webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
53 Chs

Chapter 30 "Laba-Laba Tarantula Raksasa"

Sedetik kemudian aku langsung berlari secepat kilat menuju kaki gunung. Meskipun sudah menempuh setengahnya, padang rumput ini terlalu luas. Jarak antara aku dan kaki gunung kira-kira satu kilometer. Untuk bisa sampai ke sana membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Aku tak tahu apakah kami bisa mencapai kaki gunung lebih cepat sebelum laba-laba itu mengejar kami.

Kulempar pandanganku ke belakang, masih belum ada apa pun. Serangga itu sepertinya masih tetap menunggu di bawah tanah. Itu pertanda buruk. Jika masih berdiam diri, artinya laba-laba raksasa itu percaya diri mampu menangkap kami dengan mudah.

Kami bertiga sudah berlari secepat mungkin beberapa saat, tetapi tetap saja kaki gunung terlihat jauh. Dimas dan Kak Shella masih tertinggal di belakang. Lelaki itu menggenggam tangan Kak Shella agar tak terjatuh. Sepertinya ia tidak berniat untuk melepaskan tangan gadis cantik seperti itu, seakan-akan ia lebih baik menyeretnya dari pada meninggalkan Kak Shella. Dimas bahkan membawakan tas punggungnya yang tampak besar.

Kendati demikian, keduanya masih dalam kecepatan yang sama. Jika begini terus, maka kami tidak akan bisa melewati padang rumput ini dengan selamat.

Aku memimpin jalan di depan. Membelah rerumputan yang entah mengapa semakin meninggi. Menenggelamkan badanku di padang rumput sampai ke dada. Sial sekali! Rumput-rumput ini membuat lajuku semakin lamban. Aku takut kita tidak bisa—.

*DRRR!!

Tiba-tiba suara gemuruh terdengar di belakangku. Aku menoleh secepat kilat untuk mengetahui apa yang terjadi. Benar saja. Kemungkinan buruk yang kuduga telah terjadi. Dua laba-laba itu muncul dari dalam tanah dan berlari kencang menuju kami.

"Cepat lariii!!" teriakku dengan kencang.

Secara refleks Dimas mengamit tangan Kak Shella dan berlari lebih kencang dari sebelumnya. Pria itu tidak menoleh ke belakang dan segera mengambil langkah seribu. Begitu pula denganku. Berada paling depan membuatku mau tak mau harus memilih jalan yang mudah dilewati rekanku di belakang. Aku juga sempat membabat rerumputan yang menghalangi dengan belati kecilku, meski tidak terlalu efektif.

Suara gemuruh itu terdengar mendekat lebih cepat dari yang kukira. Kedua kakiku sudah dipaksa untuk berlari kencang, namun tetap tak bisa mengalahkan kecepatan dua serangga itu.

"Shella!!"

Teriakan Dimas membuatku terhenti, kemudian memalingkan pandangan ke belakang. Astaga! Kak Shella terjatuh. Kakinya tersandung tulang rusuk hewan yang mencuat dari dalam tanah. Celakanya lagi, kakinya terkilir dan membuatnya tak bisa berdiri dengan benar. Apalagi berlari. Aku meneteskan bulir keringat di sekujur tubuh. Jantungku berdegup kencang. Mataku melayang ke belakang, tak jauh dari sini ada dua serangga raksasa yang kemari dengan kecepatan penuh untuk memangsa kami. Sementara kami di sini tak bisa bergerak sedikit pun. Tentu saja aku dan Dimas takkan meninggalkan Kak Shella.

Apa yang harus kulakukan?

"Shella! Tetaplah di sini dan merunduk di bawah rerumputan ini. Pastikan mereka tak melihatmu," ujar Dimas sembari melepas tas punggung milik Kak Shella dan menaruhnya di atas tanah. Kemudian dia berpaling padaku. "Anggi! Ayo kita tahan monster laba-laba itu!"

Aku mengangguk. Meninggalkan Kak Shella di sini, kami berdua berjalan mendekati monster itu. Semakin lama laba-laba itu tampak semakin besar. Mataku bisa melihat kedelapan kakinya yang berbulu dengan jelas. Juga wajahnya yang sangat jelek. Astaga! Itu benar-benar wajah terjelek yang pernah kulihat selama ini.

"Aku atasi yang kanan, sementara kau yang lainnya," ucap Dimas.

Lelaki itu melangkah ke depan, mencabut pedang miliknya dari sarungnya yang berkilauan. Pria itu mengambil sikap kuda-kuda sembari mengacungkan pedangnya ke depan. Sementara aku menyiapkan busur dan anak panah. Kutarik tanganku dalam-dalam guna merentangkan busurnya. Kusejajarkan mata dengan anak panah ke depan, ke arah salah satu monster itu.

Sayangnya, aku bukan pemanah yang baik. Aku hanya bisa memanah sesuatu yang berada dalam jarak belasan hingga puluhan meter. Jadi aku menunggu sampai monster itu masuk ke dalam jangkauan jarak tembakku.

