arka tak henti hentinya memandangi diri melalui pantulan cermin, kemeja dengan lengan yang dilipat hingga kesiku, celana jeans dan rambut yang tertata rapi memperlihatkan jelas ketampanan parasnya, alis mata yang tebal selaras dengan bulu matanya, rahang kokoh menampakan ketegasan wajahnya serta mata berwarna coklat cerah membuat ia tersenyum kecil melihat setiap detail wajahnya.
ia berjalan menuju halaman rumahnya, memasuki mobil dan mengendarai menuju rumah chika. meski arka mengatakan akan menjemput jam 1 siang, namun hatinya terlalu bersemangat untuk bergegas datang satu jam lebih awal dari yg ia janjikan. Ini pertama kalinya bagi arka merasa bahagia dan merasakan perasaan menggebu sejak dekat dengan chika, meski ia tak bisa dengan pasti menganggap perasaannya adalah rasa suka, namun yang arka tau ia merasa nyaman hanya dengan berada di dekat chika dan itu cukup untuknya.
Mata Arka yang semula fokus menatap padatnya jalan, teralihkan pada sebuah toko bunga kecil dipinggir jalan. Hatinya tergelitik untuk menghampiri toko itu meski ia sendiri tak tau apakah ia seperlu itu untuk membeli bunga hanya karena akan bertemu chika, padahal ini bukan pertama kalinya mereka jalan bersama.
Tak jauh dari rumah chika arka menghentikan mobil dengan mata menyipit memperjelas penglihatannya, ia menangkap jelas chika yang tengah berjalan menuju mobil bersama seorang pria yang tak terlalu asing bagi arka. Entah mengapa jantungnya berpacu tak karuan mendapati chika yang tersenyum ramah dengan seorang pria.
Tangannya bergegas menggapai ponsel dan mencari nama chika. Suara sambungan memenuhi pendengaran arka, hingga beberapa detik baru terdengar suara chika mengucap salam dari ujung telpon. "Apa yang kau lakukan?"
"Hah? Maksudnya?" Arka menghembuskan nafas membuang emosi yang kian menyesakkan dada. Arka merasa serba salah memandang posisinya, Ia bahkan bukan siapa-siapa hanya sekedar teman dan tak lebih, tak ada hak baginya untuk marah atau bersikap tak sewajarnya pada chika.
"Ahh maksud ku... kamu lagi ngapain sekarang?"
"Ohh aku? Aku lagi jalan" chika berujar tanpa beban. Arka mengernyitkan kening tak mengerti. Bukan kah seharusnya chika jalan bersamanya, lalu kenapa dengan mudahnya chika memutuskan jalan dengan pria lain sedangkan dia sudah membuat janji dengan arka? Arka mengusap pelan keningnya menggunakan ibu jari. "Chika..." panggil arka, ia tak melanjutkan ucapannya dengan maksud untuk menetralkan nada suaranya agar tetap terdengar normal, tanpa nada-nada penekanan penuh emosi dan berniat untuk tak melanjutkan sebelum mendengar sahutan dari chika. "Hemm" hanya itu yang terdengar, sesingkat itu dan sedingin itu balasan dari chika. Arka berusaha menepis pikiran negatif yang kian bertambah di benaknya.
"Kamu gak lupa janji kita kan hari ini?"
"Ja-janji?" Bukannya menjawab chika malah balik bertanya, suaranya diselimuti kebingungan, ada getar yang tak dapat arka artikan dari nada suara chika. "Ahh janji itu... maaf aku lupa bilang, aku mau jemput keluarga ku mereka pulang hari ini, jadi... jadi, maaf" arka hanya berkata tak masalah atas keputusan chika yang tiba-tiba dan permohonan maaf chika yang terdengar penuh penyesalan, meski tak sejalan dengan perasaan arka yang kini jauh tak menentu.
Berbagai pertanyaan hinggap di benaknya benarkah chika menjemput keluarganya? Apa pria itu pacarnya dan selama ini chika hanya berpura-pura menyukai nya? Kenapa dengan mudahnya chika meminta maaf? Apa selama ini chika menganggap arka hanya sebagai angin lalu yang bisa semudah itu dilupakan? Berbagai pertanyaan tak henti-hentinya mengusik benak arka, mengoyak sisi hatinya, membuat kekecewaan sekaligus keraguan secara bersamaan terhadap chika. Yang ia takutkan ketulusannya dibalas dengan sebuah kebohongan.
Arka menatap layar ponselnya dengan gusar, tak ada satupun panggil dari chika, hari semakin gelap, tapi tak juga ia mendapat panggilan dari chika, biasanya hampir tiap malam chika akan menghubunginya meski hanya melalui pesan setelah itu baru berganti arka yang akan menelponnya hingga chika mengantuk dan mengakhiri panggilan. Tapi sekarang ponsel arka hanya tergeletak dengan layar hitam seakan tak ada kehidupan sama persis seperti pemiliknya yang berbaring di kasur tanpa sedikitpun bergerak.
