunya lebih detail tentang petualanganku di kota Ruvia. Gadis itu tampak terkesima mendengarkan ceritaku. Jika kau melihatnya saat ini, matanya terlihat seperti bocah laki-laki yang tengah menonton film robot, berbinar-binar bagai kerlipan bintang.

Kak Shella mengutarakan bila ia sangat tertarik untuk berkunjung ke kota Ruvia. Tapi saat itu aku tengah beruntung. Aku mendapat kesempatan bisa berjalan-jalan di sana karena kebetulan bertemu dengan Pangeran Keylan yang baik hati. Kalau tidak, mungkin kaum telinga panjang itu akan menangkapku begitu menginjakkan kaki di sana.

"Tapi kupikir, pertemuanmu dengan Pangeran Keylan tampak romantis sekali, ya?" ucap gadis itu.

"Romantis bagaimana?" Aku mengeluarkan tawa kecil, diiringi dengan menaikkan sebelah alisku.

"Coba deh, pikir lagi! Di saat kau tersudut dan tertangkap oleh pasukan khusus Elvian, Pangeran Keylan datang menyelamatkanmu. Bukankah itu mirip seperti film-film di Disney? Mungkin saja Pangeran itu jodohmu, Anggi!"

Aku menghela napas, kemudian menyentil dahi gadis yang duduk di sebelahku. "Jangan bicara yang tidak-tidak! Kau kan tahu di dalam tubuhku ini sebenarnya laki-laki. Mana mungkin aku mau menjalin kasih dengan sesama jenis? Aku masih normal, tahu!" balasku dengan ketus.

"Hahaha. Ya kan kali aja memang jodoh!"

Selepas obrolan ringan, gadis itu kembali ceria. Raut wajahnya bagaikan semburat matahari pagi yang hangat menyapa setiap makhluk. Kak Shella terlihat sudah kembali ke kondisi normalnya, riang dan gembira seperti anak kecil yang polos. Tidak ada lagi pikiran darinya tentang menjadi beban tim.

Aku sadar dalam perjalanan mencari kristal roh pasti akan begitu panjang. Pasti ada kalanya nanti salah satu dari kami akan merasa putus asa dan ingin menyerah. Mencoba melepaskan impian dan pasrah dengan keadaan begitu saja. Namun justru itulah gunanya tim. Kami harus berusaha saling menguatkan satu sama lain agar dapat meraih apa yang diinginkan.

Semoga saja kami bertiga mampu bertahan sampai akhir perjalanan ini.

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

WillyAndhacreators' thoughts