Beberapa detik kemudian, salah satu monster laba-laba raksasa mendekat dengan cepat. Begitu kulepaskan tanganku, anak panah langsung melesat ke depan. Namun sayang seribu sayang, anak panah itu hanya menyerempet tubuhnya saja.

"Sial, aku meleset!" umpatku dengan kesal.

Kemudian mengambil satu anak panah lagi dan bersiap untuk melepaskannya. Serangga besar itu semakin mendekat, aku takkan meleset kali ini. Dalam satu helaan napas, aku kembali melepaskan anak panah. Benda itu terbang cepat di udara. Dengan kecepatan seperti itu dan dari jarak yang dekat, pasti akan bisa mengenai monster itu. Aku tak berharap terlalu banyak seperti dapat membunuhnya dengan itu, tapi setidaknya bisa melumpuhkan lawan.

Namun, kenyataan berkata lain. Anak panah yang seharusnya bisa menembus tubuh monster itu, justru mental ke arah lain setelah mengenainya. Aku melotot. Seharusnya tidak ada yang bisa menahan anak panah dengan ujung tajam kecuali perisai atau baju zirah. Makhluk hidup pasti akan terluka ketika dihadapkan dengan anak panah yang melesat kencang. Tetapi tidak dengan laba-laba ini. Ia masih berlari menuju kemari seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.

Jangan-jangan ....

"Dimas, hati-hati! Cangkang serangga ini keras sekali!" teriakku pada Dimas.

Aku melihatnya mengangguk. Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya. Karena pada detik setelahnya, aku harus bergulir ke samping guna menghindari terjangan laba-laba raksasa. Kemudian aku bangkit, di saat itulah aku benar-benar bisa melihat sosok makhluk ini dengan jelas.

Laba-laba ini besar sekali. Tingginya bisa mencapai dua meter lebih. Aku harus mendongak untuk bertatapan dengan kedelapan mata yang ada di wajahnya. Benar kataku. Ini adalah wajah terjelek yang pernah kulihat seumur hidup. Selain itu kaki-kakinya sangat panjang dan berbulu lebat. Jika dilihat dari ciri-cirinya serta kebiasaannya yang bersembunyi di dalam tanah, sepertinya laba-laba ini termasuk dalam Trap Door Tarantula. Meskipun aku tidak tahu pastinya.

Serangga itu kembali menyerangku dengan kaki-kaki depannya, namun bisa kuhindari dengan bergulir atau sesekali melompat ke belakang. Aku menarik anak panah lagi, kali ini tepat di depan wajah jeleknya. Namun lagi-lagi anak panah itu tak berpengaruh sama sekali. Laba-laba itu hanya tersentak satu kali, di detik berikutnya ia sudah mengarahkan amarahnya padaku.

Ia menggunakan kaki depannya yang beruas banyak untuk memukulku. Aku kembali menghindar, tapi tidak semuanya berhasil. Salah satu serangannya berhasil mengenai perutku dan mementalkan tubuh ini beberapa meter jauhnya. Belum hilang rasa sakitnya, aku harus dihadapkan dengan monster laba-laba yang melompat kemari. Aku berguling ke depan, tepat di bawah tubuhnya yang melayang. Kedua taring miliknya menancap ke dalam tanah. Jika terlambat satu detik saja, tubuhku akan memiliki dua lubang yang besar. Kelihatannya taringnya beracun, karena mengeluarkan asap ketika mengenai tanah.

"Sial! Panahku tidak mempan. Bisa mati aku kalau begini terus."

Aku melirik ke arah Dimas. Lelaki itu pun tak begitu berbeda denganku, ia kesulitan menghadapi monster serangga sialan ini. Pedangnya tak mampu memotong kaki laba-laba raksasa, menggoresnya pun tidak. Sering sekali pedangnya mengadu dengan cangkang keras lawan, namun tak menghasilkan apa-apa. Ia harus berguling berkali-kali untuk sampai ke tempatku. Kami berdua saling beradu punggung dengan musuh masing-masing di depan kami.

"Bagaimana denganmu? Pedangku tak bisa menembusnya," ujarnya di belakang punggungku.

"Sama denganmu. Anak panahku hanya dianggap mainan saja olehnya."

"Bagaimana kalau kau gunakan Esze?"

"Aku hanya bisa menggunakan tipe angin dan udara. Kurasa itu bukan ide yang bagus mengingat betapa kerasnya cangkang mereka."

"Coba saja dulu!" perintahnya.

Aku ragu ini akan berhasil, tapi sesuai ucapannya, ini patut dicoba. Tanganku merogoh ke dalam saku baju, di mana aku menyimpan sebuah viglet berwarna gading dengan corak gelap pada pangkalnya.

Tanganku mengangkat viglet dan mengarahkannya pada monster laba-laba yang ada di depanku. Serangga besar itu berdiam diri seakan menunggu waktu yang tepat untuk menyerang. Aku pun demikian. Kupusatkan konsentrasi penuh pada viglet. Lalu dalam satu helaan napas ....

"Vitr Blast!"