webnovel

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir]

Pada awalnya, aku hanyalah murid biasa yang mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja ada benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun menyadari, ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan yang kuingat. Begitu banyak keanehan di tempat ini. Mulai dari kuda bertanduk, kelinci putih pemakan daging, serta jamur-jamur raksasa setinggi tiga meter. Walau sama sekali tak percaya, aku menyadari bahwa diriku sendiri termasuk ke dalam keanehan itu. Namaku Anggi Nandatria. Yang kini adalah Haier-Elvian, ras campuran manusia-peri yang sangat langka di dunia ini. Ilustrator: Jerifin

WillyAndha · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
53 Chs

Chapter 06 "Melangkah di Atas Tanah Baru"

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera meloncati pagar. Celanaku sempat tersangkut dan membuatku terjatuh. Bahkan tudung yang kukenakan pun terlepas. Tidak mempedulikan itu, aku segera bangkit. Melewati halaman rumput luas tepat di samping bangunan. Hanya ada sebuah lentera redup di tempat ini. Sinarnya tidak cukup terang. Jadi kupikir apa pun yang berada di ujung sana, mengeluarkan cahaya sendiri. Tidak memantulkan kilap lentera taman.

Nyaris sama persis dengan kejadian satu tahun lalu. Saat berada di sungai, tiba-tiba saja sebuah benda aneh memaksaku memungutnya karena termakan cahaya yang menyilaukan. Kalau saja ini adalah benda yang sama dengan waktu itu. Mungkinkah aku dapat kembali ke dunia asalku?

Namun, harapku menguap seketika. Cahaya itu terbang begitu aku mendekatinya. Ke sana dan kemari bagai daun gugur yang ditiup angin. Terbang mendekati wajah dan hinggap di hidungku.

"Kumbang?"

Entah apa namanya. Aku baru pertama kali melihat serangga jenis ini. Kumbang itu mirip sekali dengan kunang-kunang. Hanya saja ukurannya sebesar jempol orang dewasa. Beberapa saat bertengger, binatang itu lantas pergi begitu saja. Aku merasa kecewa. Merasa paling bodoh sendiri. Atau merasa naif berpikir kejadian yang sama persis akan terulang dua kali, dan mengembalikan semuanya ke awal.

"Hoi, bodoh! Sedang apa kau di sana? Bukankah sudah kusuruh untuk kemari?" teriak Dimas, sosoknya mendadak muncul di ujung koridor.

"Iya, iya. Aku segera ke sana," sahutku sebal. Padahal, dia bisa saja berucap dengan baik. Tak perlu sampai berteriak-teriak seperti monyet hutan.

"Dan mengapa tudungmu sampai lepas, bodoh? Pakai lagi sebelum ada yang melihatmu!"

"Iyaa."

Tak ingin dimaki lagi olehnya, aku segera beranjak dari tempat itu. Mengambil tudungku yang terjatuh di atas semak, dan mengenakannya kembali. Meninggalkan rasa penasaran dan harapan jauh-jauh. Mengikuti langkah Dimas menyusuri lorong, aku dituntun ke sebuah pintu ganda yang besar. Ini adalah pertama kalinya aku memasuki bangunan ini. Karena biasanya setiap bermain ke sini, aku hanya sampai di toko obat dan halaman depan saja.

Ruangan ini sangat luas. Cukup untuk memuat dua buah meja panjang yang disejajarkan. Lampu kristal tergantung kokoh di langit-langit. Dalam ruangan ini hanya ada sedikit perabotan atau hiasan lainnya. Cukup simpel dan sederhana. Terlalu banyak tempat kosong di sini.

Namun, hal yang membuat ruangan ini lebih hidup ialah keberadaan anak-anak kecil yang berisik ketika menunggu waktu makan malam tiba. Anak-anak yang sedang duduk di kursi ini adalah penghuni panti asuhan di sini.

