Huh, untung aja dia mau tanda tangan!" kata Lintang pada Ken yang mengemudi.
"Lain kali kalau mau ngomong di pikir dulu. Kamu sadar nggak sih, kalau jawaban kamu itu bisa mencelakai nasib propsasl ini.! Hampir aja, dia nggak mau tanda tangan dan sia-sia penggalian kita!"
Ken mengeleng-gelengkan kepala. Baginya diomeli Lintang adalah makanan sehari-hari. Lintang akan mengomel untuk setiap hal-hal kecil. Untuk kesalahan-kesalahan kecil yang orang lain buat.
Terkadang Ken merasa, Lintang itu seperti emak-emak saja. Bawel, suka memerintah, maunya ini itu tapi dia baik dan suka menolong orang lain. Hanya saja, selama ini banyak orang yang memanfaatkannya.
Oleh karena itu, Lintang menjadi seorang introvert yang tidak mau berteman dengan banyak orang. Tapi, saat kau membutuhkan bantuan ia akan menolong dengan suka rela.
"Nasi padang Lin! Gue laper dengar ocehan nanda putri Lintang" sindir Ken.
"Ih, apaan sih!"
Selesai memarkir mobil mereka segera turun. Setelah meja di desinfektan oleh pelayan di rumah makan padang itu, mereka segara duduk. Berbagai menu muncul di hadapan mereka. Tak ingin boros, Ken dan Lintang meminta beberapa menu yang tidak mereka pilih untuk langsung diangkat saja. Mereka tidak ingin makanan tersebut terkontaminase oleh bakteri.
Semenjak tragedi Covid-19, banyak orang lebih peka dan sadar akan kebersihan. Lintang ingat betul, saat itu ia masih SMP dan membuatnya belajar di rumah satu tahun penuh.
Beruntung, keadan kembali membaik. Perekonominan kembali pulih. Tapi, wabah itu mengubah banyak hal. Orang jadi lebih disiplin akan kebersihan dan melek teknologi. Peluang-peluang bisnis baru pun juga bermunculan. Sungguh, Tuhan memang tahu bahwa rancangan yang ada padaNya adalah rancangan damai sejahtera bukan kecelakaan.
"Lin, menurut kamu Prof. Sian itu umur berapa sih?"tanya Ken sambil makan.
Lintang memasukkan makanan ke mulut dan kemudian menjawab. "Tumben loe nanya hal begitu, kenapa emangnya?"
"Kaga. Gue liat tadi mukanya nggak jauh beda sama kamu. Coba rambutnya di urai, gue yakin kagak jauh beda!"
"Maksud kamu, aku kelihatan tua gitu?"
"Astaga bapper banget deh. Emang ya, kalau sama cewek itu serba salah!"gerutu Ken.
"Bukan serba salah, kaliannya aja yang nggak peka." Bantah Lintang. "Dari pada kamu mikirin Prof. Sian. Kamu harusnya mikir. Prof. Suryadiningrat. Kita belum dapat tanda tangan dia. Kalau ini orang nggak mau tanda tangan, habislah kita."
"Oh, dia" jawab Ken sembari melahap habis suapan terakhir nasi padangnya.
"Dia, susah-suah gampang. Keturunan ningrat soalnya. Agak besar kepala!"
Lintah meneguk gelas terakhirnya dan mulai berfikir. Ketika mereka sampai di kediaman Prof. Suryadiningrat mereka harus menunggu.
"Bapak sedang ada wawancara eksklusif. Masih sekitar tiga puluh menit lagi. Gimana, apa Non sama Masnya mau nungu?" tanya salah satu asiten rumah tangga.
"Iya deh kita tunggu mbak."
Asisten rumah tangga itu pun segera mengantar mereka ke perpustakaan untuk menunggu. Setelah menyuguhkan minuman, asisten rumah tangga itu meninggalkan mereka.
"Haduh susah amat sih nyari orang satu ini. Dia lagi sibuk apa sih? Wawancara apa? Di Kampus gak ada, di rumah malah ada wawancara!"
Ken menggelengkan kepala.
