"Mas, Bapak menggila"
Dua kata itu cukup membuat Ardian cemas. Ia meminta ajudannya menghubungi kediaman orang tuanya secepat yang ia bisa.
"Maaf, Bapak tidak menjawab panggilan Kami"
Ardian segera meminta semua agenda kunjungan dinas hari ini dibatalkan. Ia meminta wakilnya untuk melanjutkan tugas. Dengan mobil pribadi miliknya, ia segera melaju ke sebuah rumah kuno di kawasan elite ibu kota. Sebuah rumah besar dengan desain khas dan kearifan lokal, yang membuat rumah itu bisa disebut sebagai cagar budaya.
"Mas Ardian" Maya segere berlari mendekati mobil mewah hitam yang baru saja memasuki rumah.
Sesosok laki-laki tampan kebapaan usian tiga puluhan keluar dengan gagah.
"Mbak Maya, ada apa dengan Bapak?" tanya Ardian pada Maya yang bekerja di rumah itu.
Sejak ayah Ardian, Prof. Surya menduda Maya menjadi salah satu kepala sisten rumah tangga di rumah. Gadis belia berparas elok itu mengurus semua keperluan Prof. Surya dan mengurus rumah dengan baik. Ia mengawasi setiap hal dengan teliti dan merawat rumah dengan sempurna.
"Saya, saya tidak tahu. Bapak memecahkan semua perabotan rumah sejak kembali dari Rumah rekan kerjanya"
"Apa? Apa sesuatu terjadi?" tanya Ardian sambil berjalan menuju rumah.
"Hati-hati Mas Ardian" kata Maya memperingatkan.
Di dalam rumah terlihat banyak asisten rumah tangga sibuk membersihkan barang-barang pecah belah yang dipecahkan oleh sang ayah. Ia tak menyangka, sejak ia kecil ini adalah pertama kalinya Ardian melihat ayah yang ia cintai bertindak konyol.
"Ndoro, sudah. Tenang, jangan dipecahkan semua." Bujuk seorang asiten rumah tangga bernama Miyem. Wanita paruh baya yang sudah bekerja, sejak Ardian masih kecil.
"Bapak" kata Ardian yang masuk ke ruang tengah. Gucci mahal dan vas bunga berharga jutaan rupiah sudah hancur berserakan dilantai. Di tangan sang ayah, ada porselen lain asli dari cina bernilai lebih dari sebuh mobil.
"Mas Ardian" sapa Bu Miryem.
Ardian mengangguk dan meminta Bu Miryem, untuk keluar. Ia ingin bicara dengan sang ayah.
"Bapak, ada apa? Mengapa Bapak seperti ini?" tanya Ardian mendekat.
Pria enam puluh tahun itu, terkejut melihat putra sulungnya datang. Ia menteskan air mata dan melempar porselen di tangnya ke lantai, hingga hancur berkeping-keping.
"Mbak Maya, tolong panggilkan dokter" perintah Ardian.
Maya segera keluar. Ardian meminta sang ayah untuk tenang dan duduk di sofa. Air mata ayah kesayangannya itu menetes dengan deras. Ia menangis meronta-ronta.
"Seumur hidup Bapak mu ini, Bapak tidak pernah menerima penghinaan seperti ini. Kamu tahu? Bapak ini pria baik-baik dan setia. Tidak pernah Bapak main-main dengan hati. Bapak tidak pernah merebut istri orang lain, tapi mengapa Bapak mengalami semua ini? Bapak sudah mau mati. Bapak cuma ingin bahagia sebeulm mati." Tangisnya tak karuan.
Ardian tak bisa menangkap apa yang ayahnya maksudkan. Beruntung, Psikiatri yang Maya hubungi datang dengan cepat. Psikiatri itu menyuntikkan obat penenang ke ayah Ardian. Prof. Surya tertidur sementara waktu.
"Maya, tolong beritahu saya apa yang sebenarnya terjadi?"
Di dunia ini ada tiga hal yang biasa laki-lai kejar. Harta, tahta dan wanita. Jika mereka sudah mendapatkan tahta dan harta, wanita harus bisa menjadi milik mereka. Apapun resiko dan harta yang dibayar.
Bel rumah Prof. Sian berbunyi malam itu.
Sian yang masih terjadi di tengah malam keheranan. Ia menuruni tangga dikegelapan malam. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi di depan terasnya.