Ya, kau benar. Selain dijadikan klinik dan toko obat, Bibi Saantya juga mengasuh belasan anak kecil yang tidak punya tempat tinggal di sini. Ia terkadang membawa pulang anak gembel, yang sengaja ditinggalkan oleh orang tuanya, atau korban praktik perbudakan. Sifatnya yang peduli pada sesama dan saling mengasihi membuat semua orang di kota menyebutnya dengan 'Orang Suci'.

Aku juga sependapat. Saat pertama kali bertemu dengannya, ia menyambutku dengan hangat dan wajah yang teramat ramah. Sungguh sulit menemukan orang seperti itu di tengah kota yang penduduknya sangat individualis. Benar-benar deh. Terkadang aku merindukan kota asalku tinggal. Saling menyapa dan tersenyum satu sama lain meskipun pada orang asing. Adalah hal yang sulit ditemukan di kota Glafelden ini.

Mataku menyapu ke arah anak-anak. Kuperhatikan, rentang usia mereka antara empat sampai sepuluh tahun. Mereka berteriak, bergurau dengan temannya, atau memainkan peralatan makan di atas meja. Membuat suara gaduh yang memekakkan telinga. Beberapa pengasuh mencoba membuat mereka tetap diam. Tapi namanya juga masih bocah, tetap saja dilakukan walau dilarang. Saat melintasi ruangan, beberapa anak melihatku. Tertawa. Entah apa yang lucu. Menyaksikan wajah anak-anak itu yang tertawa lepas tanpa beban melegakan hati ini. Membuatku tanpa sadar turut tertawa dan melambaikan tangan.

Dimas membawaku ke salah satu ujung meja panjang. Tempat di mana orang-orang dewasa duduk dan menunggu makan malam. Yang kuyakini adalah para pengasuh panti asuhan dan apoteker. Sebagian kursi di antaranya kosong. Mungkin mereka sedang membantu menyiapkan makanan atau menenangkan anak-anak berisik itu. Dimas menarik sebuah kursi dan menyilakanku. Aku berjengit. Menatap aneh padanya. Sejak kapan ia begitu peduli padaku? Namun karena suasana sedang bagus, aku tak begitu mempedulikannya.

Di sebelahku, ada wanita paruh baya yang mengenakan seragam mirip apoteker. Berwarna putih bersih seperti kapas, dengan kancing-kancing besar pada bagian atasan. Aku menyunggingkan senyum tipis, diikuti dengan anggukan pelan.

"Terima kasih karena sudah mengundang kami makan, Saantya!" Aku berseru pelan.

"Tidak apa-apa, gadis kecil! Kau sudah kuanggap bagian dari kami," jawabnya, lalu tertawa kecil. "Jangan sungkan! Kau juga butuh tempat tinggal sementara, kan?"

"Iya. Boleh kan aku tinggal di sini?"

"Tentu saja, manis! Kau bisa tinggal di sini sampai kapan pun. Lagipula, tempat ini cukup besar. Tidak masalah bila harus menambah satu orang lagi."

"Sekali lagi terima kasih." Aku membungkuk dalam-dalam. Terbagi perasaan antara merasa malu karena tidak enak, dan lega karena sudah ditolong.

Tak beberapa lama, seseorang masuk dari koridor yang mengarah langsung ke dapur. Tangannya mendorong kereta makan yang telah tersedia berbagai macam makanan. Setelah kusidik ada daging stik sapi, ayam panggang, sup daging dengan rumput hitam, jamur goreng saus mentega, dan masakan lainnya. Uap panas mengepul ke udara, seperti keluar dari cerobong asap kereta uap. Tidak hanya ia saja. Namun ada empat orang lainnya yang mendorong kereta makan di belakangnya.

Untuk mengenyangkan perut tiga puluh orang, tidak cukup satu kereta makan saja, bukan?

Kelima orang itu lantas menaruh makanan ke atas meja makan panjang. DI antara mereka ada Kak Shella. Kebetulan sekali ia yang menyajikan makanan di ujung meja ini. Jadi aku bisa bertegur sapa dengannya walau sesaat. Sebelum selesai, gadis itu memberi sebuah porsi ekstra sup daging pada Dimas. Seharusnya setiap orang dapat satu porsi. Tapi pria itu yang mendapat dua.

