webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
53 Chs

Chapter 26 "Menembus Hutan Elvian"

Malam ini entah mengapa begitu sepi. Mungkin karena hujan deras yang turun sejak sore, orang-orang jadi malas keluar rumah. Belum ada jalan beraspal di kota ini, jadi semua jalanan berubah menjadi lumpur dan becek. Hanya di tempat-tempat tertentu seperti pusat kota saja yang jalannya sudah berbatu. Jadi jangan harap pinggiran kota terpencil tempat markas Kelam Malam mendapat keistimewaan seperti itu.

Memang ada beberapa orang yang berlalu-lalang di luar sana, tapi dapat dihitung dengan jari. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan di sini kecuali tidur dan melewati hari dengan mimpi indah. Kecuali kriminal seperti perampok dan pemburu yang memang bekerja ketika malam datang.

Aku dan Dimas adalah salah satu dari sedikit para kriminal itu. Kami memang pergi keluar gerbang kota menuju hutan, tapi bukan untuk berburu. Melainkan untuk kabur sesegera mungkin dari Glafelden.

Ada sepasukan berkuda elit yang mengejarku kemari. Entah apa yang mereka inginkan, yang pasti itu bukanlah niat yang baik. Bila seseorang dari ibukota ingin bertemu denganku secara baik-baik, mereka seharusnya datang dengan kereta kuda dan menyapaku ramah, bukan mengirimkan satu pasukan terlatih ke padaku.

Menurut surat yang dikirim oleh Kak Indra, mereka sudah berangkat sejak empat hari yang lalu. Jarak antara Glafelden dan Lurich sekitar 1.200 KM, butuh lebih dari seminggu untuk menempuhnya. Yang artinya dalam beberapa hari lagi mereka akan sampai di kota ini. Karena itulah aku harus pergi sekarang juga untuk menciptakan jarak di antara kami. Grussel mengkhawatirkan perjanjian di antara kedua negara takkan membuat satu pasukan elit berhenti mengejarku.

Siapa tahu mereka akan masuk dan menyusup diam-diam ke wilayah Elvian demi menangkapku?

Kak Erik yang berada di dalam pasukan itu tak memberi tahu kami tentang kekuatan mereka yang seutuhnya. Entah karena tidak sempat atau dia dilarang membocorkan rahasia kemiliteran kepada siapa pun. Jadinya aku sama sekali buta terhadap musuhku.

Tujuan kami adalah Kota Arnest yang berada di sebelah barat Pegunungan Lintang Utara, di sanalah kristal roh pertama berada. Entah apakah yang kujalani ini benar atau tidak, yang jelas kami tidak punya pilihan lain.

"Anggi, ayo!" seru Dimas yang membuyarkan lamunanku.

Untuk pergi ke wilayah Elvian, kami harus menyeberangi Sungai Kelan yang lebar dan dalam. Kami harus berjalan ke arah utara sekitar setengah jam guna menemukan bagian sungai yang cukup dangkal untuk dilewati. Di tempat inilah biasanya kelompok pemburu Kelam Malam mulai beraksi.

Dimas menarik sebuah rakit kecil yang disembunyikan dekat akar pohon raksasa. Dengan benda ini, aku dan rekan-rekanku menyeberangi sungai dan menyusup ke wilayah Elvian.

Dimas telah naik dahulu ke atas rakit di tepi sungai, mengulurkan tangannya untuk membantuku naik. Aku bergeming. Sejenak meratapi pria itu dengan ragu-ragu. Merasa tidak percaya bila menyambut uluran tangannya berarti memulai perjalanan kristal roh yang penuh bahaya. Aku menghembuskan napas panjang. Keputusan ini sudah kubuat sebelumnya dan tidak mungkin diubah, sehingga tanganku secara tidak sadar menerima uluran tangan Dimas.