"Prof. Sian? Perkenalkan saya pengacara Tuan Ardian, Hendra Situmorang. Kita perlu bicara"
Di kediaman Robert, Zack berlari mengetuk pintu kamar Tuannya dengan panik. Ia tak tahu harus berbuat apa melihat beberapa polisi datang menyerbu rumah mewah itu.
"Bob, apa yang terjadi?"
Bob menampilkan sebuah surat perintah penangkapan. Sebuah surat yang terkesan dibuat mendadak dengan cap basah komisaris polisi tertanggal hari itu.
"Hmmm, apa yang mereka pikirkan?" gumam Robert pada Bob, kecerdasan buatannya.
"Biarkan mereka masuk dan membawaku. Zack, hubungi pengacara kantor untuk masalah ini. Pastikan Lintang tidak kembali ke rumah sementara waktu. Hubungi Sian, dan minta ia waspada. Bob, cari tahu siapa dalang di balik semua ini"
Lintang yang mendapat kabar dari Zack segera berlari ke kamar Ken. Ia menggedor kamar sahabatnya sekeras yang ia bisa.
"Kau tahu? Kau sudah mendapatkan kamarku. Apa lagi yang Kau inginkan?"
"Mereka menangkap ayah" sahut Lintang dan membuat Ken tersadar seketika dari rasa kantuknya.
Inilah yang disebut dengan manusia hanya bisa merencanakan dan Tuhan yang menentukan. Malam itu, hidup semua orang menjadi kacau hanya karena tangisan seorang ayah pada anaknya. Ada pepatah mengatakan, jangan membangunkan singa yang tertidur. Meski mereka tampak imut, tapi mereka tetaplah Singa.
"Ming yang bersembunyi menanti dengan hati berdebar-debar. Meski ini bukan pertama kalinya masalah datang, tapi bukan berarti ia selalu siap"
Orang-orang yang datang dengan pengacara, memaksa masuk dan mencoba mencari barang bukti. Entah barang bukti apa yang mereka maksud, mereka menggeledah seluruh rumah tanpa melewatkan satu apapun.
Sian yang duduk di ruang tamu melirik jam. Ia tak hentinya menggelengkan kepala mendengar penjelasan pengacara kondang Hendra Situmorang padanya.
~Sampai mana kegilaan ini akan berlanjut? pikirnya~
"Kami menemukan ini" kata seorang polisi pada atasannya yang beridir di dekat pengacara kondang itu.
"Apa ini milik Anda. Profesor?"
Sian melihat kotak cincin berwarna merah. Ia menjawab dengan lantang, itu bukan miliknya.
"Lantas? Anda mencurinya?"
"Bapak Hendra, seorang rekan kerja saya melamar saya bebarapa waktu lalu. Saya belum memberikan jawaban apapun. Ia bersi keras memberikan cincin berlian ini kepada saya. Apa menurut Anda saya mencurinya secara hukum?"
Hendra mengambil kotak cincin itu dan membukanya. Sebuah berlian yang harganya sangat mahal.
"Pemberian dari Robert John Alinson akan disita sebagai bukti tindak pencucian uang" kata Hendra Situmorang.
Sian tertawa mendengarnya.
"Nona, melecehkan saya?"
Sian menghentikan tawanya.
"Itu adalah pemberian Profesor Suryadiningrat. Saya sangat berterima kasih, jika Bapak menyita barang itu."
Raut Wajah Hendra berubah seketika. Ia menutup box warna merah dan meyerahkanya pada Sian.
"Oh hadiah lamaran dari Prof. Surya harus dikembalikan pada Nona Sian. Selamat atas pertunangan Anda"
Sian hanya melihat dan menerima kotak merah itu. Ia mencoba mencerna baik-baik, apa yang semua orang gila itu lakukan di rumahnya. Merkea datang tanpa penjelasan yang jelas. Mereka terus menggeledah tanpa ampun. Apa yang mereka coba cari?
Hendra Situmorang bukan pengacara biasa. Jika ia di sini bersama para penyidik mencari barang bukti artinya sesuatu yang buruk benar-benar terjadi. Tapi apa? Mereka menolak memberikan penjelasan.
"Nona demi keselamatan Anda, kami akan memindahkan Nona ke tempat yang lebih aman" kata Hendra mewakili pihak penyidik.
"Silakan Nona ikut kami, Kami tidak akan menyakiti Nona"