"Wawancara mengenai kalung anti santet" jawab Ken sembari menunjukkan live streaming Prof. Surya.
"Idih, ada yang mau beli produk begituan. Ini udah tahu berapa. Hello?"
"Nyatanya ada yang tertarik" bantah Ken.
Setelah menunggu lebih dari satu jam akhirnya mereka berhasil menemui Prof. Surya.
"Kalian ini udah nggak niat lulus apa? Deadline besuk baru sekarang datang. Kalian nggak tau apa? Saya ini sibuk."
"Sibuk apa Pak?" tanya Lintang menyela. Jelas itu membuat rona wajah dosennya menjadi suntuk.
Ken segera mengambil inisiatif.
"Iya pak, soalnya kita ndak tau harus nulis dari mana. Kita masih bingung dan butuh banyak bimbingan Pak. Beruntung, kami dapat dosen pembimbing seperti bapak. Yang sibuk tapi masih mau nemuin kita di sela-sela kesibukannya. Mohon bantuannya ya Pak" kata Ken.
"Iya, iya nggak apa-apa. Itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya" jawab Prof. Surya dengan dialek khas Jawa.
"Sini coba liat proposal kamu le, siapa namamu?"
"Keanu Pak" Jawabnya sembari menyerahkan proposal.
"Kamu Cah Ayu!"
"Saya Lintang"
"Oh, keturunan bule yo? Matamu biru Nduk" tanya Prof. Surya.
Lintang hanya mengangguk dengan memaksakan senyuman. Entah professor ini adalah orang keberapa yang menanyakan hal yang sama kepadanya. Setelah membaca sekilas ke dua proposal itu professor Surya menanyakan beberapa hal.
"Loh, la kalo kamu sendiri ndak tau pasti, isi gulungan itu kok mau dibuat skrispi. Apa ya Boleh?"
"Yak kan kita ada bapak dan ada Ibu Prof. Sian yang akan membantu. Saya yakin, pasti bisa Pak" kata Ken.
"Kamu?" kata Prof. Surya menunjuk Lintang.
"Judulnya beda, yang diteliti beda, tapi bendanya sama. Kamu yakin bisa kelar ini penelitian dan pembuktiannya? Membuktikan sejarah itu nggak asal jadi lo!"
"Yakin Pak, saya sangat yakin. Karena tidak ada usaha yang menghianati hasil" jawab Lintang.
Prof. Surya mengangguk-anggukan kepala, ia perlahan membuka halaman pengesahan.
"Loh, dek Sian udah tanda tangan to?" tanya Profesor Surya pada Ken dan Lintan.
~Dek Sian? Dasar genit! Batin Lintang~
"Sudah Pak." Jawab Lintang.
"Ya kalau begitu saya nggak usah lama-lama lagi. Saya juga akan tanda tangan." Jawab Professor Surya.
Ia dengan hati yang gembira membubuhkan tanda tangan di proposal kedua mahasiswa itu.
"Gila dia mau tanda tangan karena Prof. Sian tanda tangan. Tau gitu, kita bilang aja dari tadi, kaga usah nunggu lama gini" gerutu Lintang lagi.
"Haiya, hati orang siapa tau? Udah lah yang penting ini proposal bisa dikumpulkan besuk agar kita bisa cepat tulis skripsi. Anggap aja keberuntungan."
"Keberuntungan dari mana? Loe kaga denger apa? Dia panggilnya dik Sian? Geli gue dengernya"
Ken tertawa.
"Biarin aja. Cinta kan nggak bisa memilih tuannya. Lagian, Prof. Sian juga kayaknya sendiri aja tuh. Bener gak gue?"
Lintang menggeleng sambil menekuk wajahnya.
"Eh tukang gossip! Mana gue tau? Yang gue tau, itu Prof. udah janda. Menurut desas-desus suaminya meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu"
"Ya kan berarti sekarang single donk? Pas itu sama Prof. Surya. Istri beliau meninggal karena covid-19 kan? Beliau sekarang 60 Tahun. Makanya nggak salah kalau dipanggilnya Adik" jawab Ken sambil terkekeh.