Ketika kami berdua telah berada di atas rakit dan siap menyeberang, tiba-tiba indra pendengaran milikku menangkap bunyi dedaunan yang patah terinjak. Dimas bertanya padaku apa yang terjadi, namun aku tak menggubrisnya. Pandanganku mengarah tajam ke pada sumber suara.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki yang tengah berlari terdengar bersamaan dengan seorang gadis yang muncul dari balik pepohonan. Ia sampai di tepi sungai dengan terengah-engah. Sebuah tas kulit berukuran besar di punggungnya yang membuatnya seperti itu. Tangannya memegang lentera kecil guna menerangi jalannya.

"K-Kak Shella!?" seruku dan Dimas yang nyaris bersamaan.

"A-Aku ... memutuskan untuk ikut dengan kalian."

Dengan suara yang bergetar dan terbata-bata, Kak Shella menegaskan pernyataan yang sangat tidak bisa dipercaya. Baik aku maupun Dimas tercengang mendengarnya.

"Tunggu dulu! Apa yang kau katakan? Perjalanan ini bukan karyawisata sekolah. Ini penuh dengan bahaya, kau tahu?" tolak Dimas, berusaha meyakinkan gadis itu.

"Tentu saja aku tahu. Tapi aku juga ingin melakukan sesuatu. Aku tak ingin berpangku tangan di rumah sementara kalian berjuang menghadapi bahaya. Aku tahu berbagai tanaman herbal, jadi aku bisa merawat kalian bila terluka. Lagi pula, aku ini anggota Taekwondo, aku bisa menjaga diri."

"Bukan itu masalahnya, Kak!" sergah Dimas dengan suara yang lembut. "Aku tak yakin semuanya akan berjalan lancar. Kalau sampai sesuatu terjadi padamu, aku akan merasa bersalah. Jadi lebih baik Kak Shella tetap di kota ini."

"Kenapa aku tak bisa ikut sementara Anggi bisa? Apa karena aku bukan ras pilihan? Apa karena aku terlalu lemah dibandingkan kalian? Begitukah menurutmu, Dimas?"

Mereka saling berpandangan selama beberapa saat. Tatapan dan ambisi yang kuat terpancar dari mata Kak Shella, begitu juga dengan raut kekhawatiran yang Dimas miliki. Meski mereka tampak sedang bertatapan, namun sebenarnya keduanya tengah beradu satu sama lain. Aku tidak bisa membiarkan dua orang itu terus begini.

"Baiklah, kau boleh ikut, Kak Shella! Sepertinya kita memang perlu bantuan perawatanmu!"

Keduanya serentak melemparkan pandangan padaku. Yang satu penuh dengan kebahagiaan, sementara yang lainnya dipenuh ketidakpercayaan. Kak Shella langsung naik ke atas rakit dan memelukku, membuat rangkaian dari beberapa batang kayu ini bergoyang di atas permukaan sungai.

"Terima kasih, Anggi! Kau memang selalu mengerti perasaan orang lain!" seru gadis itu.

"Ya ampun! Terserah kau sajalah!" Dimas menepuk dahi dan menghela napas. Tampaknya pria itu kalah suara dalam perdebatan ini.

Butuh waktu sampai Dimas menerima hal ini seutuhnya. Aku membuat keputusan ini bukan tanpa alasan. Selain membutuhkan seorang perawat yang mengerti banyak tentang tanaman herbal, aku juga tidak ingin menyia-nyiakan seseorang yang ingin berjuang. Rasanya seperti melihat diriku sendiri ketika bertekad menemukan cara untuk kembali pulang.

Dengan begitu, ada tiga orang yang menaiki rakit ini. Mencoba bertaruh risiko untuk menggapai tujuan yang sama. Aku penasaran, sejauh apa petualangan yang dimulai dari kelompok kecil ini. Semoga saja kami benar-benar bisa mendapat apa yang diinginkan.