"Terima kasih sudah membantuku," kata Kak Shella. Memberi senyuman terbaiknya pada pria yang ada di hadapannya.

Aku menghela napas. Memang sih, aku sedang coba mendekatkan mereka. Tapi sepertinya, tanpa campur tanganku pun keduanya sudah saling tertarik satu sama lain. Lihat saja pandangan mata gadis itu! Tampak dalam dan menggelora. Baru kali ini kulihat Kak Shella membuat ekspresi seperti itu. Biasanya ia bersikap biasa saja pada semua cowok. Termasuk seorang anak bangsawan kota yang akhir-akhir ini sering datang menggodanya.

Untuk saat ini, kubiarkan saja perasaan mereka meletup-letup. Karakter yang seharusnya tidak ada dalam cerita mereka, sebaiknya mundur.

Aku lebih fokus pada apa yang berada di atas meja. Nah, sekarang bagaimana aku menghabiskan makan malam yang porsinya dua kali lipat dari biasanya aku makan? Semua orang sudah mendapatkan porsinya masing-masing. Bila tamu tidak menghabiskan makanan dari tuan rumah, bisa dianggap buruk. Itu adalah adat di negeri ini. Saat dilanda kebingungan, aku tiba-tiba menoleh.

Menyodorkan semangkuk sup asparagus dan sepotong ayam panggang ke samping. Dimas yang hendak mulai makan, terhenti. "Untukmu. Kau tahu porsi makanku yang biasanya, bukan?"

Tanpa mengeluarkan sepatah kata apa pun. Lelaki itu langsung melahap makanan apa yang ada di depannya. Aku tersentak. Tidak pernah kubayangkan sedikit pun ia akan menunjukan caranya makan dengan rakus di sini, di depan Kak Shella, Bibi Saantya, anak-anak, dan para pengasuh serta apoteker. Giginya mengunyah cepat. Mulutnya sampai mengeluarkan suara yang menjadi perhatian orang lain di dekat kami.

Aku menyikutnya dan tertawa. "Sekarang, lihat siapa yang tidak tahu malu di sini?"

"Berisik! Ini sudah menjadi cara makanku." Dimas melotot.

Walau sedikit terganggu karena suara celotehan anak-anak dan kunyahan Dimas tentunya, makan malam ini bisa kuanggap sempurna. Karena selama ini, orang tua bajingan dan pelit itu, Grussel tak pernah memberi kami makanan mewah. Sebaik-baiknya makanan yang ia berikan hanya ayam kering, tulang ikan, serta lauk lain ala kadarnya, yang bahkan kucing pun enggan memakannya. Kurasa kalau bisa menangis, aku akan menangis bahagia sekarang.

Setelah makan malam, aku ikut membantu mencuci piring dan peralatan sisa makan. Aku memang tidak terbiasa dengan pekerjaan rumah. Tapi ini harus kulakukan. Tentu sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan Bibi Saantya yang mau menerimaku. Selagi diizinkan tinggal di sini, tentu saja aku harus membantu semua pekerjaan mereka apa pun yang bisa dilakukan.

Pukul sembilan malam, aku sudah merangkak ke atas tempat tidur. Aku berbagi kamar dengan Kak Shella. Karena kamarnya memiliki dua kasur yang kebetulan kosong. Gadis itu juga sama sekali tak keberatan. Justru senang karena ada yang bisa menemaninya saat malam. Kini hanya ada kami berdua di sini. Dimas sudah lebih dulu kembali ke markas pemburu 'Kelam Malam'. Karena hanya aku saja yang diusir oleh pak tua bajingan itu, dia tidak. Mendadak aku jadi teringat kembali ekspresi Grussel yang memuakkan. Menjijikan. Kuharap ada seekor cicak yang jatuh ke mulutnya sewaktu ia mendengkur.