Arka menatap langit-langit kamarnya, kembali teringat pada kejadian tadi siang dimana ia melihat chika tersenyum lembut pada pria disampingnya. Arka membandingkan sikap chika saat bersama dengannya, dibenaknya chika hanya lebih banyak bersikap cuek, menundukkan pandangan meski tersenyum namun tak pernah tersenyum dengan memandang jelas kearah kedua mata arka.
"apa-apaan ini" gumam arka mengacak rambutnya geram. kumandang adzan isya terdengar dari kejauhan. arka membalikkan badan dan memejamkan mata mengabaikan panggilan adzan. ia terlalu malas untuk beranjak dari tempat tidurnya saat ini, ditambah rasa kesal yang masih tersisa serta ngantuk yang mulai menyerang membuat ia berniat mengundur waktu sholat.
"arka" suara ketokan di pintu kamar membuat arka terjaga dari tidur lelapnya. ia melirik jam yang melingkar ditangan, waktu sudah menunjukkan jam 9 malam, ia bergegas menuju pintu, dan disambut dengan pukulan pelan dikeningnya membuat arka mengaduh dan mengusap-usap kening meredakan rasa sakit hasil pukulan dari jemari ibunya.
"kamu gimana sih ka, ini kan sudah lewat isya, kok belum sholat juga? dari tadi di panggil-panggil, pasti ketiduran lagi deh" mulai lagi rutinitas yang hampir tiap malam dialami arka. memang ia paling susah untuk sholat isya selalu saja ketiduran atau berada diluar rumah yang membuat arka harus mengundur waktu sholat bahkan tak jarang lupa untuk menunaikan kewajibannya itu sebagai seorang muslim. ia hanya meringis mendengar rentetan kata yang keluar dari mulut ibunya, tak mau melawan atau pun mengelak yang jelas-jelas akan semakin memperpanjang omelan ibunya.
"kamu ini kan bukan anak kecil lagi, dengar adzan ya langsung sholat. harus berapa kali sih mama bilang? sholat sekarang juga" arka berjalan menuju kamar mengambil alat sholat dan bergegas mengambil air wudhu. ia melangkah menuruni tangga menuju mushola kecil yang berada dilantai bawah. sekilas ia menatap ayahnya yang tengah fokus menatap televisi saat ayahnya mengalihkan pandang kearahnya. arka mempercepat langkahnya menuju tempat sholat dan menunaikan sholat isya.
"ka, duduk sini deh" ayahnya melambaikan tangan sembari menepuk-nepuk sofa di sampingnya. arka berjalan menuju sofa tempat ayahnya bersantai. ia menatap sekeliling, tak biasanya suasana rumah sesepi ini. sedari tadi tak sekalipun ia melihat kedua kakaknya. "kak azkar sama kak izkar mana yah?" arka duduk disamping ayahnya sembari meletakkan alat sholat ke sofa kosong yang tak jauh darinya. "izkar ada di kamar, kalau azkar masih keluar sama vita"
"ngurus persiapan buat nikah? kan masih lama"
"tiga bulan itu sebentar, lebih bagus kan kalau dipersiapan dari sekarang"
ia menangguk mendengar jawaban dari ayah. tiga bulan lagi kakaknya akan menikah, lalu dua bulan setelahnya kak izkar juga akan menikah. kedua kakaknya yang kembar itu t bukan hanya sekolah di sekolah yang sama, punya pacar untuk pertama kalinya di waktu yang bersamaan bahkan menikahpun ditahun yang bersamaan. ada perasaan sedih karena kedua kakaknya akan pergi dan menempuh hidup baru dengan keluarga mereka masing-masing. meski kedua kakaknya memiliki kepribadian yang berlawanan namun untuk urusan perhatian mereka adalah yang terbaik. bahkan yang membuat arka bergerak untuk mendekati chika tak lain karena usulan dari kedua kakaknya saat mendengar cerita arka tentang perasaannya selama ini pada chika. sedikit demi sedikit merekalah yang mendorongnya untuk lebih berani bertindak meski tak dapat dipungkiri ia masih belum dapat memastikan kejelasan hatinya.
"gimana sekolah mu?" suara ayah menyentakkan arka kembali kealam sadarnya, ia mengeryitkan kening menatap wajah ayahnya. "baik yah, kok tiba-tiba nanya?"
"ya mau nanya aja. nanti kuliah kamu lanjut kemana? atau mau langsung kerja?" membahas seputar perkuliahan arka jadi teringat dengan obrolannya beberapa hari lalu dengan chika trntang rencana untuk melanjutkan kuliah. matanya meredup saat tak lama setelahnya ingatan tentang siang tadi kembali mengisi memori di kepalanya.
"belum tau sih yah, belum ada rencana tapi bagus nya dimana ya?"