Setelah beberapa menit, rakit tiba di sisi seberang. Sungai di tempat ini selain tidak begitu dalam, arusnya cukup tenang. Jadi kami hanya perlu mendayung dengan santai tanpa takut terbawa arus.

Mulai saat ini dan seterusnya, hutan ini adalah wilayah Elvian di mana manusia dilarang masuk. Karena ini adalah penyusupan, aku menyuruh Kak Shella mematikan lentera kecilnya agar posisi kami tidak diketahui. Cahaya Rubiel di atas langit tampak samar dengan kabut putih tipis di sela-sela pepohonan. Suasana yang sangat bagus, pikirku.

Aku memimpin jalan memasuki hutan Elvian. Kedua mataku bisa melihat dengan baik seperti siang hari di kegelapan malam. Inilah keistimewaan yang kusyukuri setelah menjadi Haier-Elvian. Kupilih jalan yang tidak banyak akar pohon melintang agar mudah dilewati kedua temanku. Suasana di hutan ini begitu hening, hanya ada suara angin semilir yang terkadang membelai pelan tengkukku. Suara serangga pun hanya beberapa kali terdengar, setelah itu lenyap.

Kota Arnest berada di sebelah barat Pegunungan Lintang Utara, yang artinya kami harus mendaki pegunungan untuk sampai ke sana. Untuk itu, aku berniat untuk memutari Kota Ruvia guna menghindari tentara Elvian. Semakin dekat kota, semakin banyak tentara yang berpatroli. Tidak masalah jika kami harus menempuh jarak yang lebih jauh, karena keselamatan adalah hal yang diutamakan. Kami berjalan ke utara dan pergi menuju pegunungan dari sana.

Setelah beberapa jam berjalan membelah hutan, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di samping akar pohon raksasa setinggi ratusan meter. Semakin jauh ke dalam, pepohonan yang tumbuh di hutan semuanya besar dan tinggi sekali. Sama seperti pepohonan raksasa di Kota Ruvia. Bedanya, wilayah ini tidak dihuni ataupun dikelola oleh Elvian.

Suasana di tempat ini pun mencekam. Karena dedaunan yang rindang, cahaya Rubiel tidak dapat menembus sama sekali ke bawah sini. Bagi manusia biasa, ini adalah kegelapan total yang tidak berujung. Ditambah dengan suara lolongan binatang yang sering kali terdengar, membuat siapa pun akan merasa sangat waswas.

Aku mengizinkan Kak Shella menyalakan lentera kecilnya setelah mengamati keadaan di sekitar dengan Indra Super. Proyeksi penglihatanku tidak melihat adanya apa pun yang berbahaya. Selain pohon-pohon raksasa, yang bisa kulihat dalam jarak lima ratus meter hanyalah burung-burung yang bertengger di dahan pohon, kumpulan serangga yang di balik semak-semak, atau dedaunan kering yang jatuh seiring tiupan angin kencang.

"Entah mengapa aku merasa ini adalah tempat yang buruk," ujar Dimas. Ia duduk bersandar pada akar pohon raksasa.

"Sejak awal, hutan ini memang tempat yang buruk," timpalku sambil menahan napas, berusaha mengaktifkan Indra Super-ku kembali.

"Aku tidak yakin tempat ini cocok untuk beristirahat."

"Kita sudah berjalan berjam-jam dan tetap tak menemukan tempat yang aman dan tenang untuk beristirahat. Suasananya selalu seperti ini. Tidak ada yang tahu apa yang ada di depan kita, bisa jadi lebih buruk dari sekarang. Kau yakin kita di arah yang benar, kan?"

"Tunggu sebentar!" Dimas menaruh pedang pendeknya di samping, dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kulit berkualitas jelek miliknya. Itu adalah sebuah peta. Pria itu membuka lebar peta serta mendekatkan lentera kecil milik Kak Shella. Setelah beberapa saat, Dimas mengangguk-angguk kecil. "Kita sudah berada di arah yang benar. Setelah ini kita harus menuju arah barat dan berjalan sekitar tiga jam untuk sampai ke kaki pegunungan."