Aku menggebah sprei tempat tidur. Lalu menarik selimut sampai ke dada. Kasur ini nyaman dan empuk. Hangat pula. Membuat semua penat dan lelahku hilang seketika. Sebenarnya aku biasa tidur agak larut. Tapi semua orang di tempat ini terbiasa pergi tidur pukul sembilan tepat. Mau tidak mau aku harus mengikuti aturan tak tertulis ini. When in Rome, do as the Romans do. Itulah yang kulakukan saat ini.

"Anggie ... apa kau masih tetap akan mengenakan tudung itu?" tanya Kak Shella pelan. Menoleh kemari dari tempat tidurnya.

"Oh iya, ya. Kebiasaan soalnya." Aku tertawa kecil. Lalu melepas tudung yang mirip dengan kupluk dari kepalaku. Mirip yang biasa dipakai oleh calo villa di kawasan Puncak. Tapi tudung ini dibuat khusus agar bisa menyatu dengan jaket kulitku. Bahannya juga terbuat dari kain yang cukup tebal.

Benda ini adalah satu-satunya penghubung dengan status rasku sesungguhnya, Haier-Elvian. Aku menggunakan ini untuk menutupi kedua telinga panjangku. Hubungan manusia dan Elvian tidak pernah akrab. Mereka akan mendiskriminasiku jika tahu kalau aku bukanlah manusia. Karena itu, aku selalu mengenakan kupluk ini kapan pun aku keluar markas. Hanya Dimas dan anggota berburu lainnya yang tahu rahasiaku.

Aku menaruh kupluk itu di atas meja kecil yang berada di samping tempat tidur. Lalu merapikan suraiku dan membiarkannya tergerai sampai punggung. Setelah itu kembali melemparkan tubuhku ke atas kasur yang lembut. Mataku hampir terpejam ketika menyadari tatapan Kak Shella yang tertuju kemari.

"Ada apa?" Aku menoleh ke samping. Tidak nyaman dengan tatapannya.

"Tidak ada. Aku hanya iri dengan rambut panjang dan lembutmu. Terlihat indah dan cantik!" katanya tanpa ragu-ragu.

Mendengar ucapannya, aku menyipitkan mata. Cantik? Apa saat ini dia sudah lupa semuanya?

"Sepertinya kau sudah menganggapku sebagai perempuan sungguhan, ya?"

"Mungkin begitu." Kak Shella nyengir, tertawa kecil. "Sungguh, melihat sosokmu yang seperti ini membuatku nyaris lupa kalau sebenarnya kau itu laki-laki. Aku bahkan tidak masalah membiarkanmu bermalam di kamarku."

Meskipun aku tahu Kak Shella tak bermaksud melukaiku. Tetap saja pernyataan itu menohok hati ini. Aku tidak membalas. Terdiam memandangi langit-langit kamar dan seisi ruangan yang hanya diterangi cahaya Rubiel—Sang Rembulan di dunia ini.

"Ayolah, aku hanya bercanda!" seru Kak Shella, berusaha menghiburku. "Apa kau masih belum menyerah menemukan cara untuk kembali ke dunia asal?"

Aku menggeleng pelan. Masih tidak mood untuk berbicara.

"Menurutku ... kau adalah orang yang paling gigih di antara kami, Anggi. Di saat semua orang sudah mulai menyerah dan melupakan keinginan kembali. Kau masih terus-menerus mencari informasi. Tidak peduli di mana dan berapa lama, kau pasti pergi mencari walau ke ujung dunia. Jujur saja, aku menggantungkan sedikit harapan padamu. Meskipun tidak berharap terlalu banyak.

"Dan aku yakin, teman-teman yang lain juga begitu. Saat pertama kali mengetahui fakta bila aku terlempar ke dunia lain, itu sangat mengerikan. Aku takut tidak bisa bertemu lagi dengan orang tuaku, adikku, dan teman-temanku. Berada di tempat asing sangat menakutkan. Mereka tidak seperti orang-orang di kota kita. Bahasa mereka juga aneh, aku merasa terasing.

"Tapi kau menguatkanku. Berkata bila semuanya akan baik-baik saja. Kau bahkan rela bergabung dengan kelompok pemburu itu agar kami mendapat tempat tinggal di dunia ini. Kamu juga mengajarkan kami berbicara, membaca, dan menulis bahasa mereka. Hingga akhirnya aku bisa beradaptasi dengan dunia ini. Bahkan menemukan pekerjaan dan hidup normal.

"Ini semua berkatmu. Aku berterima kasih atas apa yang kau lakukan sampai saat ini. Kau seperti pahlawan, Anggi."

Kak Shella tersenyum lebar. Senyum itu tulus dan murni. Seperti cahaya rembulan yang menyinari kepekatan malam. Aku tertegun sejenak. Mencoba memahami kata-katanya.

Memang, aku melakukan itu semua. Alasannya sudah tentu karena hanya aku seorang yang bisa melakukannya. Siapa lagi di antara kami yang bisa berbahasa dunia ini? Siapa lagi di antara kami yang memiliki kemampuan di luar manusia, hingga Grussel—Si Tua Bajingan—tertarik merekrutnya ke dalam kelompoknya? Itu semua peran yang harus kulakoni, mau tak mau.

Dulu aku merutuki diriku sendiri yang terlahir ulang sebagai Haier-Elvian. Berpikir bila nantinya malah akan mendatangkan kesialan. Tapi sekarang aku lega. Hal itu justru membantu teman-temanku di sini. Karena hal itu pula, kehidupanku di dunia ini serasa dipermudah. Selain dapat berbicara beberapa bahasa di dunia ini, aku bisa melihat jelas di kegelapan yang tanpa cahaya sedikit pun. Mendengar suara dari tempat yang sangat jauh. Seluruh panca indera dan fisikku terasa diperkuat. Seakan aku menjadi superhero yang sering muncul di layar lebar. Ya, betul. Ini semua berkat tubuh ini.

"Tidak usah dipikirkan, Kak Shella. Jika saja aku tidak berubah menjadi setengah peri, aku tidak yakin bisa menerima ucapan terima kasihmu." Aku menjawab pelan. Gadis itu menatapku lamat-lamat, kemudian tersenyum.

Setelah itu kami berbicara panjang lebar. Tentang teman-teman kami yang sudah meninggalkan kelompok berburu dan memilih jalan hidup sendiri-sendiri. Si kembar Vian dan Vani, memilih menjadi koki dan pelayan di sebuah restoran di kota ini. Sementara Kak Indra, Kak Erik, serta beberapa anggota laki-laki, bergabung dengan tentara kerajaan di ibu kota negeri ini. Semua orang telah berada di jalan masing-masing. Melangkah maju di atas dunia ini tanpa gentar sedikit pun.

Malam semakin larut. Kak Shella meminta izin untuk tidur duluan. Badanku masih segar. Karena sudah terbiasa berburu malam dan terjaga sampai pagi. Namun aku memaksakan diri untuk segera pergi tidur setelah beberapa saat memikirkan hal tidak penting.

=+=+=+=+=+=+=+=

Mataku terbuka lebar tatkala sinar mentari jatuh ke atas kasur. Menyoroti tajam mukaku seakan hendak mempertontonkan pada seluruh dunia, wajah seorang Haier-Elvian yang sedang tertidur. Aku menggeliat, mengerjap-ngerjapkan mata. Membuat sprei berantakan dan selimut terjatuh ke atas lantai. Kugunakan tanganku untuk mengusap kelopak mata. Sementara tangan satu lagi menutup mulutku yang menguap lebar.

Nyawaku sedikit demi sedikit mulai menyatu. Pandanganku mulai jelas dan tak berbayang lagi. Aku menoleh ke samping, tempat tidur Kak Shella. Tidak ada jejak keberadaanya di sana. Kasur dan sprei pun rapih seperti tidak pernah ada orang tidur di atasnya. Sepertinya gadis itu sudah bangun pagi sekali dan merapikan tempat tidurnya. Para apoteker dan pengasuh panti asuhan di sini memang diharuskan memulai aktivitas mereka pagi-pagi.

Aku segera beranjak dari atas kasur. Pergi ke kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur. Mencuci muka dengan air segar. Berharap dapat menghilangkan seluruh rasa kantuk ini. Jadwalku untuk saat ini adalah 'tidak ada'. Tapi aku tidak mau mengurung di kamar seharian.

Jam di dinding menunjukan pukul tujuh pagi. Aku segera mandi, membasuh tubuhku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Baju kotorku yang berada di dalam keranjang, lenyap begitu aku keluar dari kamar mandi. Sepertinya Kak Shella kembali lagi untuk mengambil bajuku untuk dicuci. Jadi mau tidak mau aku terpaksa mengenakan pakaian ganti yang sudah disiapkan oleh Kak Shella di atas meja.

Kalau yang kukenakan sebelumnya adalah kemeja panjang dengan celana panjang cokelat. Pakaian yang harus kupakai kali ini adalah gaun putih tanpa lengan, yang menjuntai hingga ke lutut. Ada renda-renda kecil di tepian roknya. Dilengkapi topi jerami yang biasa dikenakan ala turis luar negeri di pantai. Satu set pakaian itu tampak sangat modis dan feminim.

Aku menepuk dahi. Sepertinya Kak Shella sudah benar-benar lupa dengan sisi lelakiku. Kendati demikian, aku tak berniat untuk mengkhianati bantuan tulusnya. Baju itu tetap kukenakan meskipun rasanya memalukan. Semoga saja aku tak bertemu dengan Dimas atau rekan kelompok berburuku. Bisa-bisa aku menjadi bahan olok-olokan mereka.

Oh iya, nyaris lupa. Aku harus menyembunyikan telinga panjangku. Sepertinya itu kegunaan dari topi jerami ini. Kak Shella sudah memperhitungkan semuanya untukku. Untuk menyempurnakannya, aku harus menata rambutku sedemikian rupa agar terlihat lebih bervolume sehingga menutupi kedua telinga ini. Proses ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Karena itulah aku lebih suka memakai tudung. Lebih simpel dan praktis.

"Anggi, kau mau kemana?" tanya Kak Shella, melihatku keluar melewati pintu depan.

Sepertinya ia baru saja kembali setelah membeli tanaman herbal dari pedagang keliling. Hal itu dapat terlihat dari tangannya yang menenteng keranjang berisi tanaman dan dedaunan segar. Jujur saja, sebenarnya aku ingin membantu pekerjaan di tempat ini. Tapi untuk saat ini, terlebih dengan pakaianku yang ala 'turis di pantai'. Rasanya tidak mungkin untuk membantu mereka. Tentu saja karena baju ini terlalu mencolok. Aku tidak mau bila nantinya menjadi pusat perhatian orang-orang.

Aku tidak mau bila nantinya menjadi pusat perhatian orang-orang

(Ilustrasi : *https://alpha.wallhaven.cc/wallpaper/746135)

"Mau ke rumah kenalanku." Aku menjawab pelan.

"Nggak sarapan dulu?"

"Tidak perlu. Aku masih belum lapar, kok. Oh iya, terima kasih bajunya, ya!"

Kak Shella mengangguk, lalu nyengir. "Kau menyukainya? Kau terlihat cantik!"

Hatiku terasa tertohok. Sebuah serangan kritikal tepat mengenai harga diriku sebagai pria. Aku tidak marah. Mencoba membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum walau sedikit terpaksa. Setelah itu segera pergi meninggalkan tempat itu.

Cahaya matahari yang hangat menyirami kota Glafelden. Langit terlihat cerah. Angin berhembus pelan membelai wajah. Sungguh, mengawali hari dengan pagi seperti ini membuat siapa pun merasa lebih semangat. Langkah kakiku menapaki trotoar kecil di pinggir jalan sedikit demi sedikit. Orang-orang banyak berlalu-lalang di jam sibuk seperti ini. Kebanyakan dari mereka tengah berangkat ke kantor atau ke sekolah, mungkin ada juga yang hendak berdagang. Deretan kereta kuda yang melaju pelan di jalan raya, menambah kesibukan kota ini. Membuat kota Glafelden terlihat sangat ramai.

Beberapa saat kemudian aku sampai di jalanan kecil khusus pejalan kaki. Kereta kuda dilarang masuk ke sini. Selain sempit, jalanan ini juga dipakai beberapa orang untuk berdagang. Aku sering sekali lewat sini. Karena aku menyukai gurita bakar yang dijual di depan air mancur itu. Ah, sepertinya paman itu tidak jualan saat ini. Oh iya, tentu saja! Dia mulai menjajakan makanannya saat petang menjelang. Ia pasti takkan muncul di pagi hari seperti ini.

Entah mengapa setiap kali saat mengambil langkah, aku merasa cemas. Beberapa kali aku harus memegangi ujung rok agar angin tidak meniupnya ke atas. Ini adalah pertama kalinya aku mengenakan rok sependek ini. Tatapan iseng dari banyak pria memperparah rasa gugup. Aku menundukkan kepala. Melangkah lebih cepat tanpa mengurangi kewaspadaanku. Sial, rasanya benar-benar menakutkan!

Hingga beberapa saat berlalu, aku tiba di tujuan. Sebuah bangunan kecil yang terletak di pinggir kota. Dinding dan lantainya terbuat dari kayu kualitas rendah yang mudah keropos. Beberapa bagian bahkan sudah lapuk dan habis dimakan rayap. Namun, memang seperti itulah rupa kebanyakan rumah di kawasan ini. Aku menoleh ke arah timur. Dari sini kau dapat melihat tembok besar yang mengelilingi kota Glafelden. Namun bukan itu tujuanku kemari.

Dengan perlahan dan hati-hati aku menaiki beberapa anak tangga reot. Lantas mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Aku mencoba mengetuk dengan lebih keras lagi, berharap didengar oleh seseorang yang berada di dalam sana. Keinginanku pun terwujud. Karena tidak lama kemudian, pintu itu terbuka lebar. Mengeluarkan suara nyaring yang membuat ngilu, ketika seorang wanita berambut cokelat keluar dari rumah. Aku menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi, Almira! Apa kau sedang sibuk?"

Wanita itu menatapku lamat-lamat. Kemudian berseru, "astaga! Aku nyaris tidak mengenalimu, gadis bertudung! Kukira siapa. Sungguh, baru kali ini aku melihatmu berpakaian seperti itu. Tudungmu tidak tertukar atau tercampur pakaian orang lain di binatu, kan?"

Aku menggeleng. "Akan kuceritakan lengkapnya nanti. Boleh aku masuk?"

"Tentu. Mengapa tidak?"

Setelah dipersilakan, aku melangkah ke dalam ruang tamu dan duduk di atas sofa memanjang yang berada di samping dinding. Setelah menutup pintu, ia menguncinya dengan slot. Lalu menyusulku ke arah sofa.

Caranya berjalan saat melintasi ruang tamu, terlihat anggun. Layaknya seorang penari yang berlenggak-lenggok di atas panggung. Kemudian ia menjentikan jari. Sesaat kemudian, rambut miliknya yang berwarna cokelat memudar secara perlahan. Berganti warna menjadi kuning keemasan. Kulitnya yang semula sawo matang, turut berubah. Memucat putih dan mulus bak porselen. Namun yang paling kuperhatikan adalah perubahan bentuk telinganya yang memanjang, dan mengerucut di ujungnya. Sama sepertiku. Namun, warna rambut, mata, dan kulit kami berbeda. Tentu saja, karena aku adalah Haier-Elvian. Sementara wanita yang ada di depanku adalah seorang Elvian berdarah murni.

Ia tersenyum tipis. "Jadi, ada apa kau kemari, Makhluk Pertengahan?"