"Kita istirahat setengah jam, lalu lanjutkan perjalanan!"

Dimas dan Kak Shella mengangguk setuju. Aku mengeluarkan sepotong roti kering dari dalam tas untuk dimakan bertiga. Bekal yang kubawa terbatas, aku tidak bisa menyia-nyiakannya tanpa perhitungan sama sekali. Meskipun sedikit, rasanya cukup mengenyangkan perut. Karena saat ini kami hanya makan untuk bertahan hidup. Andai saja ada rusa atau kambing hutan yang lewat, aku pasti akan menjadikannya bekal tambahan. Sayangnya belum ada binatang buruan melintas di dekat kami sejak tadi.

Selain busur pendek dan tempat anak panah di punggungku, aku juga membawa tas kulit berisi perbekalan makanan dan beberapa keping emas. Grussel memberikannya padaku saat kami berpisah. Aku tak menyangka orang sepelit dirinya akan memberi uang yang cukup banyak. Hal itu sungguh membantu. Sepertinya Grussel memang memiliki sisi dermawan dan pengasih seperti yang pernah Dimas katakan.

Tidak lupa aku membawa viglet pemberian Pangeran Keylan di saku baju. Benda ini akan menjadi andalanku ketika melawan musuh. Setelah latihan beberapa kali dengan Almira, benda ini seakan dapat memanifestasikan Esze dari strukturku beberapa kali lipat. Waktu itu aku sangat terkejut ketika melihat efek ledakan angin. Biasanya aku hanya bisa mementalkan beberapa benda saja, tapi dengan viglet ini aku bisa mencabut beberapa pohon dengan mudah. Kekuatan yang sangat hebat, namun sangat sulit untuk dikontrol. Terakhir kali aku hampir meledakkan angin dekat dengan Almira berada.

"Haah ...." Aku menghela napas panjang.

Entah mengapa aku jadi teringat dengan Almira. Aku belum sempat berpamitan dengan wanita itu sebelumnya. Ia mungkin akan marah saat tahu aku pergi tanpa pamit. Terkadang ia bisa menjadi orang yang menyebalkan. Tapi ia adalah salah satu teman dekat yang kumiliki di sini. Pergi tanpa pamit rasanya benar-benar menyakitkan. Aku menyesal tak bisa mengucapkan kata perpisahan padanya.

Semoga saja ... takdir akan mempertemukan kami kembali.

Di saat aku tengah bersandar melepas lelah di akar pohon raksasa, seketika indra pendengaranku mendengar suara bising dari jarak jauh. Dimas dan Kak Shella merasa terkejut melihatku yang tiba-tiba bersiaga. Mereka bertanya padaku, namun aku mengabaikannya. Kupejamkan mata untuk mengaktifkan Indra Super. Proyeksi dalam pikiranku mencoba melihat jauh ke arah utara, arah sumber suara berasal.

Aku masih belum melihat apa-apa hingga tiga ratus meter ke depan. Kemudian mencoba lebih jauh lagi hingga mencapai batas kemampuanku yang memiliki radius sekitar tujuh ratus meter. Pada jarak itu juga masih belum terlihat apa-apa. Suara bising itu terdengar jelas, seperti kepakkan sayap burung. Tapi jumlahnya banyak dan mungkin bisa mencapai ratusan. Setelah beberapa waktu menunggu hingga suaranya jelas, barulah aku bisa melihat dengan pasti. Sosok-sosok hitam besar berkelebat di antara sela pepohonan. Mereka terbang cepat kemari seperti menandingi kecepatan angin.

"Ini gawat!!" seruku tertahan.

"Ada apa?" tanya Dimas.

"Segerombolan Kelelawar Vampir Hitam sedang